Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sang Pesindhen, Pengisi Kepribadian (2)

4 April 2013   11:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:45 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pesindhen yang tak asing bagi masyarakat Yogyakarta adalah Nyi Pariyem. Sejak saya menginjak masa SMP, nama ini sering dicontohkan oleh Pak Kaseran, guru bahasa Jawa waktu itu, sebagai sosok yang patut diteladani. Perempuan dari Gunung Kidul ini adalah sosok pesindhen yang tidak mengandalkan wajah, demikian juga perilakunya sederhana. Tetapi kemampuannya dalam melantunkan untaian tembang dalam karawitan begitu halus, tertata, dan "tidak tergesa-gesa", artinya antara ucap vokal dengan irama gamelan begitu sesuai. Perempuan ini murid dari Nyi Tjondrolukito. Dalam rekaman karawitan, Nyi Pariyem acap mendampingi Nyi Tjondrolukito dalam sejumlah album seperti nampak dalam kaset yang diproduksi oleh Fajar Record yang berjudul "Pangkur Wolak Walik", "Kutut Manggung Wolak Walik", dan "Dandhanggula Palaran." Sejak tahun 1970-an, menjadi tenaga kesenian RRI Yogyakarta dan sejak itu tak pernah putus mengabdi di keluarga karawitan lembaga penyiaran publik itu.  Karena karawitan RRI bukan hanya untuk siaran gending-gending Jawa tetapi juga untuk kethoprak dan wayang kulit. Dalam pagelaran Wayang Kulit di Sasana Hinggil Dwi Abad, karawitan RRI Yogyakarta kadang-kadang menjadi pengiring terutama untuk dalang-dalang dari luar Yogyakarta. Dalam pengamatan saya sempat mendukung acara "Pangkur Jenggleng" di TVRI Yogyakarta sampai kemudian meninggal dunia pada tahun 2004.

Selanjutnya, Nyi Sri Rahayu dan Nyi Kasilah juga bergabung dengan RRI Yogyakarta. Kedua pesindhen ini bahkan kemudian menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Nyi Sri Rahayu memperoleh gelar Nyi Mas Wedhana Madya Hartati, sedangkan Nyi Kasilah memperoleh gelar Nyi Lurah Candrasari.  Di luar sebagai tenaga kesenian RRI Yogyakarta, kedua pesindhen ini juga acap tampil dalam pagelaran wayang kulit. seperti Nyi Sri Rahayu pernah menjadi pesindhen "Warga Laras", kelompok karawitan milik dalang Ki Suparman (almarhum). Sedangkan Nyi Kasilah pernah mengiringi dalang Ki Sofyan Hadiwaluyo (almarhum), Ki Sukoco, dan Ki Seno Nugroho. Kedua pesindhen juga bergabung dengan karawitan Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo  yang antara lain mengiringi pentas dan rekaman Kethoprak Mataram "Sapta Mandala", yang menjadi binaan Kodam IV/Diponegoro Jawa Tengah. Nyi Sri Rahayu sudah meninggal dunia sedangkan Nyi Kasilah sudah pensiun dari RRI Yogyakarta, namun masih mendukung dalam even-even tertentu.

Untuk pesindhen Jawa Tengah, pengetahuan saya tidak banyak kecuali mendengarkan rekaman kaset atau mengikuti pagelaran wayang kulit dalang-dalang favorit saya seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, dan Ki Purbo Asmoro. Tetapi nama-nama yang kemudian melegenda antara lain Nyi Tukinem, Nyi Tugini, Nyi Supadmi, Nyi Sutantinah, dan Nyi Suyatmi.

Nyi Tukinem (berasal dari Sukoharjo) dan Nyi Tugini (berasal di Jajar, Surakarta) adalah tenaga kesenian RRI Surakarta yang sekarang sudah lanjut usia dan pensiun dari lembaga penyiaran pemerintah itu. Kedua sosok ini adalah pesindhen kondang terutama dalam era produksi kaset rekaman Lokananta pada dekade 1970-an. Ketika karawitan RRI Surakarta dipimpin oleh Sunarto Tjiptosuwarso, yang piawai sebagai komponis dan penata gending, kedua sosok ini menjadi terkenal. Nyi Tukinem memiliki cengkok atau gaya yang "sumeleh" atau tenang, terutama saat melantunkan Jineman Mari Kangen atau Jineman Uler Kambang yang menjadi trandmark beliau. Sementara itu, di samping menjadi anggota karawitan Surakarta juga menjadi pesindhen di group karawitan "Condong Raos" pimpinan Ki Nartosabdho (almarhum) dan Kelompok Karawitan Listyo Rini (Kartosura).  Keduanya, di samping mengajar seni karawitan, juga menjadi abdi dalem Keraton Pura Mangkunegaran.

Nyi Supadmi dari Surakarta merupakan salah satu pesindhen andalan group karawitan "Condong Raos" pimpinan Ki Nartosabdho (almarhum). Beliau merupakan dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, dulu bernama Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta pada jurusan Pedalangan. Banyak orang asing seperti Hiromi Kano dari Jepang yang menjadi muridnya dan kemudian terkenal karena kemampuannya melantunkan tembang Jawa.

Nyi Sutantinah (almarhum) adalah pesindhen dari Kurung, Ceper, Klaten.  Dia memperoleh julukan "suara emas" dari Ki Nartosabdho dan menjadi salah satu pesindhen andalan. Suara Nyi Sutantinah tegas tetapi bercengkok klasik dan tidak terlalu banyak berimprovisasi, tetapi justru itulah yang menjadi kekuatannya. Nyi Sutantinah pernah tergabung dan menelurkan banyak rekaman gending-gending Jawa di perusahaan Kusuma Record dalam group karawitan Riris Raras Irama pimpinan Sunarto Tjiptosuwarso. ia juga tergabung dalam kelompok karawitan Indrararas (Surakarta) dan kelompok karawitan Ngripto Raras pimpinan Sri Moro (Boyolali), yang menghasilkan sejumlah kaset rekaman di perusahaan Lokananta. Sesudah Ki Nartosabdho meninggal dunia pada tahun 1985, Nyi Sutantinah bergabung dengan Ki Anom Suroto dan kemudian sejak awal 1990-an tergabung dengan Ki Manteb Sudarsono.

Sementara itu, Nyi Suyatmi sampai sekarang masih aktif sebagai sindhen. Seniwati dari Mudal, Boyolali ini juga pernah tergabung dalam group karawitan "Condong Raos" pimpinan Ki Narto Sabdho, elompok karawitan Ngripto Raras pimpinan Sri Moro (Boyolali). Ia pernah tergabung dalam kelompok kerawitan Ki Anom Suroto dan sekarang aktif mengiringi pentas Ki Purbo Asmoro.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun