Mohon tunggu...
Julkifli Sinuhaji
Julkifli Sinuhaji Mohon Tunggu... Editor - Reporter aktif di salah satu media

Alumni Universitas Padjadjaran\r\nHidup untuk Memberi Sebanyak-banyaknya dan Hiduplah Secara Berbahaya\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kisah Klasik di Gunung Gede

31 Januari 2015   20:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia petualangan pada akhirnya bukanlah pergi ke arena petualangan yg disukai semata tapi menuju tempat dimana rekan seiring membutuhkan kita. Hari itu sepuluh pemuda melakukan pendakian Gunung Gede 2958 mpdl. Segala persiapan, perlengkapan untuk pendakian dipersiapkan. Banyak diantara kami yang baru pertamakali mendaki gunung, sehingga masih bertanya-tanya ini-itu. Wildan sebagai legenda anak pecinta alam lebih tahu tentang gunung gede, apalagi dia sering sekali mendaki gunung tertinggi ketiga di Jawa Barat itu. Dari Jatinangor kami menuju ke Cianjur, menginap satu malam di rumah Robi, sekalian silaturahmi dengan orangtuanya. Esoknya pagi-pagi sekali kami menuju pos TNGP jalur Gunung Putri. Aku, Robi, Wildan, Ahmad, Teri, Piere, Bobi, Rian, Abil, Wanda. Sebagai anak muda, semangat anak muda itu harus ditunjukkan, Soekarno pernah bilang “Beri aku sepuluh pemuda maka akan kuguncangkan dunia”. Ya begitulah kira-kira kami 10 pemuda itu. Sekitar jam 9 pagi kami memulai start pendakian. Perjalanan kami tidak begitu cepat, kami banyak berhenti, mungkin karena sebagian besar teman sejurusanku ini baru pertama kali mendaki. Sudah hampir 1 jam perjalanan. ” Dan, masih jauh ngga?” Tanya Pierre. “Gak lama lagi kok udah deket” jawab Wildan dengan nada santai. Perjalanan sudah dua jam setengah, tapi belum sampai juga. Kulihat wajah Robi kemerahan, tampaknya dia lelah sekali, mungkin karena carriernya yang belum pas, seharusnya diatas pinggang. Dia juga paling belakang, selalu memegang tongkat, mungkin digunakan untuk membantu berjalan. Lain hal dengan Wanda, pemuda berambut gondrong ini tampak sumringah mendakinya, dia selalu berada paling depan, kadang-kadang aku memanggilnya agar tidak terlalu jauh dari rombongan. Sekitar pukul 2 siang, kami tiba di Alun-Alun Suryakencana. Abil yang saat itu kebetulan berada paling depan dan aku dibelakangnya terlihat senang sekali karena sudah sampai di tempat yang sering ia lihat di internet. Pemuda Minangkabau ini berlari ke lapangan luas ditumbuhi Bunga Edelweis. Lain halnya dengan Piere, pemuda Batak kelahiran Bandung ini, langsung membuka bajunya, tak lupa kami mengabadikannya sebagai bahan kenang-kenangan. Siang itu di lapangan luas itu dingin sekali ditambah hujan gerimis, kami segera mendirikan tenda, memasak dan ada juga yang mengambil air. Aku saat itu kebagian mendirikan tenda, setelah itu membuat tenda untuk memasak dengan ponco seperti ilmu yang saya dapatkan sewaktu diklat mapala. Malamnya kami tidak banyak ngobrol, mungkin karena cuaca yang dingin dan hujan. Mungkin lebih nyaman didalam tenda apalagi memakai sleeping bag dan hangat tentunya. Tapi aku mencoba keluar, mencoba menyalakan api, agar terhindar dari binatang buas tidak masuk ke sekitar basecamp kami. Hari Kedua Pagi-pagi sekali Teri membangunkanku "Jul, bangun Jul, aya Bagong" aku tidak mempedulikannya. Kemudian Piere juga membangunkanku, akupun duduk. "Jul ada babi, dengar nggak kau?" bisik Piere. Sementara aku tidak mendengar apa-apa, aku masih tak percaya. Teri mencoba meyakinkanku lagi, dia bilang ada babi mengelilingi tenda kami. Aku segera keluar mengambil golok merek Tramontina buatan Brazil,tapi tidak ada apa-apa. Kami pun menyiapkan sarapan dan kopi, karena masih akan melanjutkan ke puncak Gede. Pukul 9 pagi kami menanjak lagi. Wildan yang saat itu leader kami, hanya dia yang tahu jalan menuju puncak, kami sedikit tersesat walau akhirnya bertemu jalan utama. Sekitar satu jam kami tiba di puncak Gede. Cuaca masih gerimis, tapi kami tidak peduli mata kami terpesona dengan pemandangan yang menakjubkan. Jujur saja, selain diklat mapala aku baru dua kali mendaki, terakhir gn. Manglayang 1800 mdpl, dan pendakian Gede-lah yang paling tinggi. Setelah berfoto bersama, kami memutuskan turun lewat jalur Cibodas. Di jalur ini kami melewati tanjakan setan, tracknya memang sulit dan sangat menanjak, sehingga membutuhkan tali pegangan. Setelah beberapa jam perjalanan kami singgah di air sungai hangat belerang. Disini kami mandi sepuasnya, sambil menghilangkan rasa letih dalam perjalanan tadi. sore hari kami tiba di pos pendakian. dan langsung kembali ke Jatinangor. Sekitar jam 10 lebih kami tiba di Jatinangor. Alam adalah belantara yang liar, kuat dan berakar yang siap menjerat kita, seperti kata Bang Napi “waspadalah!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun