Itu pangkat, bukan nama. Dan, hari-hari ini Jenderal itu belum bernama. Belum ada nama yang menyertainya. Masih tanda-tanya. Masih misteri. Berbagai spekulasi bermunculan. "Aku tahu, ada banyak pihak yang berada di balik penganiayaanku," begitu tuturmu, dengan penuh rasa geram. Orang-orang tercengang, juga tercekat. Sekian lama engkau diam, sekian lama pula orang menunggu, siapa sebetulnya otak yang menganiayamu.
Kini, kau bersuara lantang: Jenderal. Itu artinya, yang menganiayamu bukan orang biasa. Benarkah? Dua cecunguk yang menyiramkan air keras ke mukamu, hanya pion. Hanya orang suruhan, yang bahkan tak tahu, untuk apa mereka menganiayamu. Dengan sekian lama tak terendus penganiayamu, kami paham, itu bukan pekerjaan orang biasa. Hanya orang piawai yang mampu merekayasa, membelokkan perhatian, serta mengalihkan praduga.
Tapi, Jenderal? Itu pangkat, yang bukan pangkat sembarangan. Hanya mereka yang terpilih, yang berhak menyandang pangkat itu. Jiwa mereka, raga mereka, sudah teruji. Sangat tidak mungkin mereka yang sudah terpilih itu sampai berbuat keji. Apalagi engkau pernah menjadi bagian dari mereka. Rasa kebersamaan antara kalian nyaris kekal, abadi. Bukankan kalian selalu bersumpah bahwa negeri ini akan kalian jaga hingga tetes darah penghabisan?
Dengan menyebut Jenderal saja, engkau sudah menimbulkan kegaduhan baru. Menambah jumlah kegaduhan yang ada. Membisingkan suasana bangsa, bahkan barangkali bisa memicu friksi yang tidak perlu. Apalagi bila besok atau lusa atau entah kapan, engkau melekatkan nama setelah Jenderal tersebut. Oalah, negeri ini bakal geger. Akan ada pihak yang memancing di air keruh, yang bisa merusak sendi-sendi persatuan.
"Tidak, tidak akan sampai ke sana," gumammu. "Aku sudah pernah menjebloskan Jenderal yang sudah bernama ke penjara. Bukan karena aku benci padanya. Tapi, karena ia telah merampok uang negara. Ia terang-terangan melakukan korupsi. Perbuatannya bukan hanya telah merusak martabat lembaga, tapi juga menghancurkan kehormatan mereka yang telah menyandang pangkat Jenderal," sanggahmu berapi-api, hingga peluh meruap dari keningmu yang licin.
Benarkah? Benarkah Jenderal juga bisa menjadi koruptor? Benarkah ada Jenderal yang sampai masuk penjara? Kami tidak percaya. Itu bukan pangkat sembarangan. Hanya mereka yang terpilih, yang berhak menyandang pangkat itu. Jiwa mereka, raga mereka, sudah teruji. "Tidak usah berlagak bodoh," sergahmu tiba-tiba. "Publik sudah tahu, semua orang pun tahu. Kalian tidak pernah nonton televisi sih!" lanjutmu.
Kami terdiam sambil bertanya-tanya dalam hati, akankah Jenderal yang disebut-sebut itu segera diikuti nama?
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 17 Juni 2017