Mohon tunggu...
Mohamad Kurniawan
Mohamad Kurniawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausahawan sosial bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya insani.

Setiap orang adalah guru. Setiap tempat adalah sekolah. Setiap waktu adalah belajar. Menulis adalah untuk mengabadikan semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Grebeg Syawal, Antara Tradisi dan Akulturasi

15 Juni 2017   09:40 Diperbarui: 15 Juni 2017   11:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai episentrum kebudayaan Jawa, Yogyakarta memiliki banyak tradisi dan upacara yang  berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Dan beberapa diantaranya masih rutin diadakan hingga di jaman peradaban internet ini. Salah satu tradisi tersebut adalah Grebeg Syawal. Upacara yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Raya Idul Fitri ini dilakukan setiap tanggal 1 Syawal.

Secara bahasa kata “grebeg” berasal dari bahasa Jawa. Akar katanya “gumrebeg”yang berarti riuh, ribut dan ramai. Pada mulanya grebeg berarti “gerak bersama”, kemudian menjadi “jalan maja” atau “iring-iringan”. Makna dari upacara grebeg merupakan upacara terpenting karena mengungkapkan pada tingkat tertinggi, yaitu tindakan raja yang menggerakkan dunia.

Sebagai upacara keagamaan Keraton Yogyakarta, ada 3 penyelenggaraan grebeg dalam setahun. Pertama, bertepatan dengan kelahiran Nabi  Muhammad saw diadakan Grebeg Maulud. Kedua, Grebeg Syawal untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri dan terakhir, Grebeg Besar yang diadakan pada saat Hari Raya Idul Adha.

Seperti dua upacara grebeg lainnya, Grebeg Syawal yang digelar setiap tanggal 1 Syawal Hijriah diadakan di areal alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Sesaat setelah sholat Idul Fitri usai.

Tradisi grebeg ini adalah simbol Hajat Dalem yang bermakna sebuah bentuk kedermawanan sultan kepada rakyatnya. Pada hari-hari grebeg itu, sultan berkenan memberikan sedekah berupa makanan dan berbagai hasil bumi lainnya yang disusun meninggi membentuk kerucut seperti sebuah gunung. Hingga disebut gunungan.  

Gunungan ini akan dilepas melalui prosesi iring-iringan prajurit kraton yang menjadi daya tarik tersendiri dari tradisi ini dan sudah berlangsung ratusan tahun.Sebelum “diberikan” kepada rakyat, gunungan tersebut diarak terlebih dahulu mulai dari Pagelaran Keraton Yogyakarta menuju halaman Masjid Agung (Masjid Gede) di Kauman yang berjarak kurang lebih 1 km. Di masjid ini, Kyai Penghulu diikuti para ulama kraton beserta para abdi dalem akan memanjatkan doa-doa kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan serta keselamatan bagi keluarga sultan beserta rakyatnya dan nusa bangsa pada umumnya.

Usai berdoa, gunungan yang dikenal dengan nama Gunungan Lanang ini kemudian dilepas ke masyarakat untuk diperebutkan. Maka bagian yang paling seru dari upaacara ini pun dimulai. Masyarakat berjibaku untuk mendapatkan bagian gunungan ini sebanyak mungkin. Namun demikian, pada hakekatnya bukan seberapa banyak masyarakat mendapatkan bagian gunungan ini tapi keberkahanlah yang mereka cari.

Inilah Grebeg. Sebuah akulturasi budaya dan tradisi panjang yang masih dijaga eksistensinya oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini. Grebeg diyakini menjadi salah satu metode yang dipakai oleh raja-raja Mataram Islam waktu itu untuk menyebarluaskan agama Islam. Pendekatan jalan damai melalui berbagai kegiatan budaya dan seni ternyata membuat masyarakat lebih mudah menerima ajaran Islam di tengah masih kuatnya budaya Jawa.

Wallahu a’lam bishawab

Selamat belajar!

#30DWC6 #Day29

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun