Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penis, Mitos, Lelucon, dan Hasrat Perempuan

15 April 2013   09:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:10 3825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah lelucon yang belum tentu benar mengenai organ vital laki-laki dan pandangan perempuan atasnya dapat disimak dari obrolan seorang teman berikut. Alkisah, ada seorang pemuda Manado yang baru saja selesai memancing di laut. Sebagaimana “kebiasaan” orang setempat, laki-laki yang memancing itu mencopot dan menaruh celananya di atas kepala (sambil sebagian celananya dimasukkan ke kepala sampai sedikit di atas kelopak mata) sehingga dia tidak mengenakan apa-apa. Beberapa ikan pun berhasil ditangkapnya. Setelah cukup tangkapan untuk makan hari itu, sang lelaki itu pun naik ke darat, tetapi kali ini dia lupa mengenakan kembali celananya. Tanpa perasaan bersalah apa-apa, dia pun berjalan dengan gembiranya pulang ke rumah.

Di tengah jalan sang pemuda itu berpapasan dengan seorang pemuda desa lain, sebut saja Sinyo. Merasa aneh, Sinyo pun menegur dengan bahasa kiasan, katanya, “Hei, besar e!” Sang pemuda itu pun langsung menjawab, katanya, “Memang besar, bro!” Dia berpikir bahwa yang dimaksud dengan besar itu adalah ikan hasil tangkapannya yang besar. Dia pun terus berjalan. Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang pemuda lain, namanya Albert. Sambil menahan tertawa, Albert menyapa sang pemuda itu, katanya, “Hei Bro, panjang e....!” Menyadari ada seseuatu yang salah pada dirinya, sang pemuda itu langsung menengok ke bawah. Dia pun terkejut dan berkata, “Kurang ajar!” Sang pemuda itu pun segera mengenakan celana dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Kisah ini memang tidak ada hubungan dengan besarnya alat vital laki-laki dan apa persepsi kaum perempuan mengenainya. Tetapi kisah rekaan ini cukup memberi gambaran bahwa masyarakat memiliki persepsi sendiri mengenai besarnya kecilnya alat vital. Orang yakin bahwa banyak suku di dunia menghargai dan mengagumi para pria yang memiliki alat kelamin yang besar. Ungkapan budaya mengenai hal ini bisa berbeda dan beragam. Orang Yunani Kuno, misalnya, berpendapat bahwa penis yang tidak disunat dan berukuran kecil secara kultural lebih diidolakan dibandingkan dengan yang berukuran besar. Sebaliknya, penis yang berukuran besar umumnya dipersepsi dan digambarkan secara komikal, dan umumnya dihubungkan dengan “dewa kesuburan, makhluk setengah binatang seperti sosok orang lanjut usia yang buruk rupa, kaum barbarik, dan sebagainya.

Persepsi mengenai penis dalam kebudayaan Yunani Kuno ini persis bertolak belakang dengan pandangan orang Romawi Kuno. Demikian pula halnya dengan “bukti-bukti” yang ditemukan dalam Literatur Arab. Orang Romawi Kuno memiliki lukisan dinding yang menggambarkan penis yang sedang menegang (ereksi), apa yang disebut dengan nama phallus (arti harafiahnya adalah penis yang sedang menegang). Menurut sejarawan, lukisan phallus adalah karya seni yang menghadirkan atau mewujudnyatakan gambaran masyarakat mengenai penis sebagai yang diidolakan. Berbeda dengan kebudayaan Yunani Kuno di mana penis pada laki-laki “normal” digambarkan sebagai tidak sedang menegang dan hanya penisnya manusia setengah dewa atau makhluk aneh saja yang memiliki penis besar, orang Romawi Kuno jelas mengidolakan penis yang besar.

Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam literatur Arab yang menggambarkan penis ideal sebagai penis yang besar. Sebuah dongeng dalam Arabian Nights menggambarkan penis yang besar ini dengan menyebut kalimat “Ali dengan Anggota yang Besar” (“Ali with the Large Number”). Seorang satir Arab bernama Al-Jahiz pernah menulis demikian, “Jika panjangnya penis adalah tanda kehormatan, maka bagal semestinya menjadi milik kaum Quraysh.” “Bagal” di sini adalah kata Bahasa Arab (baghal) yang merupakan keturunan silang antara kuda betina dan keledai jantan. Dengan kata lain, Al-Jahiz mau mengatakan bahwa kaum Qurayshlah kaum terhormat itu.

Gambaran mengenai penis juga ditemukan dalam Alkitab. Kita baca dalam Kitab Yehezkiel bab 23 ayat 18-20 demikian: (ayat 18)Oleh karena ia melakukan persundalannya dengan terang-terangan dan memperlihatkan sendiri auratnya, maka Aku menjauhkan diri karena jijik dari padanya, seperti Aku menjauhkan diri dari adiknya. (Ayat 19) Ia melakukan lebih banyak lagi persundalannya sambil teringat kepada masa mudanya, waktu ia bersundal di tanah Mesir. (Ayat 20)Ia berahi kepada kawan-kawannya bersundal, yang auratnya seperti aurat keledai dan zakarnya seperti zakar kuda. Inilah gambaran Alkitab mengenai penis, bukan sebagai hal yang buruk. Yang buruk adalah penyalahgunaannya. Tuhan berpaling dari manusia bukan karena dia memiliki penis yang besar, tetapi karena dia menyalahgunakannya. Begitu kira-kira penafsirannya.

Demikianlah, selalu saja ada persepsi yang berbeda mengenai ideal tidaknya penis. Kita menemukan semacam ketidaksetujuan antarbudaya mengenai apakah penis yang ideal itu memiliki ukuran yang besar atau kecil. Juga, jika itu besar, seperti apakah ukuran yang besar itu?

Masalahnya sekarang adalah kita berhadapan dengan persepsi modern mengenai ukuran penis. Brian Mautz, seorang peneliti postdoctoral dari University of Ottawa menemukan bahwa ukuran penis adalah topik pembicaraan yang sensitif. Jika kemudian mereka meneliti apa persepsi perempuan terhadap ukuran penis, apakah mereka lebih mendambakan penis dengan ukuran yang besar atau tidak, ini akan tetap menjadi topik yang sensitif.

Meskipun demikian, Brian Mautz dan rekan-rekannya “berhasil” melakukan sebuah studi menggunakan komputer untuk menghasilkan sosok pria dengan tinggi, bentuk tubuh dan ukuran penis bervariasi. Sebanyak 105 wanita Australia heteroseksual berusia rata-rata 26 tahun terlibat dalam penelitian. 70 persen dari mereka dari ras Eropa, 20 persen Asia dan tujuh persen dari wilayah lain.

Mereka diminta melihat 53 "pria" yang dapat berputar sehingga dapat dilihat dari sudut berbeda. Tanpa diberitahu bahwa mereka ikut dalam studi genital pria, para wanita diminta menilai daya tarik seksual pria.

Para wanita menilai pria tinggi dengan ukuran penis besar paling menarik. Kaum hawa juga cenderung menatap pria dengan ukuran organ genital besar lebih lama, rata-rata tiga detik. “Temuan langsung membantah klaim bahwa ukuran penis tak penting bagi kebanyakan wanita. Ini juga menunjukkan kenapa pria cenderung memiliki organ lebih besar daripada primata lainnya, karena sejak prasejarah saat kita belum berpakaian, wanita cenderung memilih pria dengan genital paling besar," kata studi tersebut.

Meskipun demikian, peneliti tak dapat menentukan faktor yang paling mempengaruhi daya tarik pria. "Kami tidak menemukan ideal atau yang paling menarik, apakah ukuran penis atau tinggi," jelas Mautz  (Sumber: http://m.life.viva.co.id/news/read/405114-survei--pria-dengan-organ-genital-besar-paling-menarik).

Kesimpulannya? Tampaknya kaum perempuan cenderung menyukai kaum laki-laki dengan ukuran penis yang besar. Temuan ini bisa jadi cocok dengan persepsi laki-laki mengenai penis mereka sendiri. Menurut Cecil Adams (2005), cukup banyak laki-laki yang meremehkan ukuran penisnya sendiri dan merasa bahwa ukurannya terlalu kecil. Pandangan ini diperkuat oleh survei-survei yang banyak dilakukan, yang menunjukkan persepsi laki-laki, bahwa mereka bisa menyenangkan perempuan jika memiliki ukuran penis yang besar. Bahkan hasil temuan Paul Aitken (2007) menunjukkan persepsi kaum laki-laki, bahwa ukuran penis yang besar menggambarkan rasa percaya diri dan kepuasan diri seorang pria.

Kajian budaya kontemporer mengenai hal ini akan selalu menarik untuk diikuti. Meskipun demikian, di balik semuanya itu, ada satu pertanyaan yang terus menghantui saya: mampukah kita membebaskan pikiran kita dari berbagai persepsi dan konstruksi budaya tentang penis ideal? Pertanyaan yang sama juga pantas diajukan terhadap masalah berat badan ideal, kecantikan dan kegantengan, dan sebagainya. Saya sendiri berpendapat bahwa konstruksi budaya tidak akan pernah bisa dihilangkan persis ketika kepentingan politik dan ekonomi ikut bermain di dalamnya. Dan itu akan terus demikian.

Kalau begitu, apakah Anda masih peduli dengan perkara besar kecilnya penis?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun