Mohon tunggu...
Jampit L.S. Pamungkas
Jampit L.S. Pamungkas Mohon Tunggu... -

- Sekarang bekerja sebagai Corporate Social Responsibility di salah satu perbankan. - S1 hingga 14 semester - Penonton politik - Penulis amatiran - Sukak nasi goreng pake sayur

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mahasiswa dan Mitos Agent Social of Change

23 Januari 2017   17:45 Diperbarui: 23 Januari 2017   19:40 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orasi (Sumber : Jampit)

Jampit L.S. Pamungkas
23/01/2017

Beberapa minggu yang lalu ada pesan BBM yang masuk dari adek tingkat kuliah dan organisasi, “Malam minggu ada waktu luang ga mas?”.

Mau maen kerumah? Maen aja” jawabku.

Ba’da Isya’ para adek tingkat meluncur ke gubuk saya sekitaran 20an pasang biji (baik biji besar [cewek] maupun kecil [cowok]).

Saya dan istri tak punya persiapan khusus untuk menerima kedatangan para biji  -ehhh.. adek2 tingkat- tersebut. Hanya mengandalkan pada jajanan murahan yang ada HIK (Hidangan Istimewa Kampung) atau akrab dikenal dengan warung akringan, yang ada di depan rumah, karena gubuk kami (lebih tepatnya rumah orang tua kami) tidak bisa menampung biji sebanyak itu.

Dengan bermodal dua tikar yang pinjam di pos ronda RT saya, kita duduk melingkar rapat dan berhimpitan. Posisi duduk seperti ini memang agak rawan, karena dari ‘biji-biji’ itu beberapa teridentifikasi ‘fakir asmara’ alias jomblo. Apalagi malam itu itu adalah malam minggu, malam yang panjang untuk melepas lajang. #$%@^%*

Sembari nyemil gorengan dan nyruput wedang, mereka mulai membuka obrolan.

Ini mas, kita datang kesini dengan maksut silaturahmi -(stop.. biasanya di zaman saya dulu kalimat klise ini –Silaturahmi- digunakan untuk kamuflase untuk minta makan sama rokok ke senior. Semoga kalian tidak meniru gaya jadul itu)- dan mengenalkan alumni kepada anggota baru, yang datang ini kebanyakan anak semester satu mas” sambil menunjukkan beberapa biji baru.

Saya pun mengikuti gerakan tangan ketua rombongan tersebut dalam mengenalkan satu persatu personilnya dan berhenti pada mahasiswi cewek yang ngakunya tinggal di Solo. Tatapan saya agak lama melihat wanita berkcamata itu, tapi dengan cepat (secepat gerak cahaya melebihi suara) saya istighfar karena pundak ditepuk sama isteri,

Ayah, anaknya rewel” bisik isteri, “Permaisuriku, bersegeralah untuk menemui buah hati kita, susui dia, aku ikhlas permaisuriku. Untuk sementara waktu tidak berebut susu dengan buah hati kita” sahut saya.

Kembali pada obrolan-obrolan khas mahasiswa aktivis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun