Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kota Pekanbaru Pantas untuk Jadi Calon Pengganti Jakarta

18 September 2017   09:54 Diperbarui: 18 September 2017   13:41 12006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anjungan Seni Idrus Tintin (dok pri)

Wacana pemindahan ibu kota negara karena Jakarta sudah terlalu sumpek dan overload, sebetulnya adalah lagu lama, yang terkadang bergema cukup kencang, tapi juga cepat menghilang. Begitulah, beberapa bulan terakhir ini wacana tersebut mencuat lagi. Sepertinya kota yang dipilih menjadi tempat Presiden dan pejabat pusat berkantor  di masa depan, mengarah ke kota Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, sebagaimana yang dulu pernah direncanakan Presiden Soekarno.

Entah kapan rencana itu terwujud masih tanda tanya besar, mengingat dibutuhkan pengkajian yang matang dan tentu saja butuh dana yang sangat besar. Pilihan pada Palangkaraya lebih pada kondisi alamnya yang datar, ketersediaan lahan yang luas, bukan daerah rawan gempa bumi, dan secara geografis terletak di titik tengah NKRI.

Tapi diam-diam kota lain di Kalimantan juga berharap menjadi ibu kota RI. Kota tersebut adalah Balikpapan yang saat ini relatif lebih maju dan lebih berkembang ketimbang Palangkaraya. Bahkan dengan mengabaikan letak geografis yang tidak harus di posisi bagian tengah, ada kota lain di luar Kalimantan, yang pantas masuk bursa pencalonan ibu kota RI.

Ya, ibu kota negara tidak harus di tengah secara geografis. Kita lihat saja di Amerika Serikat, kota terbesarnya adalah New York, tapi ibukotanya adalah Washington. Baik New York maupun Washington, sama-sama terletak di bagian timur Amerika. Juga di Australia, kota terbesarnya Sydney, dan ibukotanya Canberra juga terletak di bagian timur, sangat jauh dari Australia Barat.

Gedung DPRD Riau dengan corak Melayu (dok pri)
Gedung DPRD Riau dengan corak Melayu (dok pri)
Nah, kalau begitu, Makassar, Palembang, dan Pekanbaru juga bernafsu untuk mengejar posisi serupa. Ketiga kota ini memang mengalami kemajuan yang amat pesat dalam 10 tahun terakhir ini. Artikel ini secara khusus bermaksud untuk memberikan gambaran sekilas pintas tentang kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, yang terletak di bagian tengah Pulau Sumatera. Namun kalau dilihat dari peta Indonesia, Pekanbaru, sebagaimana Pulau Sumatera terletak di bagian barat.

Pekanbaru tidak akan ditemukan pada peta di era kolonial. Kota yang sekarang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa serta berpenampilan sebagaimana layaknya kota metropolitan ini, baru muncul sejak maraknya pertambangan minyak di tahun 1960-an. Kebetulan kawasan Riau dianugerahi Tuhan dengan kekayaan alam yang banyak mengandung minyak. Meski minyak mulai redup sejak era tahun 2000-an, Pekanbaru tetap gemerlap berkat kelapa sawit yang menjadi lokomotif baru perekonomian Riau.

Tidak usah diperdebatkan potensi ekonomi Pekanbaru pada khususnya, atau Riau pada umumnya. Buktinya banyak korporasi atau BUMN besar yang sampai era 90-an menjadikan Padang (ibu kota Sumatera Barat) sebagai lokasi kantor wilayah yang membawahi operasi di wilayah Sumatera bagian tengah (mencakup 4 provinsi, yakni Sumbar, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi), sekarang memindahkannya ke Pekanbaru. Jangan heran kalau dilihat dari jumlah gedung jangkung baik berupa perkantoran, mal, hotel, dealer mobil, dan ciri-ciri kota metropolis lainnya, Pekanbaru adalah yang terunggul di Sumatera bagian tengah.

Gedung Perpustakaan (kiri) dan Kantor Gubernur Riau (kanan). Dok. Pribadi
Gedung Perpustakaan (kiri) dan Kantor Gubernur Riau (kanan). Dok. Pribadi
Secara kapasitas, Pekanbaru masih punya space yang memadai untuk perluasan. Lagi pula kota ini kontur tanahnya datar dan relatif gampang untuk ditata. Pekanbaru bukan termasuk daerah yang rawan bencana gempa bumi. Juga bukan rawan bencana tsunami, karena kotanya jauh dari pantai. Namun Pekanbaru dibelah oleh Sungai Siak yang lumayan lebar, sehingga kapal pun bisa berlabuh. Memang adakalanya Pekanbaru terkena bencana banjir dan bencana asap kebakaran hutan. Tapi hal ini masih bisa dikendalikan dengan berbagai langkah perbaikan. Jelas bahwa apabila nantinya ibu kota negara jadi dipindahkan, Pekanbaru termasuk salah satu kota yang paling siap. 

Ada kelebihan lain yang lebih spesifik, yakni dilihat dalam konteks budaya. Meskipun saat ini ada banyak suku yang berdomisili, terutama Minang, Jawa, Batak, Sunda,Tionghoa, dan tentu saja warga asli Melayu, Pekanbaru adalah ibu kota provinsi yang paling kuat memancarkan nuansa Melayu. Memang ada kota lain seperti Pontianak, Medan, Jambi, dan Palembang yang juga kental ke-melayu-annya, tapi "kiblat" budaya Melayu di negara kita adalah di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Namun, kiblat Melayu di antara negara ASEAN, sering diklaim oleh negara serumpun Malaysia.

Jadi, saingan Pekanbaru adalah "saudara muda"-nya sendiri, yakni Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepualauan Riau. Hanya saja dalam konteks pencalonan ibu kota RI di masa datang, Tanjung Pinang sulit masuk nominasi karena terletak di pulau yang relatif kecil, Pulau Bintan. Kota lain di Kepulauan Riau, agaknya lebih layak, yakni Batam. Namun Batam yang hanya "selemparan batu" dari Singapura, juga kurang pas masuk nominasi ibu kota RI.

Pada zaman kolonial, sebetulnya suku Melayu mendapat posisi yang istimewa karena bahasanya dijadikan sebagai lingua franca atau bahasa yang dipakai dalam perdagangan antar suku seperti di pelabuhan, di pasar, dan sebagainya. Bahkan akhirnya semakin berkembang dengan terbitnya koran berbahasa Melayu dan novel-novel terbitan Balai Pustaka yang juga berbahasa Melayu. Akhirnya sudah menjadi kehendak sejarah bila saat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, diikrarkanlah  pemakaian Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa yang berakar dari bahasa Melayu.

Pencakar langit di pekanbaru (dokpri)
Pencakar langit di pekanbaru (dokpri)
Namun sejak kita merdeka, terlebih sejak Orde Baru, secara perlahan posisi strategis budaya Melayu mulai terkikis. Sesuai dengan komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas adalah suku Jawa, maka budaya dominan di Indonesia adalah budaya Jawa. Di Jakarta, meskipun sebetulnya adalah daerahnya orang Betawi, penduduk asal Jawa atau berdarah Jawa berjumlah paling banyak. Sehingga kalau di kantor, di pasar, atau di terminal terdengar orang bercakap-cakap dalam bahasa Jawa, itu hal biasa. 

Bahkan kalau kita amati, dalam perkembangannya, bahasa Indonesia semakin banyak dipengaruhi bahasa Jawa, sehingga makin banyak pula perbedaannya dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Tapi pengaruh bahasa Jawa tersebut berlaku pada langgam bahasa formal. 

Adapun bagi kalangan remaja dan anak muda Jakarta, langgam bahasa gaul "lu-gue" lebih banyak terdengar, dan mejadi trend bagi seluruh remaja di tanah air, walaupun diucapkan dengan logat medok sesuai daerah masing-masing. Gaya anak Jakarta sangat gampang menular ke berbagai pelosok berkat penetrasi acara televisi, dan terlebih lagi sejak dunia maya merambah tanpa kendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun