Mohon tunggu...
Julkifli Sinuhaji
Julkifli Sinuhaji Mohon Tunggu... Editor - Reporter aktif di salah satu media

Alumni Universitas Padjadjaran\r\nHidup untuk Memberi Sebanyak-banyaknya dan Hiduplah Secara Berbahaya\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Penderitaan Anak Broken Home

17 Juli 2015   04:58 Diperbarui: 17 Juli 2015   04:58 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

         

              Anak kelas 4 SD itu mengapung di kolam renang orang dewasa, wajahnya membiru, tubuhnya kaku, dingin. Nyawanya tak tertolong ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit.

            Kejadian itu sontak membuat ayah dan ibuku merasa sangat kehilangan anak lelakinya.Sebagai kakak, aku merasa kehilangan adikku yang kusayangi ini. Berhari-hari, berbulan-bulan keluargaku dirundung kesedihan mendalam sehingga membuat ayah mengalami gangguan psikologis lantaran terlalu larut dalam kesedihan kehilangan anak lelakinya. Kehidupan keluarga pun menjadi tak harmonis lagi akibatnya ibu dan ayahku cerai. Ya cerai yang mengawali hidupku dilalui dengan kesepian.

         Lulus SMA, untuk sementara aku memilih tinggal dengan ibu, dia memang selalu memperhatikanku sebagai anak perempuan, memberi nasihat yang sama ketika keluarga kami masih utuh. Akan tetapi, ibu telah memiliki teman lelaki lain, semenjak saat itu pola pikir ibu hanya uang dan uang. Kemudian ibu menjual lapak tanah warisan kakek nenek. Uang itu habis begitu cepat, entah kemana aku tidak tahu, sementara aku harus melanjutkan kuliah dan tidak memiliki uang sementara ibu tidak menyanggupi. Aku heran semenjak dekat dengan teman lelakinya itu, hidup ibu berubah drastis, dia terus menyalahkanku karena menganggap telah menjelek-jelekkan ibu ke keluarga ayah. Makin hari ibu membenciku, setiap aku sms menanyakan kabar dia tidak jawab, meskipun dibalas hanya “ya” tanpa menanyakan kabarku.

            Aku pun memutuskan untuk tinggal dengan ayah dan membeli rumah baru hasil menjual warisan rumah kakek nenek. Mengingat keadaan ayahku yang sudah tak seperti biasa, aku-lah yang memegang uang belanja makanan, bayar air, listrik dan biaya tranportasi ke kampus. Aku masih dapat kuliah gratis karena menerima beasiswa sampai 4 tahun.

            Hari demi hari kulalui, ibuku masih tidak mempedulikan aku, jawabannya masih seperti dulu. Dia cuek kepadaku. Aku pun kehabisan uang untuk makan dan bayar listrik. Aliran air dicabut PDAM setempat karena tidak bisa membayar. Aku pun mencari cara untuk mendapat air, bila musim hujan tiba aku menampung air hujan, bila musim kemarau tiba, botol minuman bekas kubawa ke kampus dan ambil airnya di kamar mandi. Sejak saat itu aku sering makan mie instan untuk hidup hemat. Aku punya pacar yang juga kuliah, dia bersedia memberiku uang makan, bayar listrik dan transport semampunya. Dia tidak bisa membayar air yang sudah menunggak terlalu lama dengan denda lumayan besar, dia tak sanggup bayar itu. Lagipula dia anak petani dengan hidup pas-pasan, tentu uangnya juga terbatas. Aku mengerti itu.

                        Aku merasa kesepian, kasihan melihat ayah yang hidupnya tak normal lagi, sepanjang hari dia hanya merenung, diam tak banyak bicara. Sementara ibuku mungkin sudah menikah dengan lelakinya itu, ibu tak ada kabar, tak membalas ketika aku sms. Ibu kenapa meninggalkan aku, bukankah seorang ibu menyayangi anaknya? Ibu aku salah apa, sehingga tega meninggalku kesepian dan sendirian.

 

Catatan: *Cerita ini merupakan kisah nyata dari teman penulis, dan mengalaminya hingga kini*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun