Mohon tunggu...
Jefri Supratman Harefa
Jefri Supratman Harefa Mohon Tunggu... lainnya -

Saya adalah "Ono Niha" (anak nias) yang lahir di "Tano Niha" (pulau nias) sekarang lagi menyibukkan diri untuk menggali makna hukum dan kehidupan menuju pada pemahaman tentang KEBENARAN dan KEADILAN serta laku "memanusiakan manusia"... semoga Kasih Karunia dan Damai Sejahtera yang dari Bapa Sorgawi Menyertaiku dan seisi DUNIA ini... Amin...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendekonstruksi Pemahaman "Nilai Dasar Hukum-Gustav Radbruch"

11 Mei 2013   10:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:45 3658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis itu merupakan pekerjaan tangan (setidaknya ini menurut Andrias Harefa- Sang Penulis itu).... pekerjaan tangan yang tidak memerlukan bakat, cukup menggerakkan tangan dan jari, ditemani dengan pulpen di atas sebidang kertas ataupun membuat jari-jari yang kaku mulai menari ataupun berdansa di atas sebuah keyboard lapy..... apalagi ditemani oleh alunan musik instrumental klasik dalam album Best Of Golden Guitar..... getaran mistik yang mengalir bak kekuatan maha dahsyat yang membuat saya hampir tidak merasakan kemujudan kesendirian dan keterasingan diri ini – hanya buku dan buku serta segenggam semangat yang masih tertatih-tatih menuju puncak kesederhanaan – pesan sang bunda tercinta...... menulis adalah pekerjaan yang sangat mengasyikkan, tentunya sama bahkan lebih saat aku kemudian memahami betapa dalamnya pemahaman Jacques Derrida terkait dekonstruksi terhadap sebuah teks yang “dianggap” mapan walaupun masih menyisahkan ketergantungan sebuah “teks” terhadap “teks” lainnya..... tak ada kebenaran di luar teks.....

Peradaban manusia tidaklah dapat dilepaskan dari sebuah teks..... seperti peradaban manusia dari zaman ke zaman, bahkan ketika Tuhan mengirimkan Kesepuluh Titah tertulis melalui Nabi Musa..... juga dengan kitab-kitab keagamaan yang sifatnya selalu tertulis..... seolah-olah tulisan itu bak magnet yang menjadi kekuatan tak terbantahkan dalam lintas keadaban..... demikian juga dengan hukum, tidak dapat dilepaskan dengan teks atau tulisan..... apalagi jika kita berbicara tentang pengaruh paham positivisme (dalam hukum) yang selalu menjalankan hukum sesuai dengan apa yang sudah tertulis (peraturan/undang-undang)..... di luar tulisan/teks bukan hukum - asas legalitas dipandang sebagai sebuah asas yang turun dari atas langit dan menghujam bumi seolah titah para dewa yang tidak dapat dikritisi atau dibantah apa lagi di langgar.....Tidak sampai di situ, positivisme bahkan menjangkiti metode yang dipakai untuk mempelejari hukum – yaitu analitis-dogmatis atau yuridis-dogmatis (metode yang mempertahankan peraturan-tertulis dengan mempelajarinya secara rasional) yang dalam prosesnya tetap saja tanpa kritik, bantahan malah ujung-unjungnya menerima hukum positif sebagai sesuatu yang harus dijalankan...... tidak lagi manusia, bahkan teks/tulisan pun bisa menjajah manusia bahkan kemanusiaan..... keadaan ini membuat kita buta, tuli bahkan tidak punya rasa untuk memahami keadaan sekitar – bahkan hati nurani pun bagaikan awan yang sangat tinggi untuk dijangkau..... positivisme sudah membutakan hati nurani kita, positivisme sudah menulikan hati nurani kita dst......

Sungguhpun demikian, rasa-rasanya diam di tempat sembari menunggu perubahan adalah sesuatu yang konyol, sesuatu yang jauh dari keadaban, sesuatu yang tak bernurani..... mulai sekarang atau tidak sama sekali..... ya, minimal memulai untuk menggiring ke-3 (tiga) nilai dasar hukum (Gustav Radbruch) ke dalam ranah pencarian makna yang sesungguhnya tanpa mencari makna baru.... melainkan menggali makna yang sudah lama terbenam dan ditutup oleh hingar-bingar otoritas “budaya massa”- yang kemudian diamini begitu saja...... mendekonstruksi, itulah alternatifnya.... mendekonstruksi nilai dasar hukum....... dekonstruksi ala DERRIDA “sang postmodernis”......

Derrida memahami bahwa teks itu tidak berdiri secara independen, melainkan ia ibarat tenunan atau rajutan kain yang terikat antara satu dengan lainnya. Maka pemahaman bukanlah melalui hubungan intersubjektivitas seperti yang dikemukakan oleh Husserl, melainkan sifatnya bahasa yang dapat dipahami dengan menggunakan perspektif intertekstualitas. Teks itu terdiri dari jaringan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Kita tidak bisa menemukan makna teks tanpa mengkorelasikan dengan beragam teks lain (oleh Awaludin Marwan – Teori Hukum Kontemporer)....

Mendekonstruksi nilai dasar hukum bukanlah suatu pekerjaan gampangan..... dibutuhkan waktu berkontemplasi masuk dalam relung-relung kejiwaan dan hati nurani untuk benar-benar menemukan makna yang terkandung di dalam teks yang hendak didekonstruksi..... kembali kepada 3 (tiga) nilai dasar hukum yang hendak didekonstruksi yaitu KEPASTIAN HUKUM, KEMANFAATAN, dan KEADILAN..... ketiga hal ini telah mewarnai keberadaan “eksistensi” hukum dewasa ini....

Pertama, KEPASTIAN HUKUM... kepastian hukum merupakan prinsip yang sangat populer di kalangan profesional (hakim, jaksa, polisi) bahkan dikalangan dosen (akademisi) – seolah-olah telah menjadi darah-sumber tenaga dalam keberlangsungan penegakan hukum di negeri tercinta ini..... kepastian hukum bak kata-kata ampuh bagi para polisi untuk menegakkan undang-undang, bagi jaksa untuk menuntut dan bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara...... kepastian hukum telah menjadi harga mati dalam berhukum, tiada lain  selain kepastian hukum..... ada apa dengan kepastian hukum? kepastian hukum itu adalah kepastian undang-undang (peraturan).... segala macam cara, metode dan lain sebagainya musti berdasarkan undang-undang (peraturan)..... kadangkala (untuk tidak mengatakan sering) kepastian hukum sering meninggalkan manusia dan kemanusiaan..... demi kepastian hukum, seorang  anak yang mencuri sendal musti mengikuti proses peradilan yang bertele-tele, seorang suami musti mengemban tanggung jawab seorang aparat yang melindas tubuh istrinya di jalan raya, demi kepastian hukum – sekalipun telah diketahui bukanlah Sengkon dan Karta pelaku pembunuhan namun, mereka musti menjalani proses persidangan bahkan hingga mereka dipidana..... sangat melukai nurani yang tak bergeming ini..... nurani yang makin hari semakin meronta untuk keluar dan menantang si “beton” tangguh itu.....

Kepastian hukum telah menghilangkan rasa “kemanusiaan” kita.... seolah-olah rasa kemanusiaan itu bisa terjawab dalam setiap lembaran undang-undang/peraturan...... kepastian hukum telah membungkam kemanusiaan..... namun, semuanya belumlah terlambat.... jauh-jauh hari Derrida menawarkan dekonstruksi untuk penggalian makna yang terbenam di dalam teks.... menggali makna sejati dari kepastian hukum..... hukum adalah untuk manusia dan kemanusiaan – bukan sebaliknya (Prof. Tjip).... oleh sebab itu pemaknaan terhadap kepastian hukum juga tidak boleh meninggalkan basisnya, yaitu manusia.... kepastian hukum berarti kepastian kepada manusia menuju pada kepastian kemanusiaan.... kepastian yang menghantarkan manusia pada kebahagiaan.... sebagai mana Prof. Tjip pernah mengemukakan bahwa “Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang adil dan sejahtera dan membuat manusia bahagia”..... seperti itulah hendaknya hukum dimaknai..... penggalian terhadap makna kepastian hukum mustinya membuahkan hasil bagi manusia dan kemanusiaan....... lebih dari itu pemaknaan terhadap kepastian hukum hendaknya juga tidak dimaknai sebagai pencekalan terhadap undang-undang/peraturan.... tentunya hal ini senada dengan kata-kata Prof. Tjip. Bahwa “kita belum di surga, kita masih di dunia, kita masih butuh undang-undang, peraturan.... undang-undang tetap harus ada namun jangan sampai kemudian manusia terbelenggu oleh undang-undang/peraturan yang ia buat sendiri”..... marilah menggunakan teks “kepastian hukum” tidak untuk mengakali hukum untuk menjerumuskan manusia, melainkan sebaliknya menggunakan hukum sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik bagi manusia dan kemanusiaan......

Kedua, KEMANFAATAN.... sejalan dengan kepastian hukum di atas, jika kita  menempatkannya pada pemahaman kepastian hukum untuk manusia dan kemanusiaan, maka kemanfaatan akan beriringan menghampiri manusia dan kemanusiaan.... namun, kadangkala kemanfaatan ini sering di arahkan kepada kemanfaatan untuk diri sendiri, kelompok, bahkan meninggalkan masyarakatnya..... sehingga kemanfaatan juga tidak luput dari kupasan dekonstruksi..... yang perlu di dekonstruksi adalah pemahaman kemanfaatan yang sebatas pada pribadi atau golongan semata tanpa menghiraukan kelompok masyarakat yang lebih luas..... memperalat hukum atas nama kemanfaatan dengan semena-mena menaikkan harga BBM, semena-mena plesiran ke luar negeri, semena-mena membeli pesawat kepresidenan tentunya dengan alasan yang “khas” yaitu prinsip kemanfaatan..... prinsip kemanfaatan telah dileburkan dalam kedok-kedok hukum.... skema-skema/skeleton-skeleton sengaja dibuat seolah-oleh tidak bertentangan dengan kemanusiaan dan memperalat hukum untuk melegalkan segala tindakan yang “abnormal” itu..... kemanfaatan yang tidak berpijak pada kemanusiaan tapi berpijak pada akal busuk..... teks ini musti didekonstruksi, pemaknaan terhadapnya musti digali, ditenun dan dirajut kembali untuk menghantarkan pada hasrat untuk memberikan yang terbaik bagi manusia dan kemanusiaan..... kemanfaatan hendaknya kemanfaatan yang benar-benar bermanfaat bagi semua kalangan.... paradoks memang, tetapi setidaknya menghilangkan maksud dan kepentingan pribadi dalam kerangkan perwujudan kemanfaatan..... kemanfaatan yang benar-benar bermanfaat...... kemanfaatan yang tidak memperalat hukum untuk tujuan pelanggengan kekuasaan tetapi kemanfaatan yang menciptakan suasana kebersamaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan......

Ketiga, KEADILAN.... sesuatu barang yang mahal dan teramat mahal.... sulit dicapai walau mudah nan gampang untuk diucapkan..... seolah dalam membicarakan hukum, keadilan tidak pernah ditinggalkan.... hukum dan keadilan adalah 2 in 1.... pemahaman yang keliru.... pemahaman yang terlalu memberikan beban berat bagi hukum.... pemahaman yang memperalat hukum dengan modus-modus tertentu.... tanpa menghiraukan bahwa keadilan itu sifatnya sangat individual, subjektif dan tak terukur.... memaksakan keadilan seorang hakim kepada pelaku, korban dan lainnya adalah sikap yang musti didekonstruksi..... sikap yang gampang menguniversalkan segala sesuatu.... sikap yang beriringan dengan paksaan, intervensi dan kekerasan.....” hukum tok” tidaklah identik dengan keadilan, karena banyak faktor di luar sana yang bisa menjadi teman bermain bagi hukum untuk menciptakan atau setidaknya mendekati keadilan, seperti kebudayaan, ekonomi, politik, pluralisme dan lainnya...... tidaklah hukum sendiri mampu mendekati keadilan karena dari sononya hukum telah diperalat untuk menciptakan sekalian keadilan yang memang tak adil..... keadilan adalah ketika kita tidak tertekan, ketika kita tidak terhina, ketika kita tidak dipaksa, ketika kita bebas untuk menentukan pilihan hidup kita tanpa mereduksi/melukai manusia dan kemanusiaan.... berkali-kali bahwa keadilan semestinya tidak menjadi patokan untuk mengarahkan hukum membunuh rasa kemanusiaan...... hidup bersama, dengan damai, indah, dan berbahagia itulah keadilan..... masih jauh untuk menggapai namun itulah hidup “proses untuk menjadi”............

Gustav Radbruch sejak mencetuskan tiga nilai dasar hukum di atas telah mengingatkan bahwa ketiganya pasti akan menemui jalan kebuntuan masing-masing, saling hantam-menghantam, saling senggol menyenggol..... dan itulah kenyatannya hingga hari ini..... terlambat? tidak.... semuanya bisa dirajut kembali, bisa ditenun kembali bersamaan dengan dekonstruksinya Derrida, kita diajak, kita dibangunkan dan kita ditegur untuk melek, untuk bangun dan untuk terus berada dalam jalur kebenaran..... kebenaran dalam menjalankan hukum..... hukum yang bermartabat.... hukum yang berbicara tentang manusia bukan hukum yang berbicara hukum..... hukum yang benar-benar untuk manusia..... hukum yang memanusiakan manusia.... itulah sejatinya hukum.... dan selamat mencoba......

Jefri Supratman Harefa

(Alumni Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta/Pembelajar Hukum Pidana)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun