Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

PR Besar Pariwisata Domestik

29 Agustus 2015   23:10 Diperbarui: 29 Agustus 2015   23:10 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu hikmah melemahnya nilai rupiah terhadap sejumlah mata uang asing, adalah munculnya rasa optimis penyedia jasa wisata domestik, akan semakin banyaknya kunjungan masyarakat kelas menengah yang selama ini sering ke luar negeri. Kalau warga kelas atas, berapa pun mahalnya dollar tentu tidak begitu berpengaruh. Tapi yang masih kelas menengah tentu berpikir dua kali dan mudah-mudahan membatalkan niatnya untuk melancong, baik sekadar ke Singapura atau yang jauh seperti Eropa dan Amerika.

Kebetulan hari ini lagi ada pameran wisata dari grup Kompas. Banyak sekali keindahan tanah air kita yang di ekspose. Secara tersirat, Kompas berkampanye untuk menggalakkan pariwisata domestik. Namun keberhasilannya untuk menarik minat masyarakat masih menyisakan beberapa catatan.

Pertama, tidak dapat dipungkiri, beberapa tempat wisata domestik telah diakui secara internasional, tapi berkategori wisata dengan minat khusus. Tidak gampang merayu orang yang belum pernah menyelam untuk bisa menikmati eksotiknya Pulau Derawan, Pulau Banda, Wakatobi atau Raja Ampat. Apalagi untuk berselancar di Mentawai, Nias atau Dompu di Pulau Sumbawa, perlu nyali yang lebih kuat lagi.

Kedua, banyak memang tempat yang tidak perlu uji nyali, tapi tetap perlu uji fisik yang tidak nyaman bagi anak-anak dan orang lanjut usia. Naik turun tangga di Gunung Bromo, turun ke dasar Ngarai Sianok di Bukittinggi, air terjun Sipiso-piso dekat Danau Toba, atau  melewati 1.250 anak tangga di Tawangmangu, dekat Solo. Padahal kalau menikmati alam bebas di luar negeri, wisatawan tinggal duduk manis di kereta gantung atau  kendaraan yang panjang dengan banyak gerbong, seperti  di Blue Mountain, Australia, atau yang relatif dekat, Genting Highland, Malaysia.

Ketiga, terkait infrastruktur. Perjalalanan jauh ke objek wisata dengan kualitas jalan yang kurang baik, bikin remaja kota bermental "anak mama" udah keder duluan. Kalaupun dipaksakan, harus siap kantong plastik penampung muntah. Mau menikmati kebuh teh Kayu Aro dan Danau Kerinci butuh 7 sampai 8 jam dari Padang. Demikian juga Pagaralam dari Palembang, atau Danau Laut Tawar di Takengon dari Banda Aceh. Menikmati Danau Kelimutu yang punya tiga warna, harus menempuh jalanan sempit dan berliku dari Meumere atau Ende. Belum lagi ke tempat yang hanya terjangkau dengan perahu atau kapal kecil yang tidak kuat melawan ombak besar, seperti di banyak tempat di Indonesia Timur. Tol laut masih di level wacana. Berita kecelakaan perahu tenggelam atau pesawat kecil menabrak gunung, bikin nyali ciut. Padahal objek wisata di Wamena sangat unik.

Keempat, terkait budaya. Harus diakui, masyarakat kita secara umum belum mempunyai budaya yang kondusif bagi pengembangan pariwisata. Bahkan pemerintah pun dalam beberapa kasus seperti menyia-nyiakan bangunan bersejarah. Kenakalan masyarakat seperti aksi vandalisme, membuang sampah seenaknya termasuk di tempat wisata, sering terlihat. Toilet susah dicari dan kalau pun ketemu toiletnya bau. Aksi palak tukang parkir atau preman yang minta retribusi gak resmi, masih saja terjadi. Pedagang asongan menjual barang setengah memaksa dengan harga tidak rasional. Ditambah lagi jalur keluar objek wisata yang sengaja dibuat berliku-liku agar melewati semua kios pedagang.

Pola wisata mayoritas kita masih cenderung konvensional, karena lebih cocok dengan seluruh anggota keluarga dari balita sampai lansia. Makanya yang populer cuma Bali dan Lombok. Mungkin juga Belitung dan Batam. Karena pulaunya relatif kecil, dan jarak antar objek wisata relatif dekat.Kalau yang di Pulau Jawa, objek yang dikelola secara profesional tetap jadi pilihan, seperti Dunia Fantasi Ancol, Taman Safari, Trans Studio Bandung, dan Jatim Park. Wisata belanja dan kuliner di berbagai mal atau di lokasi tertentu seperti Cihampelas di Bandung dan Malioboro di Yogyakarta, juga selalu padat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa masih banyak PR besar dalam mengembangkan pariwisata domestik. Itu semua tidak gampang. Tapi bila semua pihak serius menuntaskannya, bolehlah kita menaruh harapan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun