Mohon tunggu...
Johan Wibawa
Johan Wibawa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang Mahasiswa Psikologi angkatan 2010 di Universitas Sumatera Utara, dan sedang jatuh cinta pada dunia Kata-Kata. Salam Kenal, Kompasianers! Mari saling berbagi melalui tulisan. http://johanwibawa.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jujur Aja Kok Repot?!

9 Agustus 2012   01:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:04 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344447684726058743

"Rudi, kenapa kamu terlambat masuk kantor?" seorang Bos sedang menegur karyawannya yang datang kesiangan.

"Emm... Emm..." si karyawan bingung hendak menjawab apa, karena sebenarnya dia terlambat akibat bangun kesiangan. "Emm... Biasa, bos. Jalanan macet."

"Jalanan macet? Rumahmu sangat dekat dari sini, dan kamu setiap harinya datang dengan jalan kaki. Bagaimana mungkin kamu bisa terjebak macet?"

Rudi mulai panik. Dia gelisah dan tidak tahu lagi harus bagaimana menjawab Bosnya. Dia memutar otaknya dengan keras, tapi tetap tidak membuahkan hasil. Dia kehabisan kata-kata.

"Sudah. Pergi ke meja kerjamu sekarang," Bosnya memerintahkan.

Dengan perasaan lega dan bersyukur karena tidak ada hukuman dari Bos, Rudi mengiyakan, "i...iya, Bos."

"Buat surat pengunduran dirimu dan berikan padaku hari ini juga."

***

Pernahkah kita tidak berkata jujur? Tentu pernah. Pernahkah kita berkata bohong? Tentu pernah juga. Mana yang lebih baik, tidak berkata jujur atau berkata bohong? Dalam dunia bisnis, kejujuran sepertinya merupakan hal yang sangat langka pada masa sekarang ini. Orang-orang tidak segan menggunakan kebohongan hanya supaya bisa mendapat lebih banyak keuntungan. Tidak peduli Anda adalah seorang teman atau orang yang baru dikenal, mereka tetap akan melakukannya demi beberapa rupiah tambahan yang bisa masuk ke dalam kantong mereka.

Hal itu mungkin masih wajar. Akan lebih bahaya jika prilaku berbohong yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Orang-orang yang sudah terbiasa berbohong tidak akan lagi merasa bersalah ketika melakukannya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan ketika kebohongan itu disampaikan kepada orang terdekatnya, misalnya orang tua. Andakah salah satunya? Semoga tidak. Mengapa sih berbohong? Ada banyak sekali alasan kenapa kita berbohong. Misalnya pada ilustrasi yang disampaikan di awal, Rudi berbohong karena alasan ketakutan. Takut dimarahi oleh atasan. Takut mendapatkan hukuman. Ini adalah alasan yang paling klasik dan paling umum kenapa seseorang berbohong. Dalam bukunya yang berjudul 'Born Liars', Ian Leslie menulis bahwa kita sudah bisa berbohong sejak usia empat tahun dengan tujuan untuk menghindari hukuman atas kesalahan yang sudah kita perbuat. Ada juga orang yang berbohong dengan tujuan untuk menghindari perasaan malu. "Berapa berat badanmu?" Orang-orang yang kurang percaya diri karena memiliki berat badan berlebih, mungkin akan sangat sensitif terhadap pertanyaan semacam ini, dan cenderung memberikan jawaban yang dibuat-buat supaya dia tidak kelihatan terlalu gemuk. "Bau banget... Siapa sih yang kentut?" Pada situasi semacam ini, 'pelaku'nya juga biasanya akan melakukan kebohongan supaya dia tidak merasa malu. Ekstrimnya, dia justru akan menuduh orang-orang di sekitarnya supaya dia sendiri terbebas dari tuduhan. Hayooo... yang lagi senyum-senyum sendiri ketika baca paragraf ini, Anda termasuk salah satunya kah? Ha-ha-ha... Alasan lain kenapa kita berbohong adalah untuk mendapatkan keuntungan. Tujuan berbohong yang satu ini memang terkesan lebih jahat, tapi coba tanyakan pada diri kita sendiri apakah kita juga termasuk orang yang berbohong dengan alasan ini. Penulis sendiri pernah menjadi korban atas kebohongan ini selama berkali-kali, tapi ada satu yang menurut penulis sangat 'berkesan'. Kejadiannya itu sekitar dua tahun lalu. Saat itu seorang teman lama tiba-tiba menghubungi penulis melalui salah satu situs jejaring sosial. Setelah saling bertukar nomor telepon melalui website itu, dia pun langsung mengirim pesan kepada penulis: "Hari minggu ini datang ke restoran Z, ya. Aku ulang tahun minggu ini." Mendapat undangan yang tiba-tiba seperti ini, penulis pun mengiyakan saja. Pertimbangan lainnya adalah bahwa dia adalah seorang teman lama, tidak ada salahnya untuk saling bertemu dan saling melepas rindu sejenak. Pada hari dan jam yang telah ditentukan, ketika penulis tiba di lokasi dengan sebuah kotak kado di tangan, penulis mulai merasa ada yang aneh. Sama sekali tidak ada tanda-tanda acara ulang tahun di sana. Penulis menunggu selama hampir satu jam sebelum akhirnya teman penulis itu muncul bersama beberapa temannya. Mereka duduk di depan penulis, berbasa-basi sejenak, dan terakhir mereka menawarkan penulis untuk bergabung menjadi agen sebuah perusahaan MLM. Jika Anda yang berada pada posisi seperti itu, kira-kira bagaimana sikap Anda? Ketika kita melakukan kebohongan untuk memperoleh keuntungan bagi diri kita sendiri, hal itu mungkin bisa membuat kita senang. Senang karena bisa mendapat lebih banyak keuntungan. Senang karena itu membuat kita menjadi lebih kaya. Akan tetapi coba kita pikirkan bagaimana perasaan orang yang dibohongi tersebut jika kebohongan kita terbongkar suatu saat nanti. Lebih mudahnya, coba bayangkan bagaimana perasaan Anda sendiri jika suatu saat Anda menyadari bahwa seseorang telah membohongi Anda dengan maksud seperti ini. JUJURLAH... Ketika kita melakukan kebohongan, energi yang kita kerahkan akan lebih banyak daripada ketika kita mengatakan kejujuran. Pikiran kita bekerja lebih keras ketika kita ingin berkata bohong, karena untuk mengucapkan sebuah kebohongan, berarti kita sedang menciptakan sebuah skenario baru yang tidak sesuai dengan kenyataan dan berusaha membuat agar skenario tersebut terlihat logis. Bukan hanya itu, ketika kita sudah berhasil menciptakan sebuah kebohongan, pikiran kita justru akan dipaksa bekerja jauh lebih keras lagi. Kita harus berusaha untuk menghafal kebohongan-kebohongan yang sudah kita ucapkan supaya kebohongan kita tetap konsisten dan tidak terbongkar. Parahnya, tidak jarang kita justru harus menciptakan sejumlah kebohongan baru untuk menutupi kebohongan awal kita. Semua ini akan menciptakan sebuah rantai kebohongan yang tidak ada ujungnya. Satu-satunya cara untuk memutus rantai ini adalah dengan kejujuran. Akuilah semua kebohongan yang sudah pernah kita perbuat, dan berusahalah untuk selalu berbicara jujur ke depannya. Hadapi semua masalah dengan kejujuran. Coba bayangkan bila pada ilustrasi di atas, Rudi langsung bicara jujur dari awal, bahwa dia terlambat bangun pada hari itu. Kemungkinan besar bosnya itu akan memaafkannya atau minimal hanya memberinya surat peringatan. Tidak akan berakhir pada pemecatan. Kejujuran itu mungkin kadang terasa sangat pahit, tapi bagaimanapun kejujuran itu jauh lebih bernilai dan dihargai daripada kebohongan. Coba tanyakan pada diri kita masing-masing, ketika menjalin hubungan asmara (pacaran) misalnya, kita lebih memilih untuk dibohongi atau dijujuri oleh pacar kita? Hubungan asmara akan menjadi terasa jauh jauh jauh lebih pahit jika hubungan tersebut dibangun dengan kebohongan. Katakan saja yang sejujur-jujurnya kepada pasangan Anda, sepahit apapun kejujuran itu. Jika pasangan Anda memang menerima Anda apa adanya, kejujuran Anda yang pahit itu justru akan menjadi sebuah pondasi yang sangat kokoh bagi hubungan kalian. Kejujuran yang Tertunda Jujur itu penting! Tapi ada juga saat-saat dimana kita tidak boleh jujur. Tidak jujur yang penulis maksud di sini bukan berarti berbohong. Orang yang tidak jujur belum tentu berbohong, tetapi orang yang berbohong sudah pasti tidak jujur. Bayangkan bahwa Anda mempunyai teman yang istrinya mengidap penyakit jantung. Suatu hari teman Anda ini mengalami kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia di rumah sakit. Sebagai teman yang baik, Anda pun segera pergi ke rumahnya untuk mengabari istrinya. "Yuk kita ke rumah sakit sekarang," kata Anda pada istri teman Anda begitu tiba di rumahnya. "Untuk apa?" istri teman Anda balas bertanya. Lantas apa jawaban yang akan Anda berikan? Apakah Anda tega memberikan kabar yang sangat buruk (kejujuran) pada seseorang yang mengidap penyakit jantung seperti itu: "Suami Anda baru saja meninggal. Dia diserempet truk besar. Wajahnya hancur, tulangnya remuk semua. Terus biaya rumah sakitnya sekian puluh juta." Tidak. Kita tidak boleh terlalu jujur (juga tidak boleh berbohong) pada situasi seperti ini. Tundalah kejujuran kita: "Sudah, ayo ikut saja aku ke rumah sakit sekarang. Suamimu lagi tungguin kamu di sana sekarang. Ayo... Ada surprise gitu buatmu." Dengan skenario yang seperti ini, dimana Anda menunda kejujuran Anda, itu akan berkali-kali lipat lebih baik daripada bila Anda langsung berterus terang padanya. Anda bisa mempersiapkan mental dia selama perjalanan menuju rumah sakit, supaya dia tidak terlalu terkejut ketika mendapatkan kabar buruk tersebut. Bukan hanya itu, andai saja penyakit jantungnya tetap kambuh begitu mendapat kabar buruk di rumah sakit, setidaknya dia sudah berada di rumah sakit sehingga dokter-dokter di sana bisa langsung menanganinya. Kenalilah Situasinya Ada saatnya di mana kita harus jujur, dan ada juga saatnya kita harus menunda kejujuran kita. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk tidak berkata bohong. Tapi kita bisa memastikan diri kita sendiri untuk selalu berkata jujur. Mulailah dari diri kita sendiri, biasakan untuk selalu jujur setiap saat. Ini memang merupakan tugas yang sulit. Namun ingatlah, sulit bukan berarti tidak mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun