Mohon tunggu...
jonansaleh
jonansaleh Mohon Tunggu... Ilustrator - Hands are the second thought

Tangan adalah pena dari pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pegiat Plagiat: Profesi Baru Ibu Jariku

1 Juni 2017   21:53 Diperbarui: 1 Juni 2017   22:37 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Definisi plagiat tentu tidak perlu penulis mendeskripsikannya lagi di sini. Saya meyakini, para pembaca sudah memahami apa dan bagaimana itu plagiat, plagiarisme dan plagiator atau penjiplak. Saya mencoba melihat sisi lain dari plagiarisme itu, terutama dari sudut efek atau akibat yang ditimbulkannya. Secara khusus saya melihat ini sebagai a new profession in digital era. Mengapa dan bagaimana? 

  1. Instant Culture: Meskipun budaya plagiat telah lama ada sebelum era digital, namun ia mengalami perkembangan pesat semenjak era digital hampir pasti menguasai seluruh lini kehidupan dan aktivitas kita sehari-hari. Sebagai akibatnya, secara sadar maupun tidak, kita dikuasai oleh budaya kegampangan atau kemudahan. Tuntutan untuk bekerja giat dan keras tidak lagi menjadi bagian dari etos dan etis kerja kita. Termasuk di dalamnya berinstan secara akademik maupun non-akademik. Banyak bukti yang bisa kita sodorkan terhadap beberapa fenomena plagiarisme ini, seperti yang kita tahu dari media massa maupun elektronik. Efek negatif yang paling terasa adalah menjadikan kita malas. Malas berpikir, malas beranalisi, malas menulis dan malas-malas lainnya. Untung-untungan jika kita malas berplagiat. Sebuah budaya yang bersifat langsung (tanpa 'dimasak') dipakai dan dikenakan sehingga menjadi bagian dari model budaya kita.  instant culture hanyalah salah satu penyebab timbulnya plagiarisme. 
  2. Menjadi Pegiat Plagiat: adalah menjadi keprihatinan apabila aktivitas plagiat menjadi sebuah profesi yang 'menjanjikan' meskipun harus tak bernurani dalam menjalaninya. Bahwa berkat seperangkat alat bernama ibu jari, kita bisa menjalankan profesi ini secara amatir/malu-malu maupun secara profesional/tak tahu malu tapi tahu dan mau. Prosedur yang tidak njelimet memampukan ibu jari bisa melalangbuana bertamasya dari satu sumber ke sumber lain. Hahaha.... hasilnya? Sempurna. Bahkan lebih dari apa yang diharapkan. Dengan dan melalui racikan secukupnya jadilah hasil karya ibu jariku. Memuaskan untuk seorang yang tak punya nurani. 
  3. Here is the key: Rambu-rambu penjiplakan sudah seharusnya menjadi modal seorang penulis ketika berpanggung dalam dunia penulisan. Detail-detail apa yang perlu diperhatikan oleh seorang penulis hendaknya selalu diingatkan, dipelajari terus dan tentu diaplikasikan. Hal mudah- yang menurut penulis menjadi kunci- terakhir adalah ibujari kita. Ibu jari sebagai perwakilan dari sepersekian perangkat yang digunakan dalam aktivitas menulis, maupun berbicara. Meskipun selama kita berpikiran dan berniat untuk berplagiat, namun jika kita mengurungkan ibu jari untuk tidak bergerak maka selama itu pula kita tidak termasuk pegiat plagiat. 
  4. Finally: Bukan hal yang mudah untuk menerapkannya dalam keseharian hidup kita. Hal sederhana bisa saja berangkat dari hal-hal kecil yang kita sepelekan. Nurani ibu jari bisa menjadi tumpuan akhir kita dalam  mangurungkan niat berplagiat. Semoga saja tulisan sederhana dan pesan ibu jari ini bermanfaat bagi yang berniat plagiat dan yang sudah berprofesi sebagai pegiat plagiat. 
  5. #SalamIbujari. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun