Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teknokrat dalam Kebijakan Ekonomi

14 Juni 2013   08:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:03 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini kita hidup di era teknokrasi. Dalam bisnis, hal itu dijalankan oleh “the Big Data” dan “the Big Brain.” Di pemerintahan, para teknokrat menduduki posisi puncak. Dari Washington hingga Frankfurt hingga Roma, teknokrat berperan saat para politisi gamang dalam bertindak, memastikan ekonomi, atau sekurang-kurangnya menopang proses tersebut.

Para teknokrat mengandalkan inteleginsia. Sudah menjadi kemustahilan dewasa ini untuk mencomot isu sosial atau politik apapun tanpa membutuhkan data yang dihasilkan dari riset ilmu sosial. Juga dalih-dalih yang masuk akal dan pendekatan terpusat, bebas dari tautan ideologi, yang biasanya meletakkan ketersediaannya di pundak para teknokrat.

Teknokrat menyediakan banyak saran bagi politisi. Kita, bagaimanapun, hidup di masa “Big Data”, dan menghindarkan diri dari kebutuhan ini atau ketidakmampuan enggunakan data akan memastikan terjadinya kebangkrutan atau kehinaan. Tetapi khususnya dalam krisis 2008, sebuah krisis yang meletakkan peran teknokrat baik sebagai penyebab maupun kegagalan untuk membuat prakiraan, juga terdengar sebagai alasan untuk tidak terlalu mempercayai kekuatan mekanis dari solusi para teknokrat. Itulah mengapa ada baiknya pula untuk membaca tulisan terbaru dari Daron Acemoglu dari the Massachusetts Institute of Technology dan James Robinson dari Harvard University.

Pada seminar untuk membahas buku mereka “Why Nations Fail” di tahun 2012, Acemoglu dan Robinson menawarkan kerangka kerja baru dengan kekuatan besar untuk memahami mengapa ada masyarakat yang berhasil berkembang sementara di sisi laina da masyarakat yang gagal. Hal itu disebabkan bahwa yang pertama disebabkan oleh keberhasilan pertumbuhan inklusif, sementara yang lain mengandalkan pertumbuhan ekstratif yang semakin layu.

Kajian terbaru mereka, yang berjudul “Economics Versus Politics: Pitfalls of Policy Advice”, akan diterbitkan dalam tahun ini di the Journal of Economic Perspectives dan sekarang baru tersedia dalam bentuk rancangan dari kertas kerja pada National Bureau of Economic Research. Karya ini merupakan pembahasan persoalan penting di era teknokrasi: keterbatasan cara berpikir teknokratik sebagai dasar pembentukan kebijakan.

Kritik mereka bukanlah keluhan standar mengani ratapan para teknokrat, dan bukan pula hal yang secara politik sulit untuk diimplementasikan. Sebaliknya, perhatian mereka adalah kebijakan yang sungguh masuk akal dalam teori bisa gagal dalam praktek karena konsekuensi politik yang tidak diinginkan. Secara khusus, mereka percaya perlunya  berhati-hati tentang  kebijakan ekonomi yang"baik" yang memiliki efek samping memperkuat kelompok yang dominan atau memperlemah kelompok marjinal.

"Anda harus  memiliki kehati-hatian ganda ketika datang ke kebijakan yang akan memperkuat kelompok-kelompok yang sudah kuat," kata Acemoglu . "Pusat perhatian awal adalah kecurigaan tertentu terhadap elit. Anda benar-benar tidak dapat mempercayai elit ketika mereka benar-benar bertanggung jawab atas kebijakan." Sebagai contoh adalah serikat buruh.

Acemoglu mengataka “Sejak lama saya berpandangan bahwa organisasi buruh telah menjadi rent-seeking. "Sekarang, saya berpandangan bahwa meskipun kita tidak mengalami transisi dari kediktatoran menuju demokrasi, Anda memerlukan beberapa organisasi buruh sebagai penyeimbang lobi bisnis."

Acemoglu dan Robinson membuat argumen panjang di dalam tulisan mereka: "Dihadapkan dengan serikat buruh yang mendukung kekuatan monopoli dan meningkatkan upah anggotanya, sebagian besar ekonom akan menyarankan untuk mencabut atau membatasi kemampuan serikat untuk menjalankan kekuasaan monopoli ini, dan yang pasti dibutuhkan kebijakan yang tepat dalam beberapa keadaan. Tapi serikat buruh tidak hanya mempengaruhi fungsi pasar tenaga kerja, mereka juga memiliki implikasi penting bagi sistem politik. Secara historis, serikat pekerja telah memainkan peran penting dalam penciptaan demokrasi di berbagai belahan dunia, terutama di Eropa Barat. "

Dua contoh penting lainnya yang dikaji adalah deregulasi keuangan di Amerika Serikat dan privatisasi di Rusia pasca-Soviet. Dalam kedua kasus tersebut, reformasi ekonomi yang menyajikan banyak istilahh abstrak dan efisiensi ekonomi memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan untuk memperkuat kepentingan politik yang sudah kuat. Sebagai sering dilakukan saat kekuasaan tergenggam, mereka berlebihan dalam menjalankan wewenang. Hasilnya adalah spiral politik yang di Amerika Serikat membantu memicu krisis keuangan 2008 dan di Rusia menyebabkan munculnya Presiden Vladimir V. Putin dan rezim otoriter. Tulisan tersebut mengingatkan kita sesuatu yang penting, yang menurut para kritikus,  elit sering tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Di Amerika Serikat dan di Rusia, reformasi yang memperkuat kepentingan pribadi tidak dimulai dengan plot licik oleh komplotan rahasia untuk memperkaya dirinya sendiri. Sebaliknya, mereka didukung dan dianjurkan oleh para teknokrat, yang dengan tulus percaya bahwa mereka bertindak dalam kepentingan umum.

"Apa yang menjadi target tulisan kami  bahwa sikap hubristik tertentu di antara para  ekonom--kita adalah ratu dari ilmu-ilmu sosial karena kita menggunakan angka dan data," kata Acemoglu, yang adalah seorang profesor di department MIT dari ekonomi, dapat mengabaikan implikasi dari kekuasaan politik."

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun