Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Si Bolang dari Daratan Sumbawa

4 Desember 2017   07:40 Diperbarui: 4 Desember 2017   08:42 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya saya memohon maaf pada stasiun TV Trans 7 karena penjudulan tulisan ini mencatut sebutan Si Bolang. Saya terinspirasi untuk merefleksikan kehidupan saya sebagai Bolang untuk me-review masa kecil saya di sebuah dusun kecil di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Terlahir 02 Maret 1966, dari keluarga miskin yang papa. Saya merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Bapak saya buta huruf sementara Ibu hanya tamatan tingkat III SR (Sekolah Rakyat). Dua bulan setelah melahirkan saya, Ibu saya sakit keras. Praktis saya hanya disusui hanya selama dua bulan lamanya. Selama Ibu saya sakit, setiap hari saya dibawa keliling kampung untuk mencari ibu-ibu susuan untuk memenuhi kebutuhan pangan si bayi Muji (nama kecil saya di kampung). Hal ini membuat saya memiliki banyak saudara sepersusuan di kampung. Sedikit cerita melankolis, ketika SMA saya pernah dekat dengan seorang gadis. Bersamanya mengarungi cinta monyet selama 3 tahun. Ketika malam menjelang keberangkatan merantau kuliah ke Solo, orang tuanya baru memberitahukan jika kami berdua saudara sepersusuan. Duh!

Sebagai anak petani miskin yang hidup berpindah dari sawah dan ladang, keseharian kami sekeluarga banyak bergelut dengan tanah garapan dan hewan ternak. Ketidak-mampuan mempekerjakan tenaga berbayar pada saat itu, memaksa kami dewasa sebelum saatnya. Mencangkul, membajak, membersihkan lahan, memberi makan ternak adalah keseharian kami dan mayoritas anak-anak di kampung kami. Selain itu kegiatan kami si anak kampung juga diisi dengan wajib mengaji tiga waktu di rumah Dea GuruNgaji(ustadz-red); antara maghrib dan isya, subuh dan dhuhur. Tidak hanya mengaji. Kami memiliki extra tugas tambahan dari Dea Guru mencari rumput terbaik untuk kuda pacuannya, menyetorkannya sebelum belajar mengaji dimulai. Sekolah? Dianggap tidak penting. Menjadi prioritas kesekian menurut para orang tua di kampung. Kalaupun berangkat ke sekolah, wajib harus menyelesaikan dahulu pekerjaan di sawah dan ladang. Tidak heran jika di Sekolah Dasar wilayah kami jarang sekali ada siswa yang masuk kelas tepat waktu. Kuda merupakan transportasi kami ke sekolah. Seragam? Sehari-hari yang kami kenakan adalah pakaian dinas kami yaitu kaus lusuh bau matahari bercampur keringat dan lumpur sawah. 

Seingat saya, hanya sekali saya pernah dibelikan seragam karena akan menempuh ujian dan diwajibkan oleh pihak sekolah. Buku catatan pelajaran hanya sekumpulan lembaran-lembaran. Jika tercecer dan lengah sedikit, maka akan dijadikan Ibu untuk menyalakan api dapur di pagi buta. Sepulang sekolah, praktis hanya sedikit sekali waktu kami untuk belajar. Apalagi jika musim panen tiba. Kewajiban kami ditambah dengan pekerjaan menumbuk padi hingga jadi beras dengan rantok dan nisung - alat tradisional suku Sumbawa.

Kami tidak pernah protes apalagi membangkang. Hiburan dan kebanggaan kami anak-anak kecil di kampung adalah menjadi joki kuda pacuan di arena latihan dan gelanggang pacuan kuda. Kami bebas melakukannya tanpa harus takut dimarahi orang tua. Bukan khawatir, orang tua dahulu menganggap hal tersebut sah-sah saja dan manly bagi anak laki-laki. Bahkan menjadi suatu kebanggaan jika putra mereka dapat memacu lari kuda dengan baik dan memenangkan pertandingan. Uang jajan kami peroleh dari pemberian pemilik kuda pacuan. Jika kudanya berhasil menang di arena jumlahnya pasti lebih besar.

Air menjadi sahabat baik kami. Banjir bandang bagi anak-anak sekarang adalah menyeramkan. Namun bagi kami dulu justru menjadi arena adu kecepatan dan ketangkasan berenang menyebrangi sungai. Mencari ikan di sela bebatuan dengan tangan kosong adalah keahlian kami. Salah satu kegiatan lain favorit kami, adalah menjinakkan anak kuda liar di dalam air. Pulang dengan luka memar, tersayat, dan kepala benjol adalah hal yang biasa.

Liku dan keindahan masa kecil yang penuh warna menghantarkan saya khususnya, menjadi dewasa sebelum saatnya. Untuk memperoleh uang saku, selain menjadi joki kuda liar, saya memiliki sampingan lain menjadi kuli angkat bata mentah dari tempat pembuatan bata ke dapur pembakaran. Satu buah bata dihargai sang juragan Rp 1,- . 

Sebagai siswa SD (profesi tersebut saya jalani pada saat kelas 4 hingga 6 Sekolah Dasar) saya sanggup memindahkan 250 hingga 500 bata perhari. Dari sana, saya bisa memiliki uang saku sebesar Rp 50,- perhari (sisa setelah setoran ke orang tua). Saya menjadi terbilang anak gaul di sekolah karena masih memiliki nominal uang saku yang cukup banyak. Enam tahun SD, saya tamat tanpa pernah tinggal kelas. Sekitar seribuan judul buku di perpustakaan sekolah telah habis saya baca. Pada pengumuman kelulusan saya meraih prestasi terbaik dan mendapat piagam penghargaan sebagai pembaca buku perpustakaan terbanyak.

Menjadi investasi tenaga kerja yang produktif, orang tua tidak memperbolehkan saya melanjutkan tingkat SMP di kota Sumbawa Besar layaknya teman-teman yang lain. Maka terdaftarlah saya di SMP Negeri 1 Sumbawa Besar filial Lopok, di kampung kami. Gedung SMP berpindah-pindah dari gedung SDN 1 dan 2 Lopok. Saya merupakan angkatan ketiga dengan 25 orang siswa. Karena filial, sebagian besar gurunya berasal dari dusun kami. Guru-guru SD senior mendominasi mata pelajaran. Hanya sesekali datang guru inti dari SMP induk.

Waktu sekolah yang siang hingga jelang magrib setiap harinya, tidak membuat kami lupa dengan kewajiban kami pada sawah, ladang dan ternak. Sebagai remaja yang mulai tumbuh dewasa, pakaian yang kami kenakan di sekolah mulai sedikit rapi. Walaupun sebagian besar siswa belum berseragam namun guru kami tidak pernah mempermasalahkan. Kami mengenakan seragam hanya ketika guru inti datang dari sekolah induk. Naik kelas dua SMP, saya didaulat menjadi ketua kelas sekaligus ketua OSIS. 

Beragam kegiatan ekstrakurikuler kami lakukan. Yang masih lekat dalam ingatan, salah satu program OSIS yang paling unik adalah menerima order tanam dan potong padi warga yang membutuhkan. Dari kegiatan ini kami diperbolehkan menerima upah yang kemudian disetorkan sebagai kas OSIS. Pada akhir musim tanam dan panen, dana tersebut kami peruntukkan untuk membeli seragam olahraga dan peralatan olah raga secara mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun