(Catatan untuk Yudi Latif dan Eep Saefullah Fatah)
Warga Jakarta tidak memilih Ahok dan memilih Anies, bukanlah karena faktor agama. Sekali lagi bukan karena faktor agama. Tapi semata karena perilaku sopan santun dan budi pekerti yang tidak dimiliki Ahok. Diwarnai aroma agama, karena sikap kasar Ahok dalam menggunakan simbol-simbol agama di Pulau Seribu, yang menyulut gelombang protes besar dari warga muslim jakarta dan luar jakarta.
Andaikan Ahok tidak melakukan itu, maka aksi 411 maupun 212 tidak akan terjadi, karena para demonstran terutama yang datang dari luar Jakarta sebelumnya tidak peduli-peduli amet dengan Pilgub DKI Jakarta. Siapapun pemenangnya, bukanlah masalah bagi mereka.
Faktor politiknya, Anies memasuki putaran pilgub DKI Jakarta hanya bermodalkan hasil survei 6 % sedangkan Ahok jauh diatasnya, kisaran 40-50%. Bohong kalau Anies percaya diri maju pada Pilgub yang lalu.
Arus balik terjadi peningkatan popularitas, dalam arti keberhasilannAnies Baswedan, bukanlah kerja hebat dari konsultasn politiknya, tapi karena soal budi pekerti atau sopan santun. Survei tidak berubah signifikan andai tidak terjadi kasus Al-Maidah 51. Sebaliknya Ahok dipastikan menang besar karena tidak tertandingi, setelah mayoritas pemilih muslim Jakarta mendukung Cina Belitung tersebut, karena puas dengan kinerjanya setelah 3 tahun menahkodai Jakarta.
Survei tinggi Ahok sebagian karena sampelnya warga muslim DKI Jakarta dan itu cerminan sikap politiknya sebagai pemilih Ahok yang kemudian berubah dalam beberapa pekan/bulan ke depan karena kesalahan komunikasi Ahok.
Kalimat-kalimat kasar Ahok yang mengemuka sebagai memori bersama, lalu mencuat menjadi stigma politik yang sulit dihapus, bahwa Ahok bermulut kasar. Perilaku Ahok yang arogan dan kasar itu tertanam dalam benak-benak pemilih, bahwa Ahok tidak layak dan berbahaya memimpin DKI Jakarta dalam kurun waktu loima tahun ke depan, sebab dikhawatirkan justru akan memicu kerusuhan sosial.
Itulah faktor terbesar faktor kekalahan Ahok, bukan karena dia Cina, bukan karena dia non-muslim, dan (maaf) terlebih lagi bukan karena kerja cerdas konsultan politiknya, tapi semata akibat muluk Ahok kasar karena tidak memiliki budi pekerti dan sopan santun.
Agar hubungan semua komponen bangsa tetap berjalan dengan baik, mari kembali mengedepankan budi pekerti yang baik dan sopan santun, tidak ada lagi umpatan-umpatan seperti tiko dan tai. Mari pula meneladani sikap para Kyai kampung yang penuh rasa asih dan pemaaf. Dijamin bangsa ini tetap toleran dan demokratis.
Salam Satu Nusa, Satu Bangsa!