Mohon tunggu...
Isriyati
Isriyati Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca dan penulis

Seseorang yang menggemari membaca komik Jepang (manga), menyenangi merangkai kata menjadi tulisan, menyukai jalan-jalan, dan mencintai warna oranye

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Menyeimbangkan Idulfitri

23 Mei 2020   12:57 Diperbarui: 23 Mei 2020   12:59 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Tinggal menunggu hitungan jam lagi umat Islam di Indonesia akan merayakan Idul Fitri setelah sebulan lamanya berpuasa Ramdhan untuk menahan diri, tidak hanya lapar dan haus, namun juga menahan diri dari segala perbuatan yang tidak baik.

Idul Fitri, orang Indonesia banyak menyebutnya sebagai Lebaran. Merupakan momen yang membahagiakan dan sering dinanti oleh banyak pihak. Akan tetapi, pada tahun 2020 ini akan menjadi hal yang berbeda karena merayakan Lebaran ditengah pandemi Covid-19 yang masih belum usai.

Namun meski demikian, tidak ada alasan untuk merayakan Idul Fitri dengan penuh suka cita dan berbahagia dengan apapun caranya. Sebagaimana anjuran pemerintah, Lebaran kali ini akan berbeda, Lebaran kali ini akan diisi oleh virtualisasi silaturahmi dan #DiRumahAja. Terlepas dari adanya virus Covid-19, mari sejenak kita memaknai hakikat perayaan Idul Fitri/Lebaran yang selalu kita lakukan.

Idul Fitri sebagai ritual sosial budaya

Tahun lalu, bahkan tahun-tahun sebelumnya, kita selalu disajikan momen menjelang Ramadhan hingga perayaan Idul Fitri sebagai gong dengan realitas yang sama seolah menjadi sebuah ritual yang masif dan mengakar di masyarakat Indonesia. Ritual sosial budaya berupa pergerakan manusia dalam bingkai mudik/pulang kampung, barang-barang baru, salam-salaman/halal bi halal, dan ada yang menambahkan dengan nyekar/ziarah.

Semua ritual tersebut terkonstruksi dengan baik di semua lini (pemerintah, masyarakat, moda transportasi, dunia perniagaan, pariwisata, dan media massa) sehingga menjadikannya suatu kebiasaan yang kurang afdol kalau tidak dilakukan, atau tidak sah kalau tidak dilaksanakan.

Ada berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk mudik? Ada berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membeli barang baru yang wujudnya bisa pakaian, perhiasan, kendaraan, makanan, parsel? Ada berapa banyak diskon yang digaungkan para ritel yang terbeli? Belum lagi olahan makanan yang tersaji bisa lebih dari satu-dua varian hanya untuk menjamu sanak saudara.

Melihat fenomena semacam ini, seolah hanya menempelkan momen Lebaran sebagai sarana untuk mengesahkan perilaku masyarakat dalam menjalankan kegiatan sosial budayanya.

Tak jarang pula kita jumpai saat Lebaran sebagai ajang kumpul-kumpul untuk menunjukkan keberhasilan masing-masing. Pasti tak asing dengan pertanyaan: sudah menikah belum? Berapa anaknya? Sekarang jabatannya apa? Kerja dimana? Berapa gajinya? Disana tinggal dimana? Dan lain-lain

Eksistensi yang lain pun terwujud dalam bentuk cat rumah baru, perabotan baru, pagar rumah baru, pulang menggunakan mobil baru, jumlah perhiasan yang dikenakan, baju bermerk, atau ponsel yang canggih, beli barang baru yang seolah Lebaran menjadi sebuah ajang strata kelas sosial.

Entah disadari atau tidak, tapi memang demikianlah konstruksi sosial budaya yang nyata ada saat Lebaran. Seolah mengamini, masyarakat menjadikannya sebagai ritual praktis-ekonomis yang nyata atas berbagai atribut yang melekat saat Lebaran tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun