Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Reality Show Menular ke Rumah dan Kantor

3 Juli 2015   15:13 Diperbarui: 3 Juli 2015   15:13 1492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Anda sering menonton reality show di stasiun televisi kita? Ada yang bilang acara tersebut "lebay". Tapi faktanya ratingnya rata-rata tinggi. Artinya secara umum disukai penonton. Saya sendiri tidak begitu suka pada acara lomba pencarian bakat, yang pembawa acaranya mengeksploitir latar belakang seorang peserta yang datang dari kampung, dari orang tua yang bercerai, atau dari orang tua yang pekerjaannya kurang dianggap secara sosial, atau hal-hal lain yang diharapkan mengaduk-aduk emosi pemirsa. Akhirnya si peserta bisa menang bukan karena bakatnya tapi karena memancing rasa iba pemirsa atau juri melalui cerita sedih. Namun harus saya akui, saya sering tidak kuat menahan air mata kalau acara tersebut dikemas secara bagus seperti (mohon maaf meneyebut nama) Kick Andy di Metro TV.

Nah, barangkali karena acara-acara tersebut sukses, maka di kehidupan kita sehari-hari virus reality show tersebut semakin menyebar. Atau bisa juga sebetulnya di masyarakat kita "menjual cerita sedih" tersebut sudah biasa, cuma kemudian diangkat di tv. Ini ibarat soal telur dan ayam, gak tau yang duluan mana. Kalau saya lagi di rumah di hari libur, saya relatif sering kedatangan tamu, beberapa diantaranya mantan tetangga di tempat tinggal saya yang lama. Ada juga yang mantan teman se-kampung halaman, se-kampus waktu kuliah, dan sebagainya. Tamu tersebut banyak mengumbar cerita kesedihan atau kemalangan nasibnya. Ada yang habis kecelakaan, ada yang anggota keluarganya sakit berat, ada yang dipecat dari kantor tempatnya bekerja, dan sebagainya. Kalau baru pertama kali bertemu, saya akan mendengar cerita tamu tersebut dengan sepenuh hati, hitung-hitung jadi pendengar yang baik bisa menurunkan beban perasaan si tamu. Tentu tidak lupa saya memberikan bantuan finansial semampunya begitu si tamu pamit meninggalkan rumah. Tapi kalau tamu yang sama frekuensi kedatangannya semakin sering dengan cerita sedih yang baru atau lanjutan kisah yang lama, jujur, saya mulai kurang sabar sebagai pendengar yang baik. Mungkin saya salah, tapi ada yang karena sering datang, saya "terpaksa" mengatakan mau pergi ke suatu acara, sehingga tidak bisa mempersilakan si tamu duduk di rumah saya, sambil menyelipkan uang di tangannya.

Reality show sejenis yang dilakoni tamu-tamu di atas juga datang melalui dunia maya. Saya sering juga mendapat cerita sedih dari teman atau kerabat, baik melaui telepon, sms, bbm, wa, dan sebagainya. Reaksi saya sama dengan tamu langsung face to face. Kalau pertama kali berinteraksi saya sering tersentuh, tapi kalau orang yang sama semakin sering mengirim berita sedih, sensitivitas saya semakin berkurang. Tapi tentu saya akan usahakan memberi bantuan semampunya setelah saya yakini bukan penipuan bermodus "mama minta pulsa".

Di kantor pun gejala di atas juga terjadi. Nah kalau yang ini, yang suka datang bertamu bisa pensiunan, yang dulunya bekerja di kantor yang didatanginya. Bisa juga pekerja yang terkena PHK, atau pekerja yang mengambil pensiun dini, istri atau anak dari mantan pejabat atau karyawan di kantor tersebut, anak dari orang tua yang sudah meninggal yang dulunya karyawan kantor tersebut, dan lain-lain yang bisa dihubung-hubungkan dengan kantor tersebut. Saya sendiri sangat menghargai kalau yang datang itu tidak berbekal tangan kosong, tapi berbekal ketrampilan tertentu. Ada istri dari teman sekantor saya yang telah dipanggil Yang Maha Kuasa, yang pintar membuat kue. Untuk momen lebaran seperti ini, kuenya diborong oleh teman-teman kantor, karena memang enak, di samping ingin membantu. Ada juga pensiunan yang jual buku-buku agama, menjual minyak gosok, batu akik, dan sebagainya. Namun, ada juga mantan karyawan yang di-PHK yang sekadar menjual "cerita sedih". Saking hafalnya teman-teman saya dengan pola ceritanya, begitu si mantan nongol lagi, ada yang nakal bertanya; "sekarang siapa lagi yang masuk rumah sakit, siapa lagi yang kecelakaan?". Anehnya, si mantan sudah kebal dan tidak patah semangat mendapat "serangan" dari teman-teman saya. Tapi kalau saya sendiri, karena juga kesal dan mulai mengendus rekayasa ceritanya, cuma sekadar menghindar saja, dengan pura-pura sibuk bekerja.

Bagaimanapun juga reality show, di televisi atau di keseharian kita, memang menarik. Masyarakat kita memang gampang terharu. Sebaiknya kita berprasangka baik saja. Sepanjang tidak kebangetan "rekayasa"-nya, kalau mampu kita bantu seikhlasnya. Kalaupun oleh si penerima bantuan disalahgunakan, mudah-mudahan niat dan amal baik kita tetap bernilai pahala. Sebaliknya kalau kita yakin ceritanya palsu, secara halus menghindar saja tanpa perlu terkesan memperlihatkan ketidaksukaan kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun