SEBAGAIMANA Idul Fitri tahun-tahun silam, gema takbir di pagi menjelang ibadah shalat Id, memberi kesan tersendiri. Jakarta di pagi hari lebaran kali ini, di kawasan Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, cerah. Dari arah jalan Mangunsarkoro, terlihat rona asap putih mengepul. Mendekatinya, aroma Sate Padang menyengat hidung, minyak bumbu bawang, tusukan daging sate berkunyit, bara batok kelapa menyala.
Itulah ciri khas masjid ini. Di setiap Jumat di pelatarannya dapat dijumpai pedagang makanan khas Minang. Mulai dari aneka makanan resto, hingga makanan kering tradisional, seperti emping ketan kering, biasanya untuk pencampur minuman cendol. Kerupuk Sanjai, kerupuk jangek (kulit), bahkan kerupuk jariang (jengkol) kariang. Mancaragam keminanangan tersedia. Kendati pun bukan rasa terbaik, sebuah lepat ketan berisi kelapa muda bergula, berbungkus daun pucuk pisang, saban pekan melepas kerinduan kampung halaman.
Dan di setiap lebaran, keminangan itu tak pernah pergi dari Masjid Sunda Kelapa. Sebagaimana tahun lalu, kami berlebaran di Jakarta. Selain menikmati jalanan Jakarta lengang, ayah dan ibu dimakamkan di Jakarta. Kawan di media sosial lantas banyak bertanya.
“Lebaran tidak pulang kampung Bang?”
Setiap pertanyaan itu terbaca, saat itu pula jantung saya seakan bergetar. Larut mengingat masa kecil di Sungai Geringing, kota Kecematan di Pariaman, Sumbar, lokasinya ke arah atas, berbatas ke Aur Malintang, Lubuk Basung, Kabupaten Agam. Hati seketika mengkerut ketika membayangkan ayah saya pada tahun lalu, tepat di jam 10 pagi pas di hari ulang tahun saya, 16 Juli. Ia berpulang di usia 82 tahun.
Hati memilin pahit.
Ayah hingga tua tak dapat saya bantu akan usaha kebun sawitnya disabot Perusahaan berbendera Malaysia di Pasaman, mencapai hak 3.000 hektar. Bahkan ada 6 hektar jatah pribadi ulayat kami, hasil kebunnya pun sudah berbuah matang sejak lama, oleh koperasi pengelola, kami hanya dikirimi tak sampai Rp 2 juta sebulan. Logika warasnya, sehektar paling tidak hak Rp 7 juta. Itu sudah berlangsung belasan tahun. Sejak Agusti Samain, nama ayahku itu, wafat, tabungannya di Bank Nagari Jakarta, untuk menampung kirimin yang digergaji itu, tidak pernah saya cek. Jangan-jangan karena Agusti sudah tiada, hak minimalis itupun kini sudah sirna pula. Padahal di saat dompet cekak, teringat juga akan hak.
Hingga ayah berpulang, hak seharusnya mampu mengelilingkannya mara ke mancanegara menikmati dunia, tak berujung. Beruntung kedua orangtua sudah saya hajikan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wallillailham.”
Alam terkembang.
Takbir berkumandang.