Di satu sore, rutin, dan warung kopi pak Gamblang dikerumuni para petani yang pulang dari sawah. Lelah seharian mencangkul, membersihkan rumput, menyemprot, dan mengairi.Â
Memasuki musim panen, ritual syukur kepada Dewi Sri mulai disiapkan para petani. Apem, kembang setaman, dan air tape ketan ditata apik di tampah. Namun uba rampe kurang lengkap tanpa getah kemenyan.Â
Pak Arisman, pemilik 3 petak sawah merasa kesulitan mencari karena sudah beberapa tahun memang getah kemenyan tidak dijual lagi di daerahnya, di bukit Ngawian. Ternyata getah kemenyan yang dibawa ke pasar Pahing selalu ditolak oleh Muljono sarjana ekonomi, anak pak Dukuh karena dianggapnya sebagai perantara untuk mengundang jim, syirik katanya.Â
Para penjual pasar dan warga diimbau untuk tidak lagi jual getah tersebut. Para sesepuh desa yang biasa menaburkan getah kemenyan ke rokok lintingannya hanya bisa nrima ala orang desa, manut dengan pemuda yang 4 tahun keluar desa untuk menimba ilmu di kota, sejauh 2 jam naik motor.Â
Setelah Muljono lulus dari jurusan ekonomi, ternyata tidak mudah untuk mencari pekerjaan, tidak seperti yang dibayangkan Mulyono dan warga desa. Pernah diterima di bank sebagai teller namun resign karena diangganya tidak syariah, itu yang dia pahami dari salah satu organisasi di kampusnya. Selain kuliah 16 sks per semester, Muljono memang aktif di organisasi, tidak jarang juga ikut demo. Muljono akhirnya pulang ke desa dan berjualan madu hutan bukit Ngawian milik pak Jenggot.
Para petani pulang dari sawah bawa cangkul, sabit, ani-ani, caping, dan rantang, mampir ke warung pak Gamblang. Dibasuhnya kaki penuh lumpur, duduk di kursi bambu. Tidak lupa ritual melinting rokok, dari tembakau bawah bukit Ngawian, cengkeh dari pak Sugi, dan kertas rokok dari toko Tionghoa pasar Pahing.
"Kelembak menyan apa juga sulit sekarang?" tanya pak Gito.
"Pokoknya segala yang bernama menyan sekarang tidak dijual di pasar Pahing," sahut pak Arisman."
"Kok rasanya kurang lengkap ngrokok tanpa kelembak menyan, kurang wangi."
Pak Gamblang dengan cekatan meraih gelas dan menuangkan teko kopinya penuh ke gelas bermotif bunga. Kopi pak Gamblang, robusta, dipetik dari kebunnya sendiri di sisi timur bukit. Kebun kopinya diurus turun-temurun, dari sang kakek karena kebijakan tanam kopi Belanda saat itu.Â
Pak Gamblang tahu betul bagaimana cara menghasilkan biji kopi yang baik, juga menyeduh kopi. Air yang direbus di tekonya, berbahan bakar arang buatan pak Suji. Tidak lupa gula batu dari pabrik gula bawah bukit beserta berhektar-hektar ladang tebu peninggalan Belanda.Â