Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Silat Indonesia:Teknologi dan Emansipasi

25 Mei 2013   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:01 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu khasanah kebudayaan Indonesia, khususnya kesusasteraan adalah publikasi cerita silat (cersil) baik dalam bentuk buku, naskah, maupun cerita telivisi dan film. Cersil memiliki pembaca fanatik. Menurut perhitungan Kho Ping Hoo, yang mengetahui seberapa jauh kelarisan karyanya, cersilnya setiap edisi dibaca tidak kurang dari 1,6 juta orang. Dalam bentuknya yang lain, menurut laporan Survey Research Indonesia: Quality Starts Here (SRI, 1995) kisah Kembalinya Pendekar Rajawali karya Ching Yung yang pernah diputar oleh Indosiar pada tahun 1994 dan awal 1995, pernah merebut perhatian pemirsa sehingga menempatkan tayangan tersebut pada peringkat pertama selama beberapa bulan pada tahun-tahun tersebut.

Di Yogyakarta misalnya, radio, ataupun sebagian media massa menyediakan ruangnya untuk cersil. Sebutlah misalnya di radio-radio dengan kisah Bendhe Mataram, Sawur Wulung, Saur Sepuh, Tutur Tinular, untuk menyebutkan beberapa yang sangat menonjol dan digemari pada tahun- tahun 1970-an akhir dan 1980-an. Di media cetak (juga khususnya di Yogyakarta), media yang dari masa ke masa cukup konsisten mempublikasikan cersil adalah  koran Kedaulatan Rakyat, misalnya karya SH. Mintarja dengan serial yang terkenal Api di Bukit Menoreh (yang saat hingga 2004, dijadikan seri sinetron 11 Pendekar Api di Bukit Menoreh oleh Indosiar), dan Nogo Sostro Sabuk Inten, dll., atau karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo yang tidak perlu disebutkan satu per satu judulnya. Selain itu, koran Yogyakarta lainnya seperti Bernas pernah mempublikasikan Mendung di Atas Cakrawala karya SH. Mintarja.

Karena perkembangan teknologi, pada periode 1980-an hingga 1990-an cersil mengalami transformasi bentuk dan lebih banyak dikemas dalam bentuk audio visual seperti film, sinetron, dan video (kaset, CD, dan LD). Itulah sebabnya, televisi, terutama swasta, hampir semuanya menayangkan film silat. Di samping Kembalinya Pendekar Rajawali (Return of The Condor Heroes) yang sempat merebut perhatian pemirsa, To Liong To (Pedang Pembunuh Naga) yang ditayang stasiun Indosiar, tidak kalah menarik perhatian. Stasiun teve swasta lain seperti TPI, RCTI, SCTV ikut (pernah) menayangkan film silat (Cina) sebagai sebuah tayangan andalan. Contoh garapan cersil Indonesia adalah Si Buta Dari Gua Hantu karya Th. Ganes, Panji Tengkorak karya Hans Djaladara, atau Wiro Sableng karya Subastian Tito, dan masih banyak yang lain.

Ada sejumlah alasan bagi mereka yang agak kurang menyukai kisah-kisah persilatan yang nota bene hampir identik dengan dunia perkelahian. Hal itu disebabkan cerita-cerita silat kadang-kadang mudah ditebak, berkarakter stereotip, dengan garis dasar tematik kebenaran akan mengalahkan kejahatan, yakni ketika konflik yang dibangun pada umumnya diselesaikan lewat silat (perkelahian). Berbagai persoalan untuk sementara dianggap selesai ketika salah satu pihak dianggap kalah atau mati.

Terlepas dari penilaian tersebut, bagi peminat dan pengkaji fenomena cersil tentu memahami bahwa salah satu pesan yang dapat ditangkap dari uraian lakon itu adalah adanya proses pencanggihan teknis (teknologisasi) dan filosofi berkelahi dalam dunia persilatan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan pencanggihan teknis (teknologisasi) adalah suatu metode berkelahi yang dikembangkan berdasarkan prosedur-prosedur matematis, fisika, dan filsafat yang dengan suntuk dikembangkan terus menerus berdasarkan praktik- praktik eksperimentasi yang teruji. Berdasarkan metode-metode pengembangan tersebut, pada akhirnya, ditemukan jurus-jurus (prosedur- prosedur) berkelahi yang rumit, teliti, antisipatif, sehingga siap menerima segala perintah secara reflek jika seketika-seketika digunakan. Pengertian filosofis dimaksudkan bahwa tidak jarang teknologisasi silat tersebut "disimpan" dalam rumus-rumus kalimat filosofis yang membutuhkan pengetahuan tertentu untuk memahaminya.

Seorang calon pendekar dalam melatih dirinya berdasarkan metode- metode tersebut seperti memasuki satu "proses pematangan", akan menjadikan dirinya seorang pendekar. Prinsip-prinsip berlatih dengan motode yang benar (berdasarkan porsedur- porsedur yang memenuhi kriteria teknologi) seperti memformat (menginstal) diri seseorang ke dalam suatu program dengan spesialisasi jurus yang biasanya diandalkan. Dalam hal ini, seperti dikatakan oleh Friedrich Dessauer, proses berlatih itu adalah proses pendidikan yang memberikan tekanan pada "pengendalian diri" yang sungguh-sungguh. Pengendalian diri berarti latihan belajar menghayati aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Seseorang yang memprogram dirinya menjadi pendekar, maka teknologi silat "menjadi dirinya" (seperti diuraikan berikutnya) sehingga jurus silat itu tidak bisa hilang begitu saja. Hal ini ada kaitannya dengan teknologi silat yang menguasai jaringan sistem saraf sehingga seseorang yang tubuhnya sudah menjadi bagian dari teknologi silat, bisa tiba-tiba menjadi pendekar dengan ilmu silat tinggi, dan bisa pula dihilangkan seketika-seketika.

Thio Buki, dalam To Liong To, mempelajari ilmu silat "Sembilan Matahari" yang sangat tinggi tidak lebih dari enam jam. Ilmu itu dipelajari oleh orang lain paling tidak di atas 30 tahun lebih. Bu Song yang berkhianat kepada perguruan Bu Tong, dihukum oleh Thio Buki dengan menghilangkan (merusak jaringan saraf) sehingga kemampuan silat Bu Song seketika itu hilang. Ayah angkat Thio Buki, Singa Emas, menghancurkan semua kemampuan silat yang dimilikinya oleh dirinya sendiri sebagai tanda pertobatan karena merasa sangat menyesal mendapatkan ilmu dari seorang guru yang jahat dan berkhianat.

Dalam kaitan dengan uraian itu, ada satu hal yang perlu disinggung, yakni teknologi totok. Seorang pendekar dengan teknologi silat dan tenaga dalamnya, dapat membuat seseorang tidak bergerak sama sekali (seperti patung) jika di-totok. Teknologi totok ini seperti mengandaikan bahwa dalam tubuh manusia itu ada tombol-tombol yang berhubungan dengan satuan sistem syaraf (satuan sistem elektronik), yang jika di on atau di off-kan dapat membuat manusia bergerak atau tidak bergerak, berbicara atau tidak bisa berbicara, tertawa, menangis, tidur, dan sebagainya. Jika teknologi totok dipakai untuk pengobatan bisa membuat aliran darah berhenti pada sebuah luka yang menganga, menghilangkan rasa sakit, atau bahkan membuat seorang wanita bisa memilih untuk tidak hamil.

Ada kemungkinan semakin akhir program (jurus) tersebut ditemukan maka semakin canggih pulalah teknologi dan, sekaligus filosofi, berkelahinya. Thio Sam Hong dalam To Liong To menemukan jurus Thai Chi ketika ia telah berumur seratus tahun. Akan tetapi, ukuran ketinggian teknis Thai Chi tersebut.

Tradisi teknologi persilatan tidak sepenuhnya bersifat akumulatif. Sin Liong, pendekar utama dalam Bukek Siansu (Serial Bukek Siansu) karya Kho Ping Hoo, keahlian teknologis dan filosofis bersilatnya nyaris tanpa preseden. Ia menemukan berbagai temuan teknologis bersilatnya lebih karena talenta, kebersihan hati, dan kecerdasan individual, dan tentu saja nasib baik. Dalam perjalanan hidupnya, Sin Liong yang bergelar Bu Kek Siansu tersebut tidak pernah berniat secara langsung mentransfer teknologi berkelahinya kepada seorang murid. Memang, Bu Kek Siansu memiliki murid tidak langsung yakni Kam Ham Ki. Akan tetapi, tentu saja ketinggian teknologi bersilat Kam Ham Ki tidak seutuh seperti yang dimiliki Sin Liong. Begitu seterusnya, Kam Ham Ki tidak sepenuhnya sempat menurunkan ilmunya kepada murid utama wanitanya Siaw Bwe. Akan tetapi, Siaw Bwe memiliki murid yang tidak kalah tinggi ilmu dan teknologi silatnya dibanding dengan dirinya, yaitu Suma Han (Han Han). Pendekar-pendekar dalam karya Gu Long (Ku Lung) biasanya juga tanpa guru. Paling tidak, pada sebagian besar karya Gu Long, proses bagaimana seorang pendekar menjadi pendekar dan menemukan kepiawaian bersilat tidak begitu diceritakan asal usulnya.

Pesan lain dari uraian cersil adalah adanya nilai emansipatif yang ekstrim, yakni ketika eksistensi kelaki-lakian dan kewanitaan dianggap tidak ada. Itu terlihat dari siapa pun ia, asal ia bagian dari dunia kang ouw, maka tidak perlu sungkan-sungkan untuk berkelahi. Seorang pendekar laki-laki tidak pernah malu jika harus berkelahi dengan pendekar wanita. Guru Wiro Sableng, Eyang Sinto Gendheng, adalah seorang pendekar wanita yang pernah menggegerkan dunia persilatan pada masa jayanya. Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan Siaw Bwe, guru Suma Han, semasa hidupnya. Serial Jaka Malela karya Jan Mintaraga dalam beberapa serinya menampilkan pendekar-pendekar wanita sebagai tokoh utamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun