Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Calon Sampah Masyarakat, Hinaan yang Keterlaluan

17 Juni 2019   16:37 Diperbarui: 25 Juni 2019   06:17 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. kabarin.weebly.com

Di laman media sosial Kemdikbud ada orangtua yang mengatakan tidak rela anak-anaknya satu sekolah dengan anak-anak calon sampah masyarakat (Kompas, 15/6/2015). Pertanyaannya, apa memang ada sekolah calon sampah masyarakat?

Baik, sebelumnya perlu dijelaskan dulu konteks pernyataaan orangtua di atas. Hal itu bermula dari kebijakan Kemdikbud yang tidak lagi menerapkan sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) seperti tahun-tahun sebelumnya yang membuat para orangtua berburu agar anaknya dapat bersekolah di sekolah favorit.

Adapun sistem PPDB yang berlaku sekarang adalah sistem zonasi, artinya pilihan seseorang untuk bersekolah dibatasi hanya untuk sekolah-sekolah yang berada dalam zona domisilinya. Hal ini dimaksudkan untuk pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan, tidak ada lagi paradigma sekolah unggulan dan sekolah pinggiran.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Mendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang PPDB yang menyatakan kuota zonasi per sekolah minimal 90 persen, 5 persen jalur prestasi dan 5 persen untuk calon siswa dari luar zona.

Menurut Mendikbud Muhadjir Effendy, apabila masyarakat dibiasakan dengan paradigma unggulan dan pinggiran, diskriminasi akan terus terjadi dengan sekolah sebagai sumbernya.

Memang selama ini sekolah unggulan akan semakin jauh meninggalkan sekolah lainnya, misalnya dilihat dari indikator jumlah siswa suatu SMA yang diterima di Perguruan Tingggi Negeri (PTN). Kehebatan sekolah tersebut bukan karena kehebatan guru-gurunya, tapi memang siswa yang masuk ke sekolah itu telah terseleksi hanya yang bernilai tinggi, sedangkan sekolah lain kebagian yang nilainya lebih rendah.

Bayangkan, di Jakarta Selatan misalnya, sudah belasan tahun SMA 8 dinilai yang paling unggul, sehingga selalu menjadi pilihan pertama lulusan SMP yang bernilai tinggi.  Yang bersekolah di sana tidak hanya siswa yang berdomisili di sekitar sekolah itu, tapi dari semua wilayah Jakarta, bahkan dari luar Jakarta.

Tapi apakah wajar sekolah negeri yang katakanlah menerima calon siswa yang "terbuang" dalam arti nilainya tidak tembus ke sekolah unggulan, menjadi sekolah calon sampah masyarakat? Tentu tidak, mengingat pada umumnya sekolah negeri sudah punya standar mutu minimal. Jangan terlalu menghina sekolah bukan unggulan.

Kebijakan baru Kemdikbud di atas akan lebih "nendang" bila diikuti dengan memutasikan guru-guru dari SMA yang selama ini berlabel unggulan ke pinggiran. Ini akan menjadi bukti bahwa pemerintah tidak membeda-bedakan sekolah. 

Hanya saja agar tidak terkesan sebagai hukuman, guru unggulan dipindahkan ke pinggiran dengan sekaligus kenaikan pangkat, tentu bagi yang telah memenuhi syarat. Sebaliknya guru pinggiran dipindahkan ke unggulan tanpa perlu menaikkan pangkat. 

Namun yang paling penting adalah bagaimana menanamkan pemahaman bagi para orang tua bahwa kesuksesan seorang anak dalam meniti karir di masa depan tidak semata dari sekolah atau perguruan tinggi mana ia berasal, namun lebih dominan dari kompetensi pribadi masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun