Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berkunjung ke Pulau Asei, Mama-mama Papua Membuat Noken

13 Agustus 2013   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:21 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkeliling sambil menyusuri kawasan Jayapura sekitarnya, akan ditemui beragam tempat dilengkapi artefak budaya yang cukup menarik dan unik. Senin (12/8) kemarin, saya sempat berkunjung di sebuah pulau yang terletak di distrik Sentani Timur, atau tepatnya pulau Asei. Pulau ini letaknya berada di bagian timur dari danau Sentani, merupakan kawasan yang dihuni ratusan warga beraktivitas sebagai nelayan, dan sebagian pengrajin.

Menginjakkan kaki di pulau Asei kali pertama memang agak was-was, lantaran pulau yang menjulang dengan perbukitan hijau terkesan magis. Binatang piaraan penduduk setempat yaitu, babi dan anjing banyak berkeliaran selalu awas tatkala ada pengunjung datang. Namun tak satu pun di antaranya yang mengganggu. Deretan rumah warga berdiri persis di tepian pulau (di atas air) menjadi salah satu bagian unik, sehingga bila air pasang cukup mengkhawatirkan bagi yang tak terbiasa.

[caption id="attachment_280657" align="aligncenter" width="300" caption="pulau Asei, distrik/kawasan Sentani Timur (jm)"][/caption] [caption id="attachment_280659" align="aligncenter" width="300" caption="blusukan di pulau Asei (jm)"]

13763850701626602487
13763850701626602487
[/caption] [caption id="attachment_280660" align="aligncenter" width="300" caption="disambut Bapak Kis Ongge, sesepuh setempat (jm)"]
13763851731605759739
13763851731605759739
[/caption] Setelah beberapa saat menyusuri/mendaki perbukitan dan pepohonan rimbun saya pun sedikit terkaget > ternyata di lokasi menjelang puncak bukit berdiri seorang bapak, lengkap dengan senjata tajam dibawanya. Dari arah atas beliau cermat memerhatikan langkah setiap pendatang, orangnya sangat berwibawa dan begitu jarak kita semakin dekat, malahan beliau mengajak salaman. Saya pun tanggap dan langsung mengenalkan diri, nama saya: joko dari Indonesia/Jawa.

Alhasil, dalam berbincang lebih jauh ternyata beliau dikenal dengan nama Kis Ongge, seorang bapak/sesepuh di kawasan pulau Asei ini. Setelah memahami kedatanganku dan kawan-kawan > suasana menjadi semakin akrab, bahkan beliau yang tadinya nampak serius, berubah menjadi berbincang diselingi senyum, bercerita panjang lebar tentang sejarah Gereja Tua Asei.

[caption id="attachment_280661" align="aligncenter" width="300" caption="Gereja Filadelfia, di kawasan Asei (jm)"]

1376385290222223405
1376385290222223405
[/caption]

Menurutnya, “Gereja ini didirikan pada zaman Belanda, tepatnya pada tahun 1928. Hingga sekarang, gereja masih dimanfaatkan warga sekitar sebagai tempat beribadah.” Banyak orang berkunjung untuk melihat gereja yang dilestarikan ini, imbuhnya.

Terkait hal tersebut, mengingat di pulau Asei memang dikenal adanya situs yang secara sah dilindungi oleh undang-undang yang mengatur tentang Benda Cagar Budaya (BCB) maka terpampang di papan halaman depan bahwa keberadaan situs Gereja Tua Asei, yang tertulis berdiri sejak 1 Juli 1928, merupakan salah satu artefak yang dilindungi negara. Gereja yang berkonstruksikan sebagian besar bahan kayu/papan itu masih dimanfaatkan sebagai tempat beribadah.

Nampak di sebelah situs Gereja Tua Asei, juga telah dibangun sebuah sekolah dasar oleh Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Filadelfia Asei Besar, Distrik Sentani Timur, sehingga suasana di lingkungan ini bertambah hidup-dinamis.

Mengunjungi kerajinan kulit kayu

Kurang lengkap tentunya jika menjajagi pulau Asei nan menarik ini belum mengunjungi kehidupan sosial-budaya yang terdapat di sana. Usai melihat situs Gereja Tua, perjalanan dilanjut menuju rumah-rumah penduduk setempat.

Di tengah aktivitas warga, ditemui beberapa mama Papua yang sedang tekun mengayam, memintal kulit pohon sebagai bahan kerajinan di teras rumah. Dan ketika penulis minta izin, dibolehkan melihat dari dekat, ternyata mereka menyambutnya sangat ramah dan terbuka. Anak-anak mereka dan paitua-nya ikutan nimbrung sambil menjelaskan apa yang kutanyakan berkait industri kerajian tersebut.

[caption id="attachment_280662" align="aligncenter" width="300" caption="mama-mama Papua di Asei menganyam/merajut Noken (jm)"]

1376385418942708821
1376385418942708821
[/caption] [caption id="attachment_280663" align="aligncenter" width="300" caption="melihat kerajinan tangan kulit kayu (jm)"]
1376385580859894303
1376385580859894303
[/caption] [caption id="attachment_280664" align="aligncenter" width="300" caption="mencermati makna kerajinan tangan (jm)"]
13763856961645187286
13763856961645187286
[/caption]

“Menggauli” mereka dalam artian untuk berempati sekalian berbincang tentang industri kerajinan rumahan yaitu noken, membuatku hanya bisa manggut-manggut. Terlebih dijelaskan tentang proses pembuatan. Mulai dari bahan mentah berupa kulit kayu, pengolahan, hingga penganyaman/merajut bentuk noken, ukuran kecil maupun besar, ternyata memerlukan proses relatif panjang.

Seorang pengrajin, Yohanis Pouw dan maitua serta kerabatnya yang menekuni usaha kerajinan tangan berbahan dasar kulit kayu ini menjelaskan, “noken di Papua ada bermacam-macam, setiap daerah memiliki ciri khas. Noken yang berasal dari pulau Asei, terlihat tidak ada sambungan, semua hasil pintalannya dibuat langsung.”

Ditanya soal jenis noken dan harga, langsung dijawabnya singkat. “Ukurannya ada yang besar, dijual seharga 500 ribu, sedangkan yang berukuran kecil yaitu seukuran buku dengan harga 300 ribu.” Tergantung mereka yang membutuhkan, katanya.

Di samping itu, tersedia pula di rumah industri kerajinan yaitu barang-barang berupa tas, dompet, topi, tempat hape, lukisan kulit, dan lain-lain yang semuanya terbuat dari bahan kulit kayu. Saya pun cukup tertarik dengan sebuah topi dan tas mini bertali panjang tempat barang kecil/hape, setelah transaksi langsung dipakai, ehem…asyik juga dipakainya...

[caption id="attachment_280665" align="aligncenter" width="300" caption="pulang dari pulau Asei, narsis naik long-boat (jm)"]

13763858881722169557
13763858881722169557
[/caption]

Lebih jauh berbincang tentang kelangsungan kerajinan, mengingat hanya mama-mama Papua setempat yang mau memproduksi noken, dan ditanya siapakah yang akan menjadi penerus produksi kerajinan tangan ini? Sebagian besar mereka terdiam sejenak, “anak-anak muda suda mulai jarang suka membuat/menggunakan noken, mereka suda senang memakai produk pabrik dan beli di toko-toko di luar pulau Asei,” terangnya.

Apa yang dikatakan para pace dan mace, mama-mama di pulau Asei, agaknya layak dicermati. Percepatan zaman yang ditandai semakin mudahnya akses informasi dan komunikasi serta ditunjang sarana transportasi seperti di pulau Asei, setidaknya akan membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial budaya setempat.

Gejala ini lebih diperkuat bahwa hampir setiap rumah tangga maupun individu di kawasan pulau Asei dilengkapi antenna parabola dan antenna Indovision. Ini menunjukkan bahwa terpaan informasi tentang kehidupan masa kini (bernuansa metropolitan) selalu didifusikan setiap saat melalui medium pandang-dengar, yang hingga saat ini menjadi pilihan utama mereka. Kepemilikan hape yang sudah merata, mobilitas penduduk usia muda yang tinggi > setidaknya juga akan mempengaruhi life-style generasi mendatang.

Diadakannya acara rutin > Festival Danau Sentani oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura setiap tahun (setiap pertengahan bulan Juni) juga merupakan event menarik sekaligus upaya mengapresiasi kebudayaan setempat. Seperti halnya ditampilkan tari tradisional, musik dan ceritera rakyat, pengenalan produk kerajinan warga setempat, merupakan tontonan sekaligus tuntunan bahwa di kawasan Sentani masih terdapat kebudayaan yang juga mencerminkan kearifan lokal. Mudahan langkah ini terus mendapat apresiasi segenap lapisan sehingga masyarakat di kawasan danau Sentani pada umumnya menjadi maju dan berkembang, tanpa harus tercerabut dari akar budayanya.

JM (13-8-2013).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun