Mohon tunggu...
Junaidi Gafar
Junaidi Gafar Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Surya

Dosen Pengamat masalah sosial, ekonomi dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebuah Catatan Seusai Pilpres

30 Juli 2014   14:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:51 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita telah melewati satu fase penting dalam demokrasi kita yaitu Pemilu Presiden 2014. Sejak tahun 2004 Pemilihan Presiden telah dilakukan secara langsung dimana rakyat yang telah memiliki hak pilih dapat memilih langsung calon presiden yang disukainya. Menariknya, dalam dua pemilu langsung sebelumnya terdapat lebih dari dua pasangan kandidat Presiden dan Wakil Presiden sehingga tidak terjadi polarisasi dukungan yang tajam karena tersebarnya dukungan. Hal yang berbeda terjadi pada pemilu kali ini, hanya ada dua pasangan calon, sehingga suka tidak suka pemilih yang ingin menggunakan hak pilih harus terpolarisasi pada dua kutub yang saling berhadap-hadapan.

Saya memberi catatan atas tiga hal pokok yang menajamkan kontestasi politik kali ini sehingga keriuhannya sangat terasa menguras energi dan emosi pendukung masing-masing pasangan calon. Yang pertama adalah koalisi partai politik pengusung Capres. Bergabungnya Partai Keadilan Sejahtera ke dalam koalisi merah putih bisa dikatakan sebagai satu faktor yang memberi pengaruh sangat kuat terhadap panasnya kompetisi. Bagi koalisi merah putih kehadiran PKS adalah sebuah berkah dan sekaligus sebuah bom waktu. Dikatakan sebagai berkah karena PKS adalah satu-satunya partai dalam koalisi merah putih yang memiliki kader yang kuat dan militan. Partai ini telah melakukan pola perekrutan yang sedemikian rupa berikut pola indoktrinasinya sehingga tidak ada celah untuk khianat pada kader-kader di lapangan. Apa yang menjadi keputusan elit bisa diartikan sebagai sabda tak terbantah, sehingga semua orang bergerak dengan langkah yang seragam dan dengan militansi yang sama kuatnya dimanapun mereka berada. Faktor kehadiran PKS inilah yang mempercepat penerimaan umat Islam terhadap figur Prabowo. Ulama-ulama sepakat memberi dukungan dan cenderung mengabaikan semua fakta dan data tentang figur Prabowo yang idealnya mereka kaji secara jauh dan mendalam. Begitu pula daerah-daerah yang secara kultural berasosiasi dengan Islam menjadi mudah didekati. Kader-kaderPKS lah yang sesungguhnya memenangkan Prabowo Hatta di Sumatera Barat, Aceh, Nusatenggara, Jawa Barat dan Riau.

Akan tetapi, Partai Keadilan Sejahtera juga menjadi bom waktu yang meledak justru ketika penghuni belum keluar rumah. Hal ini disebabkan persepsi elit PKS yang memandang bahwa di level kader terdapat kemampuan mengelola isyu, memainkan argumen logis, dan memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan mengapa harus memilih Prabowo. Dalam kenyataan, yang tampak adalah ketidakmampuan para kader berargumen logis dengan kelompok kelas menengah yang merupakan swing voters yang tentu saja tidak bisa menerima penjelasan hanya didasarkan pada isyu dan dogma agama. Kader-Kader PKS yang berkali-kali menebarkan cerita fitnah dan kebencian melalui postingan dari link-link yang memberitakan kehebatan jagoannya atau keburukan-keburukan lawannya secara membabi buta, tidak dapat menjawab dengan tuntas ketika muncul pertanyaan tentang apa yang mereka sebar. Hal yang paling mengerikan adalah militansi tersebut berubah menjadi semacam kesombongan sehingga dengan mudah melontarkan makian yang tidak pada tempatnya pada lawan politik. Ini yang kemudian menjadi boomerang yang balik menyerang elektabilitas Prabowo yang semula sudah menguat. Kelas menengah tentu berfikir ulang untuk memilihnya, jika pendukung terkuatnya adalah partai yang dengan mudah memutar balik fakta, menukar gambar, dan dengan enteng mengatakan orang lain sinting. Teman saya yang bekerja pada satu lembaga survey mencatat terjadi penurunan dukungan yang cukup signifikan terhadap Prabowo Hatta hanya 2 hari sebelum pencoblosan dan itu patut diduga karena makian seorang tokoh PKS terhadap kandidat Presiden yang lain.

Hal kedua terkait dengan Prabowo sendiri. Ia sejatinya adalah tokoh yang sangat diharapkan membawa nuansa baru kepemimpinan di Indonesia. Ia sangat berbeda dengan SBY yang low profile, santun dan cenderung sangat formal. Ia meledak-ledak dan spontan. Pengalamannya sebagai mantan prajurit komando tampak jelas dalam bahasa tubuh dan lisannya. Jika melihat isyu yang diusungnya saya teringat dengan beberapa figur ultranasionalis seperti Hugo Chavez dari Venezuela dan Vladimir Zhirivanovsky dari Rusia. Kemandirian dan kedaulatan bangsa memang sebuah isyu penting bagi sebagian rakyat kita. Kehilangan pulau, konflik perbatasan sampai penyadapan oleh negara lain memang membuat banyak orang marah dan memandang bahwa pemimpin selama ini tidak mampu menjaga harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan internasional.

Pada titik itu ia memiliki keunggulan. Akan tetapi keunggulan ini tidak dimanage dengan baik. Isyu nasionalisme dan kemandirian bangsa bertabrakan dengan isyu-isyu sara yang diusung oleh partai Islam seperti PKS. Dalam kondisi masyarakat yang semakin cerdas, terjadinya tabrakan isyu antara menjaga persatuan bangsa yang terdiri dari berbagai agama dan suku bangsa dengan isyu-isyu sara dimana agama diseret-seret sebagai dasar preferensi publik maka ini menjadi semacam paradoks. Bagaimana mungkin menjaga persatuan jika dalam kelompok Anda ada fihak yang ingin memenangkan kelompoknya sendiri. Pada titik ini Prabowo gagal membuat sebuah batas yang tegas agar isyu nasionalismenya tidak bertabrakan dengan isyu-isyu lain. Ia terlalu membebaskan semua pendukungnya untuk main dengan cara yang mereka bisa sehingga terjadi tumpang tindih isyu satu sama lain, dan itu sangat mempengaruhi kepercayaan publik pada itikad baiknya jika ia jadi pemimpin.

Hal ketiga yang menarik adalah pertarungan antara para jenderal yang menjadi pendukung kedua kubu. Kubu Prabowo didominasi oleh angkatan yang lebih muda seperti George Toisutta dan Joko Santoso. Sedangkan kubu lawan didukung oleh angkatan yang lebih tua seperti Luhut Panjaitan dan Sutiyoso. Pada titik ini Prabowo sebenarnya memiliki keunggulan karena meskipun ia diduga terlibat melanggar HAM tapi ia memiliki kemampuan dalam memberikan jawaban dan membalikkan pertanyaan kepada jenderal-jenderal yang mengkritiknya. Kemunculan sahabat lamanya Kivlan Zein, serta mereka yang pernah diculik dan dikejar-kejar di masa orde baru dalam barisan pendukung tentu merupakan sebuah nilai tambah yang menguatkan. Ini sekaligus meyakinkan pendukungnya dan mereka yang selama ini penasaran dengan masalah HAM di masa lalu untuk percaya bahwa ia adalah korban fitnah dan persekongkolan jenderal-jenderal jahat .

Idealnya isyu sebagai korban persekongkolan jahat ini harusnya dikelola dengan baik. Sehingga kesan sebagai orang yang teraniaya terangkat. Masyarakat kita memang mudah bersimpati pada hal-hal seperti itu. Tapi yang dilakukan justru sebaliknya. Isyu ini dibiarkan lepas begitu saja sedangkan isyu-isyu yang sifatnya menyerang dan bukan menunjukkan keunggulannya jauh lebih tersebar. Akibatnya, justru publik melihat lawannyanya lah yang menjadi korban. Pada titik itulah simpati ke pihak sana semakin meningkat dan menguat.

Pemilu telah berlalu, dan Prabowo kalah. Perjuangannya selama hampir 5 tahun terakhir dengan beragam iklan dan kegiatan untuk membangun kepercayaan berakhir sebuah kegagalan. Tentu ini sebuah pengalaman berharga bagi mereka yang ingin maju sebagai presiden di masa datang, terutama dalam memilih mitra koalisi dan mengelola isyu sehingga kelemahan bisa diubah menjadi kekuatan.

Bagi Prabowo ini pil pahit. Dunia ini memang kejam Jenderal!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun