Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Maju Mundur Perpu (Kegentingan) MK

17 Oktober 2013   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:24 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Kamis (17/10/2013) Presiden Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam tulisan ini selanjutnya akan ditulis sebagai “Perpu MK.”

Dalam catatan saya ini adalah Perpu ke-19 selama hampir 9 tahun kepresidenan Yudhoyono. Secara formal ada 3 pertimbangan ditetapkannya Perpu ini. Pertama, menurut Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Kedua, untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai negara yang menjalankan fungsi menegakkan UUD, akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela oleh hakim konstitusi, perlu dilakukan perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Ketiga, untuk mengatasi keadaan tersebut perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai syarat dan pengajuan hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi.

Mari kita beda eksistensi Perpu MK ini. Perpu termasuk rezim regulasi mendesak (Belanda: noodverordeningsrecht) dan dimaksudkan untuk mengatasi keselamatan negara (eks-Penjelasan Pasal 22 UUD 1945). Dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan undang-undang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah undang-undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya merupakan hak subjektif Presiden. Meskipun demikian, justru karena dibuat dalam keadaan genting itulah UUD 1945 melalui Pasal 22 menyatakan bahwa Perpu itu harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya, yang apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perpu itu harus dicabut atau dibatalkan, tetapi apabila DPR menyetujuinya maka Perpu itu ditetapkan menjadi undang-undang. Jika DPR tidak menyetujui maka Perpu itu dicabut tetapi jika DPR menyetujui maka Perpu itu ditetapkan menjadi undang-undang.

Harus diingat bahwa pengertian keadaan memaksa yang bersifat longgar tersebut harus pula diimbangi dengan pengertian bahwa sebagai konsekuensi bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, maka kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas. Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu kepada undang-undang dan UUD, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri dalam arti tidak untuk melaksanakan perintah undang-undang adalah berbentuk Perpu yang dapat berlaku selama-lamanya 1 tahun. Untuk selanjutnya Perpu tersebut harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika DPR menolak menyetujui Perpu tersebut, maka menurut ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Presiden harus mencabutnya kembali dengan tindakan pencabutan.

Namun, Perpu menjadi bentuk decretismo (governing by decree), bahkan sekadar instrumentalisasi hukum dan kekuasaan oleh kepentingan tertentu kalau kegentingan yang memaksa penerbitannya tak sesuai kondisi sosiologis.

Selain itu, MK berwenang pula untuk menguji Perpu. Dalam Putusan No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, MK menyatakan dirinya memeriksa Perpu, sekalipun itu di luar mandate UUD 1945. Menurut MK, kewenangan itu harus dianggap melekat pada MK karena suatu Perpu “dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan UU maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu terrsebut MK dapat menguji.”Dengan kata lain, sepanjang ada pihak yang memohon, maka Perpu itu dapat diperiksa oleh MK dan berpotensi untuk dibatalkan oleh MK.

Untuk merumuskan “kegentingan yang memaksa” bisa merupakan keadaan bahaya atau keadaan darurat. Keadaan bahaya dipersyaratkan Pasal 12 UUD 1945 harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dan sepanjang ingatan saya tidak keliru, yang masih berlaku adalah UU No. 6/1946 tentang Keadaan Bahaya. Pada menjelang akhir pemerintahan Presiden Habibie, pernah dicoba untuk menyusun UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, akan tetapi tidak pernah disepakati DPR. Pemerintah pun saat itu lebih memilih aspirasi masyarakat (yang antara lain meledak dalam peristiwa Semanggi II) untuk menunda pemberlakuan dan tidak pernah ditandatangani oleh Habibie tanpa penjelasan apapun dan itu berlangsung hingga sekarang.

Dalam UU No. 4/1946 itu, keadaan bahaya meliputi (i) serangan, (ii) bahaya serangan, (iii) pemberontakan atau perusuhan hingga dikhawatirkan pemerintah sipil tidak sanggup menjalankan pekerjaannya; atau (iv) bencana alam. Kemudian setelah kembali ke UUD 1945 sejak 5 Juli 1959, Jenderal A.H. Nasution pada waktu itu merancang UU Keadaan Bahaya dan kemudian diambil alih oleh Presiden Soekarno dengan penetapan Perpu No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya (ditetapkan menjadi Undang-Undang Tahun 1961) dan sekarang masih berlaku. Dalam legislasi ini, keadaan bahaya meliputi: (i) keadaan bahaya dengan tingkatan darurat sipil; (ii) keadaan bahaya dengan tingkat darurat militer; dan (iii) keadaan bahaya dengan tingkat darurat militer.

Dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan itu, maka jelas latar belakang kelahiran Perpu MK tidak dalam kategori keadaan bahaya. Dalam hal ini, keadaan bahaya dalam peraturan perundang-undangan itu merupakan “kegentingan yang memaksa” yang obyektif karena telah ditentukan terlebih dahulu syarat-syaratnya dalam hukum positif.

Sebaliknya, nampaknya Perpu MK lahir karena “kegentingan memaksa” karena penafsiran subyektif Presiden. Dan hal ini memang secara hukum tata negara dibenarkan karena menjadi wewenang Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Sejak beberapa waktu lalu, Presiden Yudhoyono nampaknya menganggap efek moral dari tertangkapnya Ketua MK oleh KPK dengan sangkaan suap telah meruntuhkan kewibawaan dan kepercayaan publikterhadap MK. Jika ini diterima sebagai penafsiran subyektif Presiden, rasany tepat dalam substansi, akan tetapi kemudian kehilangan makna sosiologisnya. Telah ada proses hukum yang tegas terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar. Lagipula 8 hakim MK masih bekerja dan telah pula mengambil putusan misalnya terhadap sengketa pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kerinci, dan Provinsi Jawa Timur. Jadi krisis MK telah lewat sekalipun bekas-bekas delegitimasi masih nampak.

Demikian pula salah satu bagian pertimbangan Perpu MK ini yang menyatakan “untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK… akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela oleh hakim konstitusi.” Terutama dalam frasa “akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela oleh hakim konstitusi” telah memperlebar penafsiran bahwa semua hakim MK dituduh Presiden telah melakukan tindakan tercela itu. Fakta secara hukum yang “diketahui” barulah Akil dan tidak semua hakim konstitusi. Lagipula, menyetujui pendapat Jimly Asshiddiqie, apa yang menimpa Akil adalah masalah personal yang harus dilepaskan dari penilaian kelembagaan. Presiden telah mencampuradukkan antara persoalan lembaga dengan institusi, sekaligus menjatuhkan persangkaan bahwa semua hakim MK telah berbuat yang menyebabkan kemerosotan integritas dan kepribadian hakim. Presiden tidak menghormati proses hukum oleh KPK. Dan yang pasti asas praduga tidak bersalah telah diabaikan.

Perpu MK ini juga mencoba untuk memperbaiki rekrutmen hakim. Sejak ketentuan UUD 1945 Pasal 24C ayat (3), telah ditetapkan bahwa hakim MK berjumlah 9 orang yang masing-masing dicalonkan sebanyak 3 orang oleh Presiden, DPR, dan MA. Perekrutan hakim MK menjadi kewenangan konstitusi setiap lembaga itu dan tidak ada penjelasan lain, kecuali ketentuan UU No. 8 Tahun 2011 (perubahan pertama UU No. 24/2003) yang menentukan bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihkan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga negara. Sejak pertama kali MK bekerja pada 16 Agustus 2003, pengaturan pemilihan ini (jadi sudah 13 tahun) tidak pernah diterbitkan.

Lembaga DPR memang telah melakukan rekrutmen secara terbuka. Tetapi keterbukaan ini hanya menyangkut pemberian legitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi II DPR (2003, 2008,2009, 2013). Kemudian, MA juga tidak pernah transparan. Hakim konstitusi yang dicalonkan oleh MK lebih bersifat “penugasan” dibandingkan dengan pertimbangan kompetensi. Presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada tahun 2010 dan 2013. Dalam konteks DPR-Presiden, maka hasil akhir komposisi MK adalah “koalisi pendukung presiden” di tubuh MK. Perekrutan hakim MK mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai suasana politik di Komisi II.

Untuk itu, sisi positif Perpu MK ini adalah mensyaratkan agar calon hakim konstitusi harus sudah melepaskan jabatan dari partai politik dalam jangka waktu minimal 7 tahun.Dalam sistem hukum kita, baru UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang mensyaratkan agar calon anggota KPU harus tidak terafiliasi dengan partai minimal 5 tahun. Sedangkan untuk jabatan publik lain cukup dimaknai “tidak sedang menjadi pengurus partai.”

Tetapi persoalan ada tata cara rekrutmen ini menurut Perpu MK. Akan dibentuk Panel Ahli yang beranggotakan 7 orang (1 orang ditunjuk Presiden, 1 orang ditunjuk DPR, 1 orang ditunjuk MA, dan 4 lainnya diseleksi oleh Komisi Yudisial atau KY). Dengan Perpu ini, maka Presiden telah “mengubah” makna Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, yang mengisyaratkan “penjatahan” Presiden, DPR, dan MA untuk menunjuk calon hakim konstitusi.Sekalipun buruk, tetapi ini telah menjadi ketentuan konstitusi. Keberadaan Panel Ahli yang akan menyeleksi hakim yang diajukan oleh 3 lembaga pertama-tama telah mereduksi kewenangan konstitusional ketiga lembaga itu. Sebenarnya akan lebih tepat, dan ini menurut saya adalah dengan merevisi UU KY dan UU Mahkamah Konstitusi, bahwa rekrutmen hakim itu diserahkan kepada KY saja. Tidak usah berputar-putar dengan menyertakan unsur-unsur lain. Komposisi semacam itu hanya berpotensi “menganggu independensi hakim” dan itu pernah dibatalkan oleh MK dalam susunan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi versi UU No. 8/2011 (Putusan No. 49/PUU0IX/2011).

Mengapa diserahkan “utuh” kepada KY? Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung Mahkamah Agung. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi oleh KY. Cara ini menguatkan KY, menghindari penunjuukkan anggota partai oleh DPR, oleh Presiden atau oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK. Dalam Perpu MK, Pasal 18A ayat (6) MA, DPR, dan/atau Presiden masih diberi kesempatan memilih lagi calon hakim yang diloloskan oleh Panel Ahli. Ini kemunduran karena memberi ruang “politisasi” calon yang sudah diloloskan dengan pertimbangn politik.

Selanjutnya mengenai pengawasan hakim MK.Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusional sekalipun. Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK mengulangsikapnya dengan membatalkan keanggotaan KY dalam majelis kehormatan hakim MK berdasarkan UU No. 8/2011 (Putusan No. 49/PUU-IX/2011).

Dengan Perpu ini (pasal27A), dibentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 5 tahun dan bersifat tetap. Majelis ini berwenang untuk menegakkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi.Secretariat diserahkan kepada KY. Ini duplikasi dengan sikap MK yang terlebih dahulu sudah membentuk Majelis Etik Hakim Konstitusi dengan maksud yang sama. Bagaimana nanti menyerasikannya?

Dalam Perpu MK ini, ada kemajuan dan kemunduran substansi norma. Dan dasar pertimbangan yang keliru menyebabkan konstruksi norma-norma yang diatur di dalamnya menjadi kabur dan berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Dan sekali lagi, yang utama, adalah momentumnya sudah demikian terlambat untuk dipahami sebagai tindakan dalam “kegentingan yang memaksa.”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun