Mohon tunggu...
Jean Aipassa
Jean Aipassa Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Selalu pengen nulis...nulis... n nulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Suara Raka...

9 Januari 2014   13:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak tahu, apakah ini hanya perasaanku saja, ataukah, memang ini tengah terjadi padaku akhir-akhir ini...

Kembali aku mendengar, suara Raka begitu lembut di telingaku, ketika aku sedang duduk di ruang kerja, kantorku. Seakan-akan suara itu selalu ada setiap aku masih berada di ruangan kantorku, setiap jam 7 malam tiba.

Raka ... nama yang begitu kurindukan. Kembali ku ingat, saat aku bertemu dengan Raka, di kantor ini.

“Hey ... namamu siapa? Orang baru ya. O iya, kenalkan, namaku Raka. Aku sudah cukup lama kerja disini. Namamu...?” seorang cowok, yang bisa dibilang cukup ganteng tapi agak cerewet dan sok akrab, memperkenalkan dirinya, padaku. Dialah .... Raka.

“Oh iya, nama saya, Rika ...” aku pun membalas salam perkenalannya, menjabat tangannya yang terulur ke arahku sambil ku sebut namaku.

“Sebelumnya, kerja dimana?” kembali Raka bertanya padaku.

“Belum kerja dimana-mana sih, hanya bantu ayah aja” jawabku.

“Memangnya, ayahmu punya usaha, gitu...”

“Yah, gitu deh. Ayah bersama dengan temannya, punya usaha percetakan, ga besar sih, tapi lumayanlah. Aku bantu-bantu dalam urusan design grafisnya” aku menjabarkan perihal pekerjaanku sebelumnya.

“Wow ... hebat. Pintar nge-design ya, trus disini sebagai design grafis juga dong” kembali Raka bertanya, mau tahu.

“Memang aku melamar kerja disini sebagai design grafis. Dapat info dari Mia, yang jadi sekretaris disini, kebetulan dia itu teman SMA ku” kembali aku menjawab dengan panjang lebar.

“Ooo, okay. Ngomong-ngomong, nama kita koq, kayak kembar ya. Aku, Raka, dan kamu, Rika, khan?” Raka tersenyum sambil matanya mendelik nakal ke arahku.

Aku hanya tersenyum dan berpikir hal yang sama, hmmm, bener juga, kenapa namanya mirip-mirip gitu ya... hehehe

Begitulah perkenalanku dengan Raka, tak terasa sudah 3 bulan lamanya, Raka tidak bekerja lagi di perusahaan ini, entah kemana, tidak ada khabar beritanya. Entah bagaimana awalnya, aku dan Raka mulai dekat. Dan aku merasa nyaman berada di dekatnya, sejak pertama aku mulai bekerja.

Raka sangat perhatian denganku, dan dia selalu membuatku merasa bahagia setiap harinya. Sering juga, Raka menemaniku, saat aku harus lembur. Dan selalu mengingatkanku untuk makan malam, setiap jam 7 malam. Karena memang, sehabis sholat maghrib, aku langsung melanjutkan pekerjaanku dan lupa untuk makan malam sampai pekerjaanku selesai, yang mungkin bisa sampai jam 9 malam. Dan akhirnya, membuat lambungku sakit, karena telat makan.

‘Makan dulu Rika ... nanti kamu sakit’

Suara itu ... kembali ku dengar, dan saat ku lihat jam dinding, menunjukkan pukul 7 malam. Ada sedikit rasa takut dalam hatiku, dan membuat bulu kudukku merinding. Tapi, aku sangat rindu dengan suara itu. Dengan sosok Raka, yang selalu berada di sampingku, menemaniku saat aku lembur.

Ku ingat kembali, saat terakhir kalinya, aku bertemu dengan Raka. Saat itu, entah kenapa, Raka begitu serius bicara padaku.

“Rika ... ada yang ingin aku bicarakan padamu, tapi ga di kantor, aku ingin mengajakmu makan malam diluar, sepulang kantor ... bisa?” tiba-tiba Raka mengajakku makan malam dengan nada dan raut wajah yang tidak seperti biasanya.

Karena selama ini, toh, kami sering juga makan malam bersama. Bahkan, pulang bersama. Sering juga, Raka mengantarku pulang. Tapi hari itu, kulihat hal yang berbeda, saat Raka mengajakku makan malam.

Hari itu, ada sesuatu yang kupikirkan, dari ajakan Raka. Aku berpikir, apakah Raka ingin mengatakan  perasaannya, padaku ... tapi, aku ga mau ge-er, karena selama ini, kulihat Raka sepertinya lebih dekat dengan Mia, temanku. Dan perilaku Raka, pada Mia, seperti terlihat bagaikan sepasang kekasih. Tapi perlakuan Raka, padaku, hanya seperti sahabat saja. Begitu yang kupikirkan saat itu. Walau jujur, aku tidak akan menolak, jika saja, Raka benar-benar menyatakan cintanya, padaku. Aku sudah datang di sebuah restoran, dimana Raka memintaku untuk menemuinya. Entah kenapa, Raka tidak ingin datang bersama dari kantor. Tapi memilih untuk sampai terlebih dahulu dan meninggalkanku di kantor.

Agak heran, saat kulihat Raka, bersama dengan Mia, sedang duduk berdua, berdekatan dan saling berpegangan tangan. Agak ragu, aku untuk menghampiri mereka, namun aku mencoba memberanikan diriku untuk tetap melangkah menuju tempat mereka berdua.

“Malam semua ...” sapaku kepada Raka dan Mia yang terlihat begitu mesra.

“Hey, datang juga akhirnya. Duduk yuk ...” Mia dengan ramah meraih tanganku dan menyuruhku duduk disampingnya.

“Sorry ya say, aku yang minta kamu datang ke sini. Rika, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu” tutur Mia.

Kulihat Raka begitu acuh tak acuh padaku, saat aku mulai duduk disamping Mia.

“Begini, say. Aku ingin kasih tahu ke kamu nih ... aku dan Raka, akan segera bertunangan. Mungkin bulan depan. Dan, biar ga ada salah paham apapun, kita ingin kamu mengetahuinya terlebih dahulu. Karena sepertinya, kamu dan Raka terlihat begitu akrab, jadi aku ga mau, kamu merasa kecewa” Mia menceritakan semua hal yang patut aku ketahui, menurutnya. Dan kulihat Raka sama sekali tidak ingin menatapku, dan tidak ada kata-kata sedikitpun yang keluar dari mulutnya, yang biasanya cerewet menasihati aku, saat aku telat untuk makan.

Malam itu, adalah malam terakhir aku bertemu dengan Raka. Karena sejak saat itu, aku sama sekali tidak lagi bertemu dengan Raka. Yang ku dengar dari Mia, Raka mengundurkan diri dan bekerja di kota lain. Dan surat pengunduran diri pun dititipkan kepada Mia. Agak aneh memang, tapi sepertinya Mas Johan, pimpinan perusahaan ini, sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dan akupun hanya bisa mengikuti kondisi yang ada, walau aku merasa, Raka seperti masih berada di kantor ini. Menemaniku ... terlebih, saat aku lembur sampai malam...

‘Makan dulu Rika, jangan sampai kamu sakit. Aku tidak ingin kamu sakit, kamu harus membiasakan dirimu untuk makan teratur, ingat lambungmu ... yang selalu sakit saat kamu telat makan ...”

Suasana kantor yang begitu sepi, hanya aku yang berada di ruangan ini. Dan suara Raka kembali terdengar, kali ini begitu panjang, dan seakan ingin bicara padaku. Bulu kudukku berdiri dan kulihat sekeliling ruangan, terlihat meja Raka yang berada persis di seberangku, begitu rapih, tapi tiba-tiba... mendadak lampu meja yang berada di atas meja Raka, terlihat hidup, mati, hidup, mati ... begitu terus, dan membuatku semakin merinding ketakutan melihatnya.

Akupun cepat-cepat mengambil tas yang kuletakkan di dalam laci, meja kerjaku. Dan bergegas keluar dari ruangan, namun baru saja aku akan keluar melalui pintu, kembali suara Raka terdengar begitu jelas ditelingaku, seakan-akan, Raka tengah berdiri di belakangku.

‘Pulang bareng denganku Rika, ada yang ingin aku sampaikan padamu,’ suara Raka begitu jelas dan akupun mendadak menghentikan langkahku dan terdiam ditempat.

Perlahan, aku menoleh ke arah belakang, menuju suara Raka yang begitu jelas dibelakangku. Namun, tak kutemui sosok Raka, hanya saja, lampu meja yang berada di atas meja kerja Raka, tak juga berhenti melakukan aktivitasnya, silih berganti, hidup ... mati.

Kuberanikan diri untuk menjawab suara Raka ...

“Raka ... aku mohon, jangan ganggu aku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu. Namun aku tak tahu, apakah kau masih hidup, atau sudah ... mmmati” dengan penuh rasa takut yang menyelimuti sekujur tubuhku, aku berusaha menjawab, namun aku tak berani menatap kearah manapun. Hanya tertunduk dan berharap suara Raka, tidak lagi menggangguku, dan akupun berharap, lampu di meja itu, menghentikan aktivitasnya.

‘Hmmm ... Rika, aku tidak bermaksud mengganggumu, namun, memang ada yang ingin kusampaikan padamu. Datanglah ke mejaku, lihat komputerku ...’ suara Raka memintaku untuk mendatangi meja kerjanya.

Saat aku berada di depan meja kerja Raka, akhirnya, lampu meja itu menghentikan aktivitasnya dan berhenti dalam kondisi menyala, lampu itu seakan menggiringku dengan cahayanya, untuk melihat layar komputer yang mendadak menyala.

Ku lihat, seperti layaknya menonton film, terlihat di layar komputer, Raka sendiri di restoran, tempat terakhir aku bertemu dengannya. Tiba-tiba, Mia datang menghampiri, dan mereka terlibat percekcokan.

“Kamu pasti sedang menunggu Rika disini. Aku sudah katakan padamu, jangan lagi kamu berhubungan dengan Rika!!” suara Mia yang terdengar marah kepada Raka.

“Kau tidak bisa mengaturku, jujur ... aku mencintainya. Dan malam ini, akan kunyatakan cintaku padanya. Dan kau, tidak punya hak apapun untuk menghalangiku” Raka membalas emosi Mia, terlihat Raka begitu marah pada Mia.

Dari pertengkaran yang baru saja kudengar, tiba-tiba kurasakan, ada sesuatu yang mengalir dalam hatiku, begitu hangat, dan membuat hatiku begitu bahagia ... Raka mencintaiku.

“Tidak!! Kau tidak boleh menyatakan cintamu padanya. Ingat!! Kau sudah berjanji padaku, untuk menikahiku. Aku sedang hamil, Raka!!” Mia dengan jelas bicara tentang kehamilannya. Membuatku begitu terpukul, dan membuat hatiku begitu hancur disaat hatiku mulai merasakan bahagia.

“Hah!! Apa peduliku dengan kehamilanmu. Itu bukan anakku, kamu telah menghianatiku dan berselingkuh dengan Johan, kenapa harus aku yang bertanggung jawab, aku tidak mau!!” dengan nada emosi, Raka menjawab Mia, sambil menepis tangan Mia yang berusaha meraih tangannya.

“Kau akan menyesal Raka, kau tahu Johan tidak akan tinggal diam dengan semua ini. Kau masih ada hutang budi dengan Johan. Dia yang selama ini membantumu. Mengangkatmu dari pelayan restoran, menjadi seorang manajer di perusahaannya. Saat ini, dia hanya ingin, kau menikahiku, karena sangat tidak mungkin Johan menikahiku, karena dia sudah memiliki, istri. Kau tahu itu, Raka ...!!!” Mia mengeluarkan kata-kata mengancam, namun kulihat, Raka tidak peduli dengan ancaman itu.

Tiba-tiba, Mia memperlihatkan cuplikan video yang ada di dalam handphone nya kepada Raka. Terlihat, seorang gadis, berada di dalam ruangan yang gelap, menjerit dan menangis, mamanggil sebuah nama ... “mas Rakaaa ... tolong Hani, mas. Hani takut mas Raka, mas Rakaaa ...”

“Aku akan membuat adikmu menderita, jika kamu tidak mengikuti apa yang menjadi keinginan AKU DAN MAS JOHAN!!” Mia mengancam Raka melalui gadis itu, yang ternyata adik Raka.

Ku lihat, Raka tidak dapat berkata apapun, ku lihat, Raka begitu khawatir dengan kondisi adiknya. Dan ku lihat, Raka pasrah dengan semuanya, sampai akhirnya aku datang menghampiri mereka berdua, di malam itu.

Baru aku mengerti, kenapa, Raka begitu pendiam, dan tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya, walau hanya sekedar menyapaku saja. Hanya Mia yang selalu bicara padaku, dan memberitahukan tentang pertunangannya dengan Raka. Yang membuatku, merasa sangat kecewa dan patah hati, karena ku akui, aku mencintaimu, Raka ...

Ternyata, saat aku pergi meninggalkan mereka, masih ada hal yang tidak aku ketahui, dan membuatku begitu terkejut dan sangat takut. Ku lihat, Mia menarik tangan Raka untuk ikut dengannya, namun Raka menolak. Raka berlari menuju mobilnya dan mengendarainya dengan kencang, yang ternyata menuju ke rumah Mia.

Ku lihat, Raka berusaha mendobrak sebuah kamar di dalam rumah Mia, dan saat pintu terbuka, didapati adiknya yang duduk dipojok ruangan sambil menangis, Raka memeluknya. Namun, saat Raka ingin membawa adiknya pergi, Mia telah datang bersama dengan Mas Johan.

Terlihat perkelahian antara Raka dengan mas Johan, dan “Tidaaaakkkk...” seketika aku menjerit, tak kuasa aku melihat adegan itu. Aku begitu terkejut dan begitu takut. Ku coba memberanikan diri untuk tetap melihat, ya ... aku ingin tetap melihatnya.

Mas Johan berusaha mencengkram leher Raka, dan tanpa terduga ... sebuah pisau terhunus di perut Raka ... darah mengalir, keluar dari perut Raka dan membasahi lantai. Pisau pun, ditarik dari perut Raka, dan kulihat, Mia ... Mia yang melakukannya. Raka terkulai lemas di lantai, Mia menghampiri Hani yang terlihat begitu ketakutan. Dipaksanya Hani untuk memegang pisau itu, seakan-akan Mia ingin mengalihkan perbuatannya kepada Hani. Saat mas Johan menyeret mayat Raka keluar dari dalam kamar, Mia mendorong tubuh Hani yang berusaha ingin keluar. Hani pun kembali terperangkap di kamar itu.

Mas Johan dan Mia, berusaha menarik mayat Raka, menuju ke mobil yang terparkir di halaman rumah. Dengan susah payah, mas Johan berusaha mengangkat mayat Raka, dan dimasukkannya ke dalam bagasi mobil. Sampai di sebuah tempat, entah dimana ... ku lihat seperti sebuah hutan, mas Johan berusaha membuang mayat Raka, sedangkan Mia, menunggu di dalam mobil. Dibiarkannya mayat Raka di tempat itu, dan mereka pun berlalu.

Hani dipaksa untuk bungkam, dengan ancaman, pisau itu akan diserahkan kepada polisi dengan sidik jari Hani pada pisau itu. Hani pun pasrah ... menerima semuanya, tanpa dapat berbuat apapun.

Aku tertegun dengan semua yang kulihat, komputer mendadak mati dan lampu meja pun mati seketika. Ruangan menjadi gelap, membuatku begitu takut, dan akhirnya aku pun segera pergi meninggalkan ruang kerjaku.

Malam ini, aku benar-benar tidak dapat memejamkan mataku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan apa yang telah aku alami hari ini. Kata hatiku, ingin rasanya aku melaporkan semuanya ke polisi, namun, apa buktinya. Apakah, polisi juga dapat melihat semua peristiwa itu di komputer Raka? Ah ... aku tak tahu ... terbayang kembali semua hal yang aku lihat, terbayang kembali wajah Raka. ‘Raka ... apa yang harus aku lakukan? Apa yang kamu inginkan dariku ...’ aku pun bertanya-tanya dalam hati.

Entah jam berapa aku mulai tertidur, rasanya mata ini sulit untuk kubuka, rasa kantuk sepertinya enggan pergi dari mataku. Namun, aku harus pergi bekerja, dan waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi, “Haduh!! aku telat nih!! gawat!!” bergegas aku bangun dan mandi.

“Jam berapa ini!! Darimana saja kamu, Rika!!” mas Johan menegurku keras, saat melihat aku baru akan masuk ke dalam ruang kerjaku sekitar jam 9 lewat. Aku pun tidak berani menatap, dan hanya menunduk sambil beralasan “maaf mas, tadi bis yang saya tumpangi, mendadak mogok, maaf mas...” akupun, segera berlalu dan masuk ke dalam ruanganku dan langsung mengerjakan pekerjaanku.

Sekilas, kulihat meja Raka. Ada rasa takut dan membuatku tidak dapat  berkonsentrasi bekerja hari ini. Aku dan Raka memang berada dalam satu ruangan, ditambah 2 orang lagi temanku, dan kami semua tergabung dalam satu team design grafis di perusahaan mas Johan. Raka yang menjadi manajerku.

Saat istirahat tiba, aku enggan keluar makan siang, aku titip makan siangku ke bang Jaja, office boy di kantorku. Saat semua keluar makan siang, dan kondisi ruangan pun kosong, aku memberanikan diri untuk menghampiri meja Raka. Kunyalakan komputer, kucoba mencari file dari peristiwa kematian Raka yang telah kulihat semalam, ternyata, file itu bisa kutemukan. Aku tak tahu, apakah ini hanya perasaanku saja, aku merasa Raka yang menuntunku untuk mencari file itu. Akupun mengcopy file itu, ke dalam usb yang telah kusiapkan. Dan akupun segera kembali ke meja kerjaku, saat kulihat bang Jaja, masuk ke dalam ruangan dan memberikan titipan makan siangku.

‘Aku harus segera melaporkan hal ini ke polisi, bagaima pun caranya. Harus malam ini, harus malam ini’ aku tekatkan dalam hati untuk menuntaskan semua ini. Namun, saat aku membereskan meja kerjaku dan bergegas untuk pergi, tiba-tiba, Mia menghampiriku ...

“Eh Rik, mau pulang ya? Mau makan malam bareng aku dulu ga? Kebetulan hari ini aku lagi males untuk pulang cepet nih, kita makan dulu yuk?” mendadak Mia mengajakku makan malam.

Ada rasa ragu untuk menolaknya, karena aku takut dia akan membututiku menuju ke kantor polisi. Akhirnya, aku pun mengikuti saja kemauannya. Sambil sekilas kulihat perutnya, yang agak membuncit, seperti layaknya perempuan yang sedang hamil. Kami pun pergi ke sebuah restoran, dan agak kaget, ternyata Mia mengajakku ke tempat, dimana terakhir kali aku bertemu dengan Raka. Mia menuntunku menuju ke sebuah meja, yang ternyata, telah ada mas Johan disana. Rasa heran, bingung dan takut, bersatu padu dalam hatiku. Ingin rasanya aku lari meninggalkan restoran, namun tangan Mia begitu kuat mencengkram pergelangan tanganku.

“Hallo Rika, silahkan duduk” mas Johan menyapaku, namun dengan senyuman yang begitu dingin kurasakan. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya.

“Kamu tahu, kenapa Mia mengajak kamu kesini?!” mas Johan memulai percakapan.

“Tidak, mas ... aku tidak tahu. Tadi Mia datang ke ruangan, dan mengajak untuk makan malam” aku menjawab sejujurnya, namun tidak dapat kupungkiri dalam hati, aku benar-benar merasa sangat takut.

“Hmmm ... oke, ada yang ingin saya tanyakan padamu” mas Johan begitu serius, sambil mendekatkan kursinya dengan kursiku. “apa yang kamu tahu tentang Raka?”

“Rra kaa ... ttiidak mas ... akuuu ... tidak ttahu mas” suaraku bergetar, karena rasa takutku.

“Semalam, aku mendengar informasi dari seseorang, kamu berada di dalam ruangan sendirian, dan menyalakan komputer Raka, dan siang ini pun, kamu kembali mendatangi meja Raka dan seperti ada sesuatu yang kamu lakukan di komputer Raka. Apa benar seperti itu, Rika!! Apa yang kamu lakukan!!” mas Johan mulai serius dengan pembicaraan dan semuanya mengarah kepada Raka.

“Kamu harus ikut denganku, ada yang ingin saya perlihatkan padamu” mas Johan menarik tanganku tanpa menunggu persetujuanku untuk ikut bersamanya.

Mas Johan dan Mia, membawaku ke rumah Mia, dan saat turun dari mobil, mas Johan mulai menarik tanganku dengan kasarnya. Menyeretku menuju kesebuah ruangan yang sepertinya tidak asing bagiku. Saat pintu ruangan mulai dibuka, kulihat sosok gadis yang kulihat dari komputer Raka, ya ... dia adalah Hani, adik Raka. Mas Johan mendorongku masuk ke dalam ruangan itu dan menguncinya dari luar.

Aku bangkit, berdiri dan mencoba untuk membuka pintu kamar itu. Mengetuknya bahkan ku gedor dengan sekeras-kerasnya, berteriak memanggil mas Johan juga Mia, untuk membukakan pintu, namun semua sia-sia. Aku hanya bisa menangis, rasa takut kembali kurasakan, dan tiba-tiba, sebuah tangan lembut, meraih pundakku, Hani ... dia mencoba untuk menghiburku dan bertanya padaku.

“Mba ini siapa? Kenapa mba dimasukkan ke sini? Aku Hani, sudah dua bulan aku disini dan tidak dibiarkan keluar. Setiap hari, aku akan mendapatkan makanan dan minuman yang diberikan mba Mia, tanpa boleh aku keluar kamar sedikitpun” Hani mulai menangis sambil menceritakan kondisi dirinya padaku.

“Aku tahu siapa kamu, aku Rika, teman baik kakakmu, Raka. Aku sudah tahu, apa yang terjadi dengan Raka dan juga kamu. Ini ... aku ada bukti dari semua kejadian yang terjadi” kujelaskan semuanya, sambil kuperlihatkan usb yang kusimpan di dalam dompetku, yang berisi semua peristiwa yang terjadi.

Aku pun menceritakan, tentang segala hal yang aku alami yang mengarah ke peristiwa yang terjadi. Dan itu membuat Hani menangis, teringat akan kakaknya. Namun kami tidak dapat berbuat apapun. Sampai akhirnya, terdengar suara ... ya, suara Raka kembali kudengar. Namun aku tak tahu, apakah Hani dapat mendengarnya juga atau tidak. Raka berkata, untuk aku segera mengirimkan file yang berisi peristiwa kematiannya ke sebuah nomor yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam handphone ku, entah nomor siapa itu. Aku hanya menuruti saja semuanya.

Malam begitu lama kurasakan, karena aku harus berada di sebuah kamar dalam kondisi gelap, tanpa ada kasur atau apapun yang dapat membuatku tidur dengan layak. Ruangan ini benar-benar kosong, tanpa ada apapun didalamnya, dan hanya ada aku dan Hani. Aku pun mencoba untuk memejamkan mataku, mencoba tidur, di lantai yang terasa begitu dingin. Tanpa ada alas dan selimut. Sampai akhirnya ... aku pun tertidur,.

“BRAK!!!” aku dan Hani terbangun, kaget, saat melihat pintu kamar dibuka dengan paksa. Dan ada beberapa orang menghampiri kami berdua, entah siapa mereka, aku tidak mengenalnya.

“Kamu yang bernama Rika?” seorang laki-laki berbadan tegap, berjongkok dan bertanya padaku.

“Iya, betul pak”

“Syukurlah, kamu tidak apa-apa, saya Andre, sahabat Raka. Semalam saya menerima sebuah file yang berisi peristiwa pembunuhan Raka, dari kamu. Dan entah apa yang terjadi saat itu, saya mendengar suara Raka yang meminta bantuan dan seakan-akan menuntun saya menuju ke rumah ini. Saya datang untuk menolong kalian, dengan beberapa polisi” seorang laki-laki berbadan tegap itu, adalah sahabat Raka, yang menerima file rekaman video dariku semalam. Hmmm, ternyata nomor telepon yang mendadak telah ada di handphone ku itu, adalah nomor mas Andre.

“Bagaimana dengan mas Johan dan Mia, dimana mereka?! mereka yang menyekap kami disini!!” aku bertanya keberadaan mas Johan dan Mia kepada mas Andre.

Andre pun menceritakan kejadian, sebelum akhirnya berhasil membuka paksa pintu ruangan ini. Mas Johan dan Mia, telah diamankan dan dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan pembunuhan dan dengan bukti dari rekaman video yang aku kirimkan ke Andre. Walau sesungguhnya, polisi agak merasa aneh dengan kejadian ini, karena orang yang telah mati yang bisa membongkar kasus pembunuhan dirinya sendiri. Namun, akhirnya semuanya dapat dibuktikan. Dengan ditemukannya kami, juga rekaman video peristiwa pembunuhan itu, dan juga sebuah pisau yang selama ini disembunyikan Mia di dapur, yang ternyata, masih ada sidik jarinya disana. Dan anehnya, mayat Raka berhasil ditemukan dalam kondisi utuh di dalam hutan, tempat Raka di buang oleh mas Johan. Semuanya seakan-akan, Raka yang memberitahukan dan mengarahkan kepada semuanya, tentang pembunuhan dirinya.

Dan sejak saat itu, aku tidak lagi bekerja di perusahaan mas Johan. Aku membuka usaha percetakan sendiri. Tidak lagi aku mendengar suara Raka. Walau ada rasa takut saat aku mendengarnya, namun aku juga merindukannya. Semoga ... kau tenang sekarang, Raka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun