Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak dari Perkawinan Siri, Bagaimanakah Perlindungan Haknya?

12 April 2013   17:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 8071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kepentingan administrasi, Undang-Undang Perkawinan membagi penduduk Indonesia menjadi penduduk yang beragama Islamdan penduduk beragama selain Islam. Semua warga negara yang beragama Islam baik dari suku mana saja yang melakukan perkawinan secara Islam maka perkawinannya dicatat di Kantor Urusan Agama, sedangkan penduduk yang beragama selain Islam, melakukanperkawinan menurut agamanya, maka perkawinannya dicatat di Kantor Catatan Sipil. Lembaga Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh Pemerintah yang bertugas untuk mencatat atau mendaftarkan setiap peristiwa penting yang dialami warga masyarakat seperti perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian dan pengakuan, yang dipergunakan sebagai pembuktian tentang adanya atau telah terjadinya peristiwa-peristiwa  tersebut.

Begitu pula dengan adanya kehadiran seorang anak yang lahir dari perkawinan sah (‘perkawinan yang dicatatkan’) kedua orang tuanya telah membuktikan anak tersebut adalah anak kandung yang sah dari ayah dan ibunya. Akibat hukumnya apabila  .perkawinan tidak dicatatkan (secara umum sering dikenal sebagai “perkawinan siri”), status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut akan menjadi tidak pasti, karena perkawinan kedua orang tuanya hanya sah secara agama.

Dengan perkataan lain, walaupun anak tersebut adalah anak sah, tetapi tidak mempunyai bukti otentik yang dapat menguatkan bahwa anak tersebut adalah sah dari kedua orang tuanya. Hal ini menimbulkan dampak yang tidak baik pada kehidupan anak tersebut dikemudian hari, hak-hak anak tersebut dapat terlanggar seperti anak tersebut tidak mempunyai hak untuk mewaris dari ayahnya secara hukum negara, meski secara agama anak tersebut mempunyai hak atas hal tersebut. Sehingga perlu upaya hukum agar anak tersebut memperoleh status sebagai anak sah dari kedua orang tuanya.

Undang-undang Perkawinan, mengenal dua macam status anak yaitu anak sah dan anak luar kawin, sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Undang-undang ini tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu untuk dapat menentukan keabsahan seorang anak. Sementara kedudukan anak luar kawin terdapat dalam Pasal 43 Undang-undang Perkawinan, menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Perbedaan pokok seperti tersebut di atas membawa konsekuensi lebih lanjut dalam hukum. Kedudukan anak luar kawin didalam hukum ternyata adalah inferieur (lebih jelek atau rendah) dibanding dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang tua, sedangkan anak luar kawin berada di bawah perwalian. Hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya lebih besar dari pada anak luar kawin dan hak anak luar kawin untuk menikmati warisan melalui surat wasiat dibatasi.

Kedudukan anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya sementara dengan ayahnya tidak memiliki hubungan hukum kecuali adanya pengakuan ayahnya terhadap anak tersebut yang harus dilakukan dengan akta otentik.

Di samping itu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan kesulitan mendapatkan akta kelahiran, Dengan tidak adanya akta kelahiran terhadap anak, maka negara mempunyai hambatan dalam melindungi anak, karena secara hukum tidak ada catatan tentang status kelahiran anak beserta data-data kedua orang tua yang menyebabkan kelahiran anak tersebut. Maka jika terjadi perceraian, suami tidak lagi memberikan nafkah baik lahir maupun bathin, istri akan mengalami kesulitan untuk menggugat suaminya.

Hal ini disebabkan tidak adanya bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan. Demikian juga mengenai anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan sangat sulit mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya. Pencatatan terhadap kelahiran seorang anak sangat penting ini dikuatkan oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 5 dikatakan bahwa sebagai identitas diri dan status kewarga negaraan dari seorang anak, maka setiap anak berhak atas suatu nama dan identitas diri itu harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran itu sendiri merupakan tanggung jawab pemerintah Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, karena didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.

Orang tua juga merupakan yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik rohani, jasmani maupun sosial. Dengan latar belakang pemikiran tersebut didalam hukum, bahkan adakalanya seorang anak sebelum ia dilahirkan telah diberikan hak dan kewajiban. Ketentuan hak-hak itu diatur secara tersebar dalam bentuk Perundang-undangan, maupun diakui oleh sejumlah putusan pengadilan, seperti dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang dilahirkan hidup sehingga anak tersebut mempunyai hak yang paling mendasar. Tidak seorangpun dapat merampas hak anak itu.

Dengan diaturnya hak anak dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mempunyai prinsip non diskriminasi seharusnya tidak dibedakan antara anak yang dilahirkan dari orang tua yang perkawinannya dicatatkan atau tidak dicatatkan karena dengan pembedaan tersebut hak-hak anak tidak diperoleh, terutama hak untuk mendapatkan identitas sebagai anak sah dari perkawinan orang tuanya.

Di dalam praktik, anak yang lahir dari kawin siri, secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan siri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu(menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi  Kependudukan.

Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melaluiputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinanmenyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu. Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 lahir karena adanya permohonan yudisial review yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana Moerdiono sebagai  seorang suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, dan dari pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono.

Atas permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974 Mahkamah Konstitusi menyimpulkan (1) pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan (2) pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban kewajiban administrasi tersebut dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu ; pertama dari prespektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai prinsif negara hukum sebagaimana yang dimuat pada Pasal 281 ayat 4 dan ayat (5) UUD 1945. Sekiranya pencatatan tersebut dianggap pembatasan, maka pembatasan yang demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Kedua pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi.

Akan tetapi terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut, Mahkamah Konstitusi menilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu diktumnya me-review ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara umum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (‘perkawinan siri’) mempunyai hubungan keperdataan baik dengan ibu maupun dengan ayahnya. Konsekuensinya, sepanjang hukum agama masing-masing pihak (suami atau isteri) mengakui hak-hak anak termasuk dalam masalah waris, maka anak tersebut mempunyai hak terhadap masalah itu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun