Mohon tunggu...
Jingga Christia
Jingga Christia Mohon Tunggu... lainnya -

Menikmati proses menjadi muda, mandiri, dan bahagia. Cinta Jogja dan seisinya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dilarang Makan Sayap Ayam

15 Maret 2013   03:14 Diperbarui: 4 April 2017   18:11 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lupa kapan pastinya tetapi kira-kira sejak aku masuk kuliah aku tidak boleh makan sayap ayam. Aturan itu masih berlaku bahkan sampai hari ini. Tidak peduli apakah ayamnya digoreng, disemur, diopor, atau diolah macam apapun, pokoknya tidak boleh makan sayap ayam. Kadang kutanyakan pada ibu mengapa aku tidak boleh memakan sayap ayam tetapi selalu dijawab ‘pokoknya tidak boleh karena tidak bagus’. Saat luang pernah kutelusuri dalam aturan agama apakah seorang wanita, atau lebih spesifik lagi seorang anak gadis, tidak boleh memakan bagian tubuh tertentu dari unggas, namun tidak ada jawabannya. Agama melarang memakan darah binatang. Agama melarang menyantap semua bagian tubuh dari babi dan anjing karena itu diharamkan namun tidak kutemukan larangan memakan sayap unggas apalagi ayam. Meskipun begitu aku tetap menuruti perintah menjauhi sayap ayam, namun bukan karena sangat patuh pada nasehat orang tua tetapi karena uangku cukup untuk membeli bagian tubuh lain yang lebih berdaging. Kepala, ceker, dan sayap adalah bagian tubuh yang minim daging jadi selagi aku punya uang untuk membeli paha atau dada aku lebih memilih di antara kedua bagian itu.

Pada suatu kesempatan makan siang, aku dan seorang teman mampir ke rumah makan untuk mengisi perut. Kami memesan sepiring nasi putih, sambal terasi, dan ayam goreng. Di tengah asyiknya menikmati makan siang aku berujar bahwa aku tidak pernah makan sayap ayam. Kebetulan saat itu temanku makan sayap sementara aku memesan paha. Ia bertanya mengapa lalu kujawab aku tidak tahu. Hanya semacam sugesti tidak mau makan sayap yang ditanamkan oleh orang tua, jawabku. Sejenak ia diam sambil terus menguyah. Tiga detik kemudian ia tertawa lebar nyaris terpingkal. “Aku tahu”, kata temanku. “Agar kamu tidak pernah pergi jauh dari rumah,” sambungnya. Aku hanya melongo namun kemudian tertawa terbahak-bahak juga. Logika yang sungguh lucu tetapi sangat bisa dimengerti. Jika suatu makluk memiliki sayap maka ia dapat terbang. Jika ia dapat terbang maka ia akan terbang tinggi dan jauh. Kini aku mengerti mengapa aku dilarang makan sayap ayam. Semata-mata agar aku ‘tidak bersayap’ sehingga kelak jodoh dan rejekiku tidak membawaku pergi jauh dari rumah, lebih tepatnya jauh dari orang tua. Begitu ingin orang tua agar anak-anak tidak meninggalkannya sampai menganut logika sayap ayam. Toh begitu aku memahami bahwa larangan atau hal-hal pamali yang masih banyak dianut oleh orang-orang tua kita sesungguhnya hanya ingin menunjukkan rasa cinta terhadap anak-anaknya. Tidak ada penjelasan secara ilmiah atau spiritual. Hanya karena mereka menyayangi anak-anaknya, titik.

Kota yang tidak jauh dari rumahku ini mungkin adalah salah satu jawaban atas puasa makan sayap tapi mungkin juga tidak karena masa depan orang-orang muda sepertiku masih panjang. Masih sambil tertawa aku menjelaskan bahwa aku ingin banyak berjalan-jalan dan melihat dunia luar. Jadi kupikir mungkin mulai sekarang aku akan banyak-banyak makan sayap ayam agar segera tumbuh sayap di punggungku. Teman makan siangku hanya tertawa sambil mengelap keringat di dahi karena kepedasan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun