Mohon tunggu...
Iwan Wibowo
Iwan Wibowo Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Membaca Alkitab Membaca Dunia

pegiat kata-kata.\r\nhttp://www.morningtraveler.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menanti Kesalehan Ekologis Umat Beragama

5 April 2013   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:42 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sub tema: Partisipasi Masyarakat (Agamis) untuk Kelestarian Hutan Indonesia

Vandalisme Hutan di Depan Mata

Harian Kompas, Jumat 11 Maret 2011 di halaman Iptek melaporkan flora langka Kantong Semar Endemik Sintang terancam punah. Itu contoh kejadian penting yang dilaporkan media kepada masyarakat Indonesia. Berita lain yang kerap muncul adalah tentang kota-kota kita yangpadat dan sarat polusi, tentang laut kita yang kotor, sungai kita yang kering, sekaligus yang meluap membanjiri pemukiman warga di berbagai daerah, serta yang paling membuat dunia pilu, yakni tentang hutan kita yang gundul. Sebuah artikel dalam www.hutanindonesia.com tanggal 27 Maret 2013 melaporkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, satu juta hektar hutan di Jambi lenyap akibat alih fungsi hutan secara besar-besar baik karena proyek pemerintah maupun sektor swasta.

Semua berita ini sekedar contoh dari banyaknya berita lain di media massa kita hari ini yang sesungguhnya memotret bumi kita yang sedang terluka, sedang sakit. Ironisnya, pembinasaan alam ini terjadi saat kita memiliki teknologi satelit yang sanggup memonitor dari luar angkasa semua spesies yang terancam, penghancuran hutan tropis, makin sedikitnya populasi air bumi, dan semua bentuk vandalisme ekologi lainnya. Artinya, semua terjadi depan mata kita. Dan kita tak sanggup menghentikannya.

Apa hubungan agama dengan isu merawat alam, atau merawat hutan khususnya? Dulu penulis tak bisa menjawabnya, karena mengira pelestarian hutan hanyalah terkait persoalan ilmiah atau etika sosial saja. Hari ini penulis menduga banyak umat beragama (apapun) masih belum bisa melihat kaitan agamanya dan konservasi hutan ini. Ada ironi pula di sini: justru para aktivis lingkungan hidup dari barat yang kebanyakan agnostis (meyakini Tuhan tak peduli lagi dengan ciptaanNya) atau ateis itulah yang seringkali rela “habis-habisan” menentang praktek-praktek eksploitasi hutan.

Maka penulis berkeyakinan, menggali atau mengupas nilai-nilai agamayang terkait dengan kesadaran umat merawat hutan ini sangat relevan, bahkan mendesak untuk digemakan hari ini di tengah kondisi bangsa kita maupun kondisi dunia. Siapapun yang waras akan merasa prihatin melihat kondisi hutan Indonesia dan dunia hari ini. Tak cukup hanya prihatin, tiap orang yang normal nalar dan perasaannya akan merindukan kawasan hutan di negri zambrud khatulistiwa ini bisa terawat dan terselamatkan dari berbagai aksi vandalisme hutan yang terjadi hari ini. Keprihatinan dan pengharapan semacam itu penulis yakin ada di benak sebagian besar penduduk negri ini seiring berita di layar TV maupun koran yang membeber fakta yang mereka tonton, baca dan bahkan mereka alami setiap hari. Namun berprihatin dan berharap saja tidaklah cukup. Diperlukan respons kongkrit di sini.

Dalam banyak pemberitaan media, respons umum yang muncul adalah mencari kambing hitam, menunjuk pihak-pihak yang bisa disalahkan. Tapi sebenarnya, siapa yang harusnya bertanggung-jawab? Penulis berpandangan bahwa akan lebih berguna bila kita berani bertanya: “Respons apa yang perlu dihadirkan oleh umat beragama hari ini? Jawabannya, menurut hemat penulis, sesungguhnya tak sesulit yang kita kira. Lembar-lembar kitab suci masing-masing agama sangat mungkin menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut.Penulis meyakini kitab suci semua agama tidak memberi ruang sama sekali untuk mencemari atau menghancurkan lingkungan, sebaliknya justru mengamanatkan pemeliharaannya. Maka kitab suci agama apapun layak dihayati dan dihidupi dalam segala dimensinya, termasuk dimensi ekologi.

Menghidupi Panggilan Ekologis Umat Beragama

Berkaitan dengan krisis ekologi yang terjadi saat ini, termasuk penggundulan hutan yang kerap berujung bencana dan menelan banyak korban ini, suara dan peran apa yang bisa kita tumbuh-kembangkan di tengah bangsa yang dikenal sangat religius ini? Menyalahkan orang lain jelas mudah sekali (Salahkan orang kaya pemilik pabrik kayu atas gundulnya hutan-hutan, salahkan orang miskin yang buang sampah di sungai, salahkan pemerintah yang tidak becus atasi banjir, dst). Tapi jika kita sungguh ingin menyelamatkan hutan kita, sangat elok bila anak bangsa yang saleh beribadah mau merendahkan diri dan mengambil inisiatif tanggung-jawab, dengan berkata, “Maaf, itu karena salah saya.” Penulis yakin itu adalah langkah awal yang kecil yang akan berdampak besar bagi pemulihan ekologis bangsa kita maupun dunia.

Memang benar bahwa sikap dan perilaku semua anak bangsa terhadap alam harus berbenah, tapi unsur-unsur pimpinan atau pemuka setiap agama harusnya mempelopori, memprakarsai dan menggerakkan saudara-saudara sebangsanya untuk evaluasi diri, introspeksi, untuk berbenah, demi terjadinya perubahanmendasar tentang cara masyarakat kita memandang maupun memperlakukan hutan ciptaan Allah di bumi nusantara ini. Untuk itu di sini penulis mengajukan tiga dari antara banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangun kesalehan ekologis yang sangat dinantikan oleh dunia kita hari ini.

1.Kampanye melalui tulisan, seminar maupun aksi teatrikal, dan lain-lain. Tidak cukup dengan argumen berbasis ilmiah dan etika, melainkan mengusung pesan-pesan berbasis atau bersumber dari nilai-nilai kitab suci. Ini akan berfungsi sebagai sarana pesan penyadaran lingkungan hidup, secara khusus peduli hutan kita. Institusi agama maupun ormas agama apapun memiliki kesempatan strategis di kalangan umatnya masing-masing untuk melakukan kampanye “Selamatkan Hutan Kita” ini.

2.Kampanye melalui keteladanan gaya hidup berwawasan ekologi di lingkungan rumah. Tempat ibadah, atau rumah milik warga yang dikenal taat beragama, apalagi rumah pemuka agama, meski sederhana tetapi bersih dan hijau, itu akan cenderung menular, menjadi iklan efektif bagi lahirnya gerakan tanam pohon di lingkungannya.

3.Keterlibatan langsung dalam usaha konservasi hutan. Individu beragama harus ada yang berkarya penuh di bidang ini, baik melalui jalur profesi maupun keilmuan. Secara profesi, bekerja di bidang pemerintahan bisa menjadi kesempatan besar untuk mempengaruhi para penentu kebijakan pembangunan agar semakin memiliki etika pembangunan bangsa yang memperhatikan pelestarian hutan.  Secara keilmuan, efektif sekali jika banyak orang saleh menggeluti bidang ilmu yang berperan dalam pemeliharaan proses-proses hutanisasi yang esensial.

Intinya, seorang yang beragama tidak cukup hanya menghidupi nilai-nilai kesalehan individu dan sosial, tetapi juga nilai-nilai kesalehan ekologis, demi perubahan-perubahan positif bagi kondisi alam dan hutan-hutan nusantara kita tercinta ini. Syukur-syukur anak-anak saleh bangsa ini bisa berkiprah di level internasional dalam misi konservasi hutan ini, karena bangsa-bangsa memang perlu bekerja sama untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan dan keutuhan ekosistem bumi.

Bagaimana menurut Anda?

Jumat, 5 April 2013

Penulis adalah seorang Pendeta di Palopo, SulSel

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun