Mohon tunggu...
Harjono Honoris
Harjono Honoris Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Generasi Ke-2 Penjaga Toko Obat Cina Makassar | Aktif di Instagram Multi Prima @obatmultiprima

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menguak Misteri di Balik Kecanduan Game

3 Mei 2017   11:09 Diperbarui: 3 Mei 2017   11:19 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecanduan game. (Pixabay, AlexVan)

Bermain game tidak selalu membuat candu. Namun, banyak alasan yang dapat membuat pemainnya ketagihan dan sulit mengatur hidupnya.

Dasarnya, bermain game adalah untuk hiburan. Bermain game terbukti meningkatkan dopamin, hormon yang membuat kita senang dan bahagia. Hormon dopamin dapat bertambah melalui berbagai aktivitas, baik dari berolahraga, membaca buku, berkumpul bersama teman atau keluarga, dan berbagai aktivitas lainnya yang membuat kita senang. Korea Selatan sempat menyamakan aktivitas bermain game dengan mengonsumsi narkoba, karena berpotensi menimbulkan efek dopamin berlipat-lipat yang tidak baik untuk kesehatan. Namun, dalam penelitian American Journal of Psychiatry, frekuensi waktu bermain game tidak selaras dengan kemungkinan mengalami kecanduan. Berarti, semakin lama bermain game, belum tentu mengalami kecanduan. Sejatinya, bermain game adalah aktivitas wajar.

Sisi Positif dan Negatif Game

Game berpengaruh besar buat generasi muda, khususnya yang berusia 20-an. Menurut Red Alert Politics, pemuda Amerika lebih memilih santai bermain game di rumah daripada mencari kerja. Mereka yang tidak bergelar sarjana menghabiskan 75% waktu sehari-hari bermain game daripada membentuk karir. Serupa tapi tak sama, media Vice menyatakan pemuda-pemuda Korea Selatan juga keranjingan game, dengan alasan yang berbeda. Minkuy, pemuda 20-an pemain Starcraft menyatakan bahwa lebih enak bermain game daripada clubbing. Seungyong, profesional 30-an bermain game untuk melepas stres selepas kerja. Menurutnya Seungyong, game dapat menjadi penyaluran yang pas bagi anak-anak muda, bahkan untuk mencari uang. Susah untuk melihat apakah para pemain game itu kecanduan atau tidak, karena layaknya obat, game dapat memberi efek yang berbeda-beda.

Game menjadi keseharian anak muda. (Pixabay, Pexels)
Game menjadi keseharian anak muda. (Pixabay, Pexels)
Game berpotensi memberi dampak positif bagi pemainnya. Dilansir dari Inc, game memberi tantangan bagi para pemainnya. Tantangan ini mendorong para pemainnya untuk menyusun berbagai strategi untuk memecahkannya. Skill-skill profesional berkembang secara halus seperti goal-setting (red. mengatur sasaran), building habit (membangun kebiasaan), dan teamwork (red. kerja tim). Game dapat memberi simulasi kompetisi yang sehat; aturan-aturan yang jelas dan tak bisa diganggu-gugat, beserta sistem poin atau pencapaian yang hanya meningkat jika mengikuti aturan. Para pemain juga belajar membangun pencitraan diri melalui avatar yang bisa diutak-atik rambut, wajah, bentuk tubuh, baju, dan sebagainya. Dalam game, setiap orang punya kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dalam sebuah simulasi kehidupan, tanpa harus mengalami risiko nyata.

Namun, game memiliki resiko tersendiri. Asyiknya permainan dan dunia digital dalam game membuat para pemainnya bisa beralih dari dunia nyata. Mereka cenderung mengutamakan bermain game daripada kegiatan lainnya, seperti mengurus diri, bersosialisasi, mengurus pekerjaan, dan sejenisnya. Emosi mereka bisa naik-turun karena persoalan game, bahkan merasa menjadi karakter dalam game. Game dapat mempengaruhi jiwa para pemainnya, sampai seakan hidupnya berada disana. Dari pemain game, mereka berubah menjadi pecandu game. Inilah yang berbahaya.

Dunia nyata dan dunia maya berbaur. (Pixabay, Schoggimousse)
Dunia nyata dan dunia maya berbaur. (Pixabay, Schoggimousse)
Bagaimana kita menyikapi hitam putih dunia game ini?

Menangani Kecanduan Bermain Game

Setiap pecandu game memiliki kesamaan: susah bersosialisasi. Mereka sulit bergaul dengan orang-orang secara tatap muka. Mereka juga tak terlalu suka berbicara, baik dengan orang baru atau orang yang dekat seperti keluarga atau teman.

Dr. Hillarie Cash, terapis kecanduan game di Amerika, menyebut sifat ini sebagai intimacy disorder (red. kelainan keakraban). Intimacy disorder muncul dari maraknya komunikasi digital seperti dalam media sosial, chat, sampai game. Walaupun praktis, komunikasi digital tidaklah memberikan pengalaman senyata komunikasi tatap muka; tak ada sentuhan, rasa, dan bau. Ini menyebabkan orang-orang sulit mengembangkan kemampuan bersosialisasi seperti membaca bahasa tubuh, melihat situasi, dan komunikasi non-verbal lainnya. Komunikasi digital tidak memberikan rasa nyaman dan ikatan sekuat komunikasi tatap muka.

Beberapa orang membutuhkan terapi untuk lepas dari candu. (Pixabay, jamesoladujoye)
Beberapa orang membutuhkan terapi untuk lepas dari candu. (Pixabay, jamesoladujoye)
Perumpamaannya, ketika kita berinteraksi dengan orang di Facebook, kita tidak merasakan banyak kedekatan. Tidak ada gizi, seperti memakan junk food.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun