Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dalam Demokrasi, Pemenang Belum Tentu yang Terbaik

27 April 2017   22:40 Diperbarui: 28 April 2017   08:00 1989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan (kiri) dan Sandiaga Uno (Kanan) sedang dideklarasikan oleh Prabowo Subianto (tengah) dalam pertarungan Pilgub DKI 2017. Sumber : jpnn.com

Pernah anda melihat anak-anak yang beradu mulut untuk mendapat pengakuan sebagai anak yang memiliki mainan yang paling keren dan paling hebat? Pernahkah anda melihat bagaimana orang yang bertubuh besar, bersuara besar berusaha mendapat pengaruh agar mendapat tempat menjadi pemimpin dalam suatu kelompok?

Hal-hal demikian pasti sering kita saksikan dan alami. Berusaha mencari pengaruh dengan berbagai cara tanpa mengetahui sebesar dan sejauh apa potensi yang dimiliki dalam dirinya sendiri.

Begitu juga dengan demokrasi, sistem pemerintahan yang kita dewakan pada masa modern ini. Demokrasi dianggap sebagai satu-satunya jalan terbaik dalam menentukan segala sesuatu terutama soal masalah pemilihan pemimpin. Sistem monarki dan kerajaan memang sudah tidak relevan lagi dalam menentukan seorang pimpinan, meski masih banyak negara maju yang menerapkan sistem kerajaan seperti Inggris, Arab Saudi, Belanda, Denmark, dan lain-lain.

Demokrasi pada intinya hanya satu, suara terbanyak oleh rakyat itu sendiri sesuai dengan prinsipnya, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Meski pada sejarahnya abad ke-5 SM demokrasi diawali oleh musyawarah, dimana setiap penentuan pimpinan selalu diawali dengan diskusi terbuka, maklum ruang lingkupnya masih sebatas kota kecil di Athena, Yunani pada zaman itu.

Ruang lingkup dalam kota yang kecil tersebut masih bisa dijangkau oleh keseluruhan sehingga menentukan pemimpin bukan hanya sekedar pilihan semata, tetapi bagaimana menentukan seorang pemimpin berdasarkan track record, prestasi, kecakapan, dan kemampuan sebagai pemimpin.

Zaman semakin berkembang, kegiatan musyawarah untuk mendapatkan mufakat tidak mungkin lagi dilakukan. Karena pertimbangan geografis wilayah yang luas dalam suatu negara, serta periode pemerintahan hanya beberapa tahun saja membuat proses demorasi harus dilakukan secepat dan seefektif mungkin. Akhirnya, suara terbanyak menjadi opsi terakhir yang disinyalir menjadi terbaik. Terbukti, mayoritas negara juga menggunakan sistem demorkasi. Pemilik suara terbanyak berhak maju sebagai pemimpin dalam suatu wilayah yang telah ditentukan.

Meski demikian, demokrasi bukan tidak melahirkan sebuah kecacatan yang semakin lama semakin dipertanyakan. Apakah hasil dari voting, suara terbanyak tersebut sudah memberikan jaminan bahwa hasil voting tersebut adalah pilihan terbaik, pilihan paling berkualitas diantara calon lain, pilihan yang berintegritas tinggi diantara calon lain? jawabannya tidak.

Logikanya begini. Dalam suatu daerah, diadakan sebuah pemilihan kepala desa yang terdiri dari dua calon, misalnya calon A dan calon B. Calon A merupakan calon yang memiliki pengalaman tinggi soal pemberantasan korupsi, track record yang baik dalam bidang keuangan dan birokrasi, tegas walau kadang-kadang kasar, dan tidak mau neko-neko soal anggaran beragama minoritas, dan dari suku minoritas. Calon B, hanya bermodalkan identitas agama mayoritas, santun dalam seluruh baik buruk, suku mayoritas, tanpa memiliki track record yang layak untuk menjadi pemimpin dalam sebuah pemerintahan.

Pada hari pemilihan, ternyata yang terpilih adalah B, bukan A. B memiliki jumlah perolehan suara hingga 60%, sedangkan A hanya 40% saja. Dengan demikian, B berhak menjadi kepala desa dan A menjadi tersingkir. Disini terlihat bahwa kualitas bukanlah penentu layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin, tetapi suara terbanyak menjadi kunci utama serta fondasinya.

Jika lazimnya 1+1 = 2, bisa saja 1+1 = 3, jika mayoritas orang sepakat untuk mengatakan 3. Angka 1 bisa terbaca menjadi “tiga”, jika mayoritas orang mengiyakan. Demikian dengan demokrasi, orang yang hanya bisa “nyinyir” dan pandai “berkata-kata” saja bisa menjadi pemimpin terpilih, meski pasangan lain memiliki kualitas yang jauh lebih baik darinya. Masalahnya karena apa? Karena identitas yang tadi, identitas dan latar belakang menjadi acuan utama masyarakat untuk menentukan pilihan, bukan kualitas seorang tokoh.

Jadi, demokrasi bukan siapa yang terbaik, tetapi siapa yang mendapat suara terbanyak. Orang gila sekalipun bisa menjadi gubernur asalkan mayoritas rakyat memilihnya. Orang yang hanya berjanji manis bisa menjadi gubernur asalnya suara terbaik diraihnya. Pemenang dalam demokrasi belum terntu yang terbaik, yang terbanyak? Sudah pasti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun