Mohon tunggu...
Jong Sebastian
Jong Sebastian Mohon Tunggu... -

Traveler

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamu Baru Lulus Pemberantasan Buta Huruf

19 September 2018   16:49 Diperbarui: 19 September 2018   16:54 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di bulan Oktober sekian tahun lalu, salah satu Dosen Pembimbing skripsi teman saya meninggal dunia. Dosen yang selalu disebut-sebut sebagai "Dosen Killer" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada eranya. Dalam suatu obrolan sore hari ditemani dua cangkir kopi tubruk, teman saya bercerita tentang pengalamannya saat dibimbing skripsi oleh alamarhum Ibu Hafni Syahruddin, Dosen Hukum Dagang FHUI.

Dia ingat, saat itu, baru saja mau minta tandatangan persetujuan Beliau untuk jadi Dosen Pembimbing, sudah ditanyanya: "Kamu yakin menjadikan saya Pembimbing kamu? Pikir dulu deh! Dibimbing saya kan susah." Sudah dijawab iya aja, masih disuruh pikir-pikir dulu. Lama teman saya itu tidak menghadapi Beliau. Bisa jadi karena beneran mikir. Sampai akhirnya saat minta tandatangan persetujuan Beliau, Beliau komentar: "Kirain kamu nggak jadi karena takut sama saya."

Kalau diingat-ingat, sebenarnya "penderitaan" teman saya dalam menulis skripsi sejak awal sudah lengkap. Yang satu terkenal dengan panggilannya yang ada embel-embel Killer itu, yang satunya terkenal dengan julukan: "Sarap Jiwa Total". Yang satu mengarahkan ke pragmatis, yang lain mengarahkan ke filosofis. Jangan ditanya berapa kali dia bolak-balik untuk revisi rancangan, mulai dari abstraksi, daftar Isi, catatan kaki, Bab-Bab. Belum lagi urusan "skors" 6 bulan gara-gara kekonyolannya (kalau nggak mau disebut sebagai ketololan)  menyebut Dosen killer itu dengan: "Anda" dalam suratnya ke Beliau. Bukan sengaja untuk merendahkan Beliau, cuma memang dia bodoh saja waktu itu balam berkorespondensi. Saat itu, selama 6 bulan, jika mau menyerahkan rancangan tulisan, cukup diserahkan melalui supir atau anaknya, dan itu juga dari luar pagar rumahnya. Tidak boleh masuk halaman rumah apalagi masuk ke dalamnya. Meski marah, eneg mungkin, tapi Beliau tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan bimbingannya.

Setelah "berdamai", baru interaksi dimulai lagi. Sampai akhirnya menghadapi persiapan untuk sidang. Dia sempat bertanya bagaimana jika tidak lulus sidang. Beliau jawab: "Skripsi kamu sudah selesai. Saya dan Pembimbing lainnya sudah tandatangan, kan? Saya nggak sembarangan kalau tandatangan. Kecap saya selalu nomor 1!" Komentar dia saat cerita kepada saya: "Bueh...Bangga? Nggak!".  

Sebagaimana diprediksinya, benar saja, saat sidang dari 5 yang diundang hanya 3 yang hadir: Beliau si Dosen Killer, Beliau si Sarap Jiwa Total, dan Kepala Jurusanya. Singkat ceria akhirnya dia sidang dan lulus. Komentar Beliau tentang sidang teman saya, yang Beliau sampaikan langsung sekian tahun setelahnya dan saya dengar juga dari yang lain, adalah: "Cuma satu orang murid sekaligus bimbingan saya yang berani mengedipkan sebelah matanya ke saya apalagi saat sidang skripsi." Kedipan itu sepertinya terjadi sesaat setelah teman saya itu menjawab satu pertanyaan Beliau. Seingat dia, pertanyaannya tidaklah sukar, hanya saja karena kaget sehingga dia tidak siap menjawabnya, karena pertanyaannya tentang hal yang teori sementara dia sedang fokus pada kemungkinan yang lain. Sepertinya kedipan itu lebih bermaksud untuk: Yahhh jangan tanya pertanyaan seperti itu lagi dong, please.... Dia sama sekali tidak sadar saat melakukan itu. Sampai akhirnya dia bertanya ke Pembimbingnya yang lain mengenai hal itu. Jawabnya singkat, jelas dan padat: "Memang Iya! Emang lo konyol kok!" Hemm, kayaknya gitu.

Tentu, meski teman saya itu berkulit gelap, dia bukan kecap nomor 1 yang dihasilkan Beliau si Dosen Killer itu. Banyak muridnya yang hebat dan dia belum apa-apa. Tapi saat itu dia berhasil menjalani suatu proses. Berproses untuk belajar banyak hal dari bimbingan 2 Gurunya yang luar biasa itu. Belajar, selain bidang hukum, untuk menghadapi banyak hal yang menjadi tantangan dan bertahan terhadapnya, serta tetap berusaha untuk bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan dalam proses itu. Biasalah, hampir semua mahasiswa mengalami proses itu. Proses yang membuat mahasiswa "jatuh-bangun".

Dia berterima kasih banyak atas bimbingan almarhum Ibu Hafni Sjahruddin. Mungkin saat ini dia bisa meminta sesuatu seperti ini: "Meski saya belum memenuhi permintaan Ibu untuk lanjutkan studi saya, apakah pengalaman hidup saya sejauh ini bisa dianggap "studi" saya sudah lanjut, Bu?" (Pastinya sambil kedipkan sebelah matanya ke arah Beliau). Berharap aja lu. Paling jawaban Beliau:"Kamu baru lulus pemberantasan buta huruf!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun