Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Wewenang Pengadilan Agama dalam Sengketa Waris

27 Mei 2013   05:27 Diperbarui: 4 April 2017   17:40 13573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kewenangan Pengadilan Agama mengenai sengketa milik dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Desember 1979 No. 11K/AG/1979. Dalam putusan tersebut ditentukan suatu kaidah hukum acara yang menegaskan: “Apabila dalam suatu gugatan yang menyangkut pembagian harta warisan masih terkandung sengketa hak milik maka perkara yang bersangkutan tidak termasuk kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksanya tapi termasuk kewenangan Peradilan Umum.” Kaidah di atas telah dianggap dalam praktek peradilan sebagai salah satu yurisprudensi tetap. Hampir semua kalangan telah menjadikannya sebagai pedoman, baik lingkungan Peradilan Agama maupun lingkungan Peradilan Umum. Sebagian besar telah menjadikannya sebagai patokan dalam menentukan kewenangan perkara- perkara warisan bagi mereka yang beragama Islam. Apalagi sejak hal itu dikukuhkan sebagai salah satu patokan beracara dalam rapat kerja Mahkamah Agung dengan semua lingkungan peradilan di Yogyakarta 23-25 Maret 1985. Semakin banyak para Hakim yang mengindahkan putusan tersebut. Tetapi belum semua Hakim melaksanakannya.

Masih sering terjadi pelanggaran atas patokan tersebut. Ada beberapa Hakim dari lingkungan Peradilan Umum yang mengadili perkara warisan orang yang beragama Islam atas alasan hukum warisan yang hidup di daerah hukum yang bersangkutan adalah hukum waris adat. Sementara itu, ada pula Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa dan memutus perkara warisan sekalipun dalam perkara harta warisan tersebut tersangkut sengketa milik. Padahal bidang perdata mengenai kebendaan dengan segala bentuk sengketa hak yang mengikutinya, sejak dari dulu tidak pernah menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama.

UU No. 7 Tahun 1989 bersikap positif tapi ragu-ragu dalam menyelesaikan permasalahan titik singgung sengketa milik dalam gugatan pembagian harta warisan. Sikap positifnya dengan cara mengukuhkan lebih tegas Yurisprudensi MA 13 Desember 1079 No. 11 K/AG/1979. Nilai kaidah hukum yang terkandung dalam yurisprudensi tersebut diangkat menjadi ketentuan Undang-Undang dan dicantumkan menjadi rumusan Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.” Kemudian terhadap ketentuan Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989, pembuat Undang-Undang memberi penjelasan yang berbunyi: “Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa.”

Memperhatikan bunyi Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 serta penjelasan Pasal tersebut, dapat ditarik beberapa asas sebagai acuan pedoman bagi Pengadilan Agama mengadili perkara yang didalamnya terkandung sengketa milik. Segala sengketa keperdataan yang menyangkut hak kebendaan atau berdasar perikatan, sekalipun objek sengketa itu tersangkut perkara di Pengadilan Agama maka sepanjang sengketa hak kebendaan mutlak menjadi kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) untuk mengadilinya. Mengenai bentuk-bentuk sengketa hak kebendaan bisa berupa sengketa hak milik, hak gadai berdasar hukum Adat, hak agunan, baik agunan bisaa atau hipotek, tukar menukar jual beli dan sebagainya. Terhadap sengketa keperdataan dimaksud mutlak menjadi kewenangan Peradilan Umum untuk mengadili. Pengadilan Agama tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus pembagian harta sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap tentang kepastian pemilik harta-harta tersebut.

Putusan MA tanggal 13 Desember 1979 No. 11 K/AG/1979 hanya menyinggung kemutlakan kewenangan Peradilan Umum mengadili sengketa hak milik atas perkara warisan yang sedang diperiksa Pengadilan Agama. Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 tidak membatasinya sepanjang yang berkenaan dengan perkara warisan, tetapi meliputi semua perkara yang menjadi yurisdiksi Peradilan Agama. Penegasan tersebut jelas terbaca dalam Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989. Apabila terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989, khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan di dalam Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 menyebutkan: “semua perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49.”

Perkara-perkara yang dimaksud Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 adalah perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi absolut lingkungan Peradilan Agama. Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 berisi muatan jumlah totalitas kewenangan absolut yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Dengan ditunjuknya Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 oleh Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989, kaitan sengketa hak milik atau keperdataan lain dengan kewenangan Peradilan Umum untuk mengadilinya, tidak lagi hanya terbatas terhadap perkara warisan, tetapi meliputi seluruh perkara apa saja yang diperiksa Pengadilan Agama, termasuk perkara harta bersama, hibah, wakaf dan shadaqah dan dalam perkara-perkara itu tersangkut sengketa hak milik atau keperdataan lain maka sepanjang yang menyangkut sengketa milik menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri untuk mengadilinya. Kewenangan untuk itu dapat disimpulkan dari perkataan harus yang tercantum dalam Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989, yaitu “....harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”

Demikian jangkauan sengketa milik setelah berlaku UU No. 7 Tahun 1989 yang dijelaskan di dalam ketentuan Pasal 50. Tidak semata-mata hanya terbatas dalam perkara warisan tetapi meliputi semua jenis perkara dalam semua bidang hukum yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Selama dalam suatu perkara yang diperiksa lingkungan Peradilan Agama terkait sengketa milik atau sengketa keperdataan lain, selama itu kewenangan Pengadilan Agama menjadi pasif. Kewenangannya baru aktif kembali untuk memeriksa dan memutus perkara apabila sengketa milik atau keperdataan lain telah tuntas selesai dalam lingkungan Peradilan Umum.

Perubahan terjadidengan ditetapkannya UU No. 3/2006 tentang Prubahan UU No.7/1989. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Kemudian, jika  terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Pengadilan Agama. Sebaliknya bila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.




Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun