Mohon tunggu...
Frediyanto Hendrayani
Frediyanto Hendrayani Mohon Tunggu... -

Diam-diam menghanguskan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Generasi "Copy-Paste"

16 Februari 2017   19:42 Diperbarui: 19 Februari 2017   15:17 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Seorang mahasiswa ditanya oleh dosen pembimbing skripsinya, “Kamu mengambil judul skripsi hubungan layanan inforamasi dengan motivasi belajar. Apa yang kamu ketahui tentang layanan informasi?” Sang mahasiswa sejenak berpikir, kemudian memberikan jawaban, “Layanan informasi itu seperti papan bimbingan itu, Pak.” Jawaban yang luar biasa kacau karena dia memahami layanan informasi hanya sebatas papan bimbingan. Sungguh malang mahasiswa ini karena hingga semester akhir pun, dia belum memahami dengan benar mengenai layanan informasi.

Di tempat yang berbeda, terjadi perbincangan antara seorang bapak dengan anaknya yang telah kuliah semester tiga di salah satu universitas. Bapak ini berkata kepada anaknya, “Nak, kok Bapak perhatikan ujian semester kalian lebih banyak ngumpulin tugas daripada ujian tertulisnya.” “Iya, Pak. Mungkin karena kurikulum baru, Pak. Jadi, kami lebih banyak ngerjain tugas daripada mendengarkan dosen ceramah dan saat ujian pun lebih banyak ngumpulin tugas daripada ujian tertulis,” jawab sang anak.

Cerita pertama mau mengatakan kepada kita tentang seorang mahasiswa yang miskin pemahaman mengenai konsep layanan informasi. Kemiskinan pemahaman tentang konsep suatu ilmu ini merupakan gejala yang mulai terlihat pada pelajar dan mahasiswa saat ini. Apa yang menyebabkan hal ini? Menurut penulis ada dua sebab. Pertama, pelajar dan mahasiswa saat ini dimanjakan oleh teknologi khususnya teknologi informasi. Saat ini berbagai informasi bisa didapatkan dengan mudah. 

Sehingga misalnya, ketika seorang mahasiswa mengerjakan tugas yang sebenarnya membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang sebuah konsep ilmu, ia justru dengan mudahnya meng-copy paste saja dari internet dan selesai sudah tugasnya, tanpa memperhatikan logis tidaknya hasil copy-paste-annya dengan isi tugas yang diberikan, tanpa memperhatikan tatanan bahasa yang baku dan benar, tanpa peduli apakan ia memahami isi informasi dari hasil copy paste-nya. Sungguh malang, karena pelajar dan mahasiswa ini tidak membiasakan dirinya untuk bekerja keras memahami konsep-konsep ilmu yang ia pelajari. Akibatnya, ia mengalami kemiskinan akan konsep ilmu yang ia pelajari.

Hal ini sungguh berbeda dengan generasi sebelumnya. Seorang bapak menceritakan pengalaman ketika ia bersekolah dulu. Dulu, mereka tidak memiliki buku tulis ataupun buku pelajaran. Mereka hanya diberikan sebuah alat yang bernama “batu tulis”. Batu tulis inilah yang berfungsi sebagai buku tulis. Setiap kali guru menjelaskan sebuah mata pelajaran, mereka akan mencatatnya di batu tulis itu. Uniknya, ketika pergantian mata pelajaran, catatan pada mata pelajaran sebelumnya mesti dihapus dari batu tulis itu agar bisa digunakan untuk mencatat mata pelajaran selanjutnya. 

Hal ini mengharuskan mereka untuk menghafal dan memahami isi catatan yang sudah mereka tulis tadi sehingga nantinya tidak lupa. Jadi, generasi dahulu bekerja begitu keras untuk memahami konsep-konsep ilmu yang mereka pelajari. Mereka tidak memiliki buku, tidak ada tulisan yang permanen atau bertahan lama untuk dibaca sehingga mengharuskan mereka bekerja keras memahaminya entah dari penjelasan guru atau dari tulisan yang dalam hitungan menit dihapus itu (di batu tulis tadi). 

Tetapi, luar biasanya, mereka memiliki ingatan jangka panjang yang lebih baik dibandingkan dengan generasi sekarang yang terlalu dimanjakan oleh teknologi informasi (internet) dan tulisan. Generasi sekarang adalah generasi yang mudah lupa dan hanya baik dalam ingatan jangka pendeknya, tidak ingatan jangka panjangnya. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Socrates bahwa tulisan menghapus ingatan karena orang yang menggunakan tulisan akan menjadi pelupa dengan hanya bergantung pada sumber eksternal alih-alih sumber internal.

Kedua, entah benar atau tidak, tapi apa yang dikatakan oleh anak dalam cerita kedua, menyiratkan makna bahwa kurikulum sebenarnya turut mengerdilkan pemahaman pelajar dan mahasiswa tentang konsep-konsep sebuah ilmu. Guru atau dosen sebagai pelaku yang mengejawantahkan kurikulum dalam kelas-kelas, akhirnya hanya memberi tugas kepada anak didik tanpa memberi bekal yang memadai mengenai konsep yang harus dikuasai anak didiknya. 

Akibatnya, anak didiknya, mengerjakan tugas tanpa memahami dengan benar konsep-konsep ilmu yang ia pelajari. Padahal sejatinya, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu konsep ilmu yang ia pelajari sebelum melangkah ke hal-hal lain seperti mengerjakan tugas dari guru. Hanya saja, generasi sekarang beruntung dengan adanya teknologi informasi (internet). Walaupun ia mengalami kemiskinan memahami konsep, tapi hal itu tidak menghalanginya untuk mengerjakan tugas, karena ia terbantu dengan teknologi informasi (internet), walaupun akhirnya hanya sebatas copy-paste.

Inilah yang terjadi pada mahasiswa dalam cerita pertama tadi. Cerita berlanjut dengan kesulitan sang mahasiswa untuk mengerjakan skripsinya. Ia sama sekali buta dan tidak tahu bagaimana harus mengerjakan skripsinya. Ia buta dan miskin pemahaman tentang konsep. Hasil akhirnya, ia pun meng-copy paste skripsi orang lain yang memiliki judul yang sama dengan judul skripsinya. Sungguh malang nasib mahasiswa ini. Akhirnya, Ia menjadi salah satu mahasiswa yang masuk dalam generasi “copy paste”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun