Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penguatan Karakter Lebih dari Sekedar Perpres

9 September 2017   11:02 Diperbarui: 9 September 2017   11:44 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Presiden Jokowi resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Perpres ini menggantikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 23 tahun 2017 tentang hari sekolah. Point kontroversial dalam permendikbud ini adalah adanya ketetapan 8 (delapan) jam waktu belajar dalam satu hari, dan lima hari sekolah, atau belakangan sering disebut Full Day School (FDS). 

Dalam perkembangannya mendapat banyak kritik, terutama kalangan Nahdhatul Ulama, karena mereka menganggap FDS ini mematikan sekolah Diniyah yang ada di bawah kendali mereka. Adapun di perpres, jam belajar dan hari sekolah lebih bersifat opsional. Keputusannya diserahkan ke sekolah masing-masing, mau lima hari sekolah atau enam hari sekolah, disesuaikan dengan kondisi daerah.

Perpres maupun permendikbud tentang pendidikan karakter barulah satu gerbong persoalan pendidikan yang coba diperbaiki pemerintah. Di luar itu ada gerbong-gerbong lain yang juga membutuhkan perbaikan. Bahkan jika gerbong ini tidak diperbaiki, tidak akan berdampak banyak pada perbaikan yang dimaksud. Dengan ungkapan lain, pemerintah juga wajib mengurai benang kusut pendidikan lainnya, baik dari aspek kelembagaan; informal dan non formal, tenaga pendidikan dan kependidikan, manajemen, dan persoalan pendidikan lainnya. Tidak ubah seperti mobil yang sudah banyak mengalami kerusakan; mesin, rem, body, ban, dan komponen-komponen lainnya. Jika yang diperbaiki hanya mesin, bagimana dengan ban, rem? Atau jika yang diperbaiki hanya body, bagaimana dengan mesin, dan kompenen lainnya?

Baik perpres maupun permendikbud, keduanya memiliki tujuan sama, yaitu upaya penguatan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan ini bukan hal baru. Sejak hadirnya Undang-undang (UU) sistem pendidikan nasional, misi untuk menguatkan karakter sudah tersurat secara jelas, baik dalam UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maupun UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahkan pendidikan internasional secara umum, maupun pendidikan Islam sepakat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk karakter peserta didik. Hanya saja, praktik pendidikan Indonesia yang sudah berlangsung puluhan tahun lamanya, menurut pantauan publik terlena memoles otak peserta didik, dan kurang peduli terhadap penataan hati sebagai sumber pembentukan watak dan kepribadian.

Seperti biasa, persoalan bangsa yang berjangkit pada gilirannya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengubah kebijakan pendidikan. Ketika korupsi menggurita, narkoba menjalar, pergaulan bebas semakin marak, dan ragam persoalan moral lainnya, maka banyak kalangan yang menilai bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan, dan oleh sebab itu harus ada reformasi, renovasi, atau apa sajalah yang dianggap mampu meredam persoalan sosial. Ujung-ujungnya tidak lain, pasti ke pergantian kurikulum. Artinya, asumsi yang dibangun adalah jika muncul persoalan sosial (struktural maupun kultural), berarti ada yang salah dengan kurikulum pendidikan nasional.

Sesederhana itukah asumsi yang dibangun, lalu dijadikan sebagai dalih dan dalil untuk mengubah kurikulum? Apakah tidak ada kemungkinan lain yang pada hakikatnya jauh lebih berpengaruh terhadap perkembangan karakter peserta didik yang suatu hari menjadi pelayan publik, pengusaha, dan ragam profesi lainnya? Jawabannya, kemungkinan lain itu pasti ada dan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan karakter peserta didik. 

Persoalan dimaksud adalah guru, mulai dari perekrutannya sebagai mahasiswa di fakultas keguruan atau tarbiyah, sistem rekrutmen dan penempatan guru, pembinaan dan pelatihan, hingga pola sertifikasi. Selain itu, kepemimpinan nasional, sistem pilkada, dinamika budaya, sampai sistem birokrasi, juga memiliki pengaruh yang tidak kalah besarnya. Dalam tulisan ini hanya diuraikan satu komponen yang terkait dengan guru.

Pertama,saat diterima menjadi calon mahasiswa keguruan, seberapa akurat seleksi yang diselenggarakan perguruan tinggi? Sampaikan penelusuran kampus pada motivasi mereka memilih menjadi calon guru. Apakah karena lapangan pekerjaan yang relatif mudah, karena ikut-ikutan, atau karena panggilan hati untuk mendidik? Dari beberapa sumber yang sempat penulis baca, bahwa di Finlandia, lebih sulit masuk fakultas keguruan dari pada masuk ke fakultas kedokteran karena seleksinya yang begitu ketat.

Ringkasnya, jiwa pendidik mereka harus dapat terdeteksi sejak dini. Dalam proses perkuliahan, sejatinya mereka digembleng dengan materi-materi yang bernuansa psikologis. Metode dan model pembelajaran harus menjadi perhatian serius fakultas keguruan, karena pendidik itu harus memiliki kekayaan dan keragaman metode dan model pembelajaran, plus jiwa psikologis yang kokoh.

Kedua,sistem rekrutmen guru juga patut dibedah. Apakah sistem rekrutmen selama ini dianggap sudah sngat jitu dan bermutu dalam menghasilkan calon pendidik yang sesuangguhnya? Beberapa kali penulis sempat ikut seleksi calon guru. Nah, materi yang diujikan sama sekali tidak bersinggungan dengan profesi sebagai pendidik. Lagi-lagi, di sini tidak ada tes khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengetahui kompetensinya sebagai calon pendidik. Apalagi para guru yang lewat jalur database,secara formal kemampuan mereka tidak dapat dipetakan dengan baik, terutama yang berkaitan dengan jiwa pendidiknya. Bahkan, uji kompetensi sebenarnya harus dilakukan pada proses seleksinya. 

Lucu, kalau seorang guru yang sudah lulus seleksi dan sudah menjadi guru bertahun-tahun, tiba-tiba tidak lulus dalam uji kompetensi. Ini konyol. Bisa ditiru atau tidak? Penulis melihat ada pola rekrutmen yang baik sebagaimana yang diterapkan di Sekolah Islam Terpadu (SIT). Mereka fokus pada penilaian sejauh mana calon guru menguasai bidangnya dengan baik dan bagaimana kemampuannya mengimplementasikan teori-teori pendidikan. Dengan pola seleksi semacam ini, dapat diketahui, mana guru yang benar-benar guru dan mana guru yang 'menyamar' jadi guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun