Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pencabutan Subsidi Listrik Tidak Naikkan Kemiskinan?

20 Juni 2017   15:52 Diperbarui: 22 Juni 2017   14:43 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perhelatan opini publik soal kebijakan pencabutan subsidi listrik 900 VA semakin menarik. Pasalnya, selain ada pihak yang kontraproduktif terhadap kebijakan itu, ada pula yang pro dengan beberapa argumennya. Ya, meski banyak kejanggalan-kejanggalan logika yang digunakan.

Kita ketahui bersama bahwa listrik masuk sebagai kebutuhan vital sehari-hari. Sebagai komoditas yang dimonopoli satu penjual "atas nama" negara, listrik mau tak mau menjadi komoditas "mewah". Inelastisitasnya yang sempurna menyebabkan ketidakperdayaan masyarakat untuk tak membelinya.

Makin bertambahnya populasi penduduk, makin meningkat pula permintaan terhadap listrik. Interaksi tersebut juga mengakibatkan peningkatan konsumsi kelistrikan nasional setiap tahunnya.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga yang konsen terhadap seluk beluk permasalahan konsumen ikut menanggapi dampak yang akan timbul akibat kebijakan pemerintah tersebut. Sebagai satu lembaga pembantu konsumen mendapatkan hak dan kewajibannya, YLKI merasa perlu untuk memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai maksud pemerintah mencabut subsidi listrik 900 VA yang pelanggannya sekitar 17,18 persen tipe pasca bayar.

Namun ada keanehan logika sekaligus data yang digunakan oleh YLKI untuk memahamkan masyarakat. Menurut YLKI, kebijakan pencabutan subsidi listrik 900 VA sudah tepat. Sebab, kenaikannya hanya pada konsumen listrik 900 VA saja. Selain itu, yang paling mencengangkan adalah pernyataan YLKI bahwa kenaikan TDL sebagai dampak pencabutan subsidi listrik tersebut tidak akan memiskinkan konsumen atau pelanggan. Mereka beralasan bahwa justru faktor pemicu kemiskinan adalah rokok (Kumparan, 2017).

Kalau kita pikir, logika macam apa ya yang digunakan?. Tidak berdasar dan besar terdapat pretensi gagal melakukan pemantauan terhadap angka statistik mungkin.

Pada akhir Mei lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka inflasi bulanan. Besar inflasi bulan Mei tercatat sebesar 0,39 persen. Penyumbang inflasi bulan Mei 2017, urutan pertama dishare oleh bahan makanan sebesar 0,17 persen; kelompok perumahan, air, listrik dan gas sebesar 0,09 persen dan ketiga terbesar baru makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,06 persen.

Berdasarkan besar komoditas penyumbang inflasi tersebut saja sudah jelas. Tak bisa kita katakan bahwa kenaikan listrik tak menambah kemiskinan. Justru komoditas yang bebas diintervensi pemerintah itulah yang lebih mudah menyebabkan inflasi.

Meski di satu sisi, pemerintah menginginkan kita berhemat listrik, tapi di satu sisi berdampak menambah kemiskinan. Tak dapat dipungkiri bila TDL naik, biaya hidup akan naik yang artinya mengurangi daya beli masyarakat terhadap listrik.

Jika kebijakan pemerintah tak dilakukan secara hati-hati dan pengawasan ketat, tentu tak menjamin akan mencapai keadilan yang diimpikan. Mengurangi kemiskinan dengan menciptakan kemiskinan yang lain. Seperti galih lubang tutup lubang saja kan?.

YLKI berdalih rokok dan rokok lah yang menyebabkan kemiskinan. Padahal, mbok ya diamati dulu, kapan dan bagaimana rokok menjadi penentu kenaikan angka kemiskinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun