Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konvensi Setengah Hati

1 September 2013   11:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelaksanaan konvensi Partai Demokrat akan berlangsung mulai September. Kalau melihat penetapan waktu menggunakan September, maka akan dimaklumi kalau sejak awal pendiri partai selalu menggunakan simbol angka 9. Spirit ini pula yang menjadi latar belakang bagaimana konvensi harus dimulai dengan bulan September.

Bukan kegagalan, tetapi ada aroma mistik yang menyelimuti partai dimana selalu saja menggunakan tuah dari sebuah angka. Keputusan ini bukan ditentukan pelaksana harian partai tetapi tentunya yang Maha Kuasa di partai. Jikalau partai diurusi dengan menggunakan prinsip-prinsip tuah atau berkah, maka akan berat sebelah. Sepatutnya pertimbangan waktu lebih kepada efektifitas atau pertimbangan era moderen saja.

Tetapi itu bukan masalah besar. Justru sudah dua partai, Partai Demokrat dan Partai Nasdem mempraktikkan dari Dewan Pembina partai kemudian menjadi Ketua Umum. Ini membuktikan bahwa dalam politik di Indonesia selalu saja tidak memerlukan teori atau fatsun apapun. Karena akan dilaksanakan sesuai kehendak penguasa partai. Lalu dari Ketua Umum bisa saja menjadi Seekretaris Jenderal. Wajah dari semua praktik yang tidak memperhatikan sebuah proses. Sehingga penempatan jabatan di partai tidak menggunakan prinsip perkaderan.

Pelaksanaan konvensi benar-benar menggunakan ala Partai Demokrat semata. Penjaringan peserta konvensi dimulai dari Jakarta dan dikembalikan pilihannya ke daerah. Bukan seperti jamak terjadi di konvensi Partai Republik dan Partai Demokrat yang bermarkas di Amerika Serikat. Mereka mempraktikkan konvensi yang dimulai dengan pencalonan pribadi lalu terjun meyakinkan para pengurus partai di negara-negara bagian. Dari pencalonan Negara bagian itulah akan mengkerucut siapa yang menjaid pilihan nasional. Ada sosialisasi dan pergulatan ide di semua tingkatan partai.

Sementara kita di negara yang kita cintai ini? Hanya ditentukan elit partai. Lalu tingkatan DPD tidak sama sekali memberikan suara. Mereka hanya dijejali dengan profil dan figur yang sudah ditentukan komite konvensi. Dipertemukan dan pada saatnya nanti DPD yang tersebar dari Merauke sampai di Sabang yang akan melakukan sosialisasi kepada rakyat kalau sudah ditentukan siapa pemenang konvensi.

Praktik yang tidak bisa dikatakan buruk tetapi juga tidak sepenuhnya baik, karena mengabaikan prinsip partisipasi dan keterbukaan internal partai. Pemenang konvensi ketika menjadi calon presiden, maka elit-elit partailah yang memegang kekuasaan untuk menentukan arah perjalanan Sang Calon Presiden terpilih. Bukan diarahkan oleh rakyat dan orang banyak. Maka, kepentingan negara akan tersandera oleh elit-elit ini.

Semangat otonomi daerah ternyata belum terpahami dengan baik oleh seluruh perangkat partai. Tetap saja mendiktekan kehendak dimulai dari DPP. Seolah-olah melihat Indonesia ini harus dimulai dari Jakarta. Padahal dengan kemampuan yang ada, komunikasi yang tersambung dengan baik, dan infrastruktur negara yang sudah memadai, maka tidak ada alasan untuk tidak mendengarkan suara orang di daerah untuk kemajuan bersama. Seolah-olah apa yang disampaikan Jakarta sudah menjadi kebenaran. Hanya saja, persoalan ini tidak dilihat oleh pengurus DPP sehingga begitu konvensi dimulai selalu saja dilaksanakan dengan kehendak sepenuhnya dari DPP.

Mengakhiri ketikan ini saya ingin mengutip sebuah sajak (allahuyarham) Ahyar Anwar yang wafat beberapa hari lalu. “Jika memang tidak ada lagi hari esok. Kita tinggal berharap hari ini akan menjadi abadi. Dan senja akan memeluk kita dalam temaram yang beku. Waktu akan merengkuh jiwa kita dalam hatinya selamanya. Lalu kita bagai sunyi dan sepi yang berpagu diam”.

Akhirnya, jikalau memang tidak boleh berharap lagi ke elit partai, maka cukuplah negara ini menjadi kuasa waktu. Lalu kita rakyat hanya bisa dengan iman yang terlemah, berdoa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun