Mohon tunggu...
Irfan Syauqi Beik
Irfan Syauqi Beik Mohon Tunggu... -

Islamic Economist (FEM IPB)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Prinsip Investasi Syariah

25 November 2013   03:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:43 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsip Investasi Syariah***

Irfan Syauqi Beik**

Maraknya pemberitaan tentang pola patungan usaha Ustadz Yusuf Mansur beberapa waktu lalu, memberikan sejumlah pelajaran penting terkait dengan investasi syariah : bahwa niat dan semangat yang baik harus diikuti oleh cara yang baik pula. Kita pun perlu mengapresiasi pernyataan dan sikap Ustadz Yusuf Mansur, yang kemudian melakukan langkah korektif terhadap pola investasi yang dilakukannya, terutama dari perspektif hukum, setelah mendapat masukan dari berbagai pihak.

Dari pengalaman yang ada selama ini, termasuk pelajaran dari sejumlah kasus investasi bodong ‘berbaju syariah’, maka paling tidak, ada empat prinsip berinvestasi secara syariah yang harus kita perhatikan dan kita pegang teguh. Keempatnya adalah aman syar’i, aman regulasi, rasional, dan maslahat. Kesemua prinsip tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Pertama, aman syar’i. Prinsip ini merupakan sesuatu yang sangat fundamental : bahwa investasi yang kita lakukan harus selaras dan sejalan dengan tuntunan syariah. Agar aman secara syar’i, maka aspek yang perlu diperhatikan adalah kejelasan akad dan kontrak, kehalalan produk, serta kesesuaian skema investasi secara keseluruhan dengan syariat Islam. Ketika ada ketidaksesuaian dengan salah satu dari ketiga aspek tersebut, maka dipastikan skema investasi tersebut tidak sesuai dengan syariah.

Sebagai contoh, jika yang digunakan adalah akad musyarakah, maka menetapkan profityang bersifat tetap, misal 15 persen per tahun, merupakan hal yang tidak dibenarkan. Hal ini dikarenakan ‘nature’ akad musyarakah yang mensyaratkan adanya bagi hasil dan bagi rugi secara adil, yang direfleksikan melalui penetapan rasio bagi hasil dan bagi rugi, dan bukan penetapan prosentase keuntungan yang bersifat pasti.

Kedua, aman regulasi. Ini adalah hal yang sangat penting karena persoalan muamalah adalah persoalan yang didasarkan pada hukum tertulis yang berlaku pada suatu masyarakat dan bangsa. Hubungan muamalah, seperti hubungan bisnis dan kerjasama dagang, memiliki karakter yang bersifat qadhaiyyah. Artinya, pelaksanaannya memerlukan aturan hukum yang disepakati, sehingga praktiknya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku tersebut, karena jika tidak, investasi yang dilakukan berpotensi untuk menimbulkan konflik di antara sesama, sehingga bisa memberikan dampak kerugian kepada pihak-pihak yang terlibat.

Meski demikian, yang perlu menjadi catatan adalah, apakah hukum tertulis yang berlaku ini telah sesuai dengan syariat Islam dan telah memenuhi unsur keadilan masyarakat, atau justru malah sebaliknya. Untuk itulah sikap kritis terhadap aturan yang berlaku, menjadi sangat penting. Tujuannya agar keberadaan perangkat regulasi yang ada, seperti UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan UU lainnya, tidak menjadi alat eksploitasi kelompok pemilik modal kepada kelompok lainnya dalam masyarakat.

Selanjutnya, prinsip yang ketiga adalah rasional. Islam sangat menekankan pentingnya memiliki sikap rasional dalam menjalankan bisnis. Jangan mudah tergoda dengan iming-iming return yang tinggi, yang terkadang tidak masuk akal. Kasus-kasus seperti investasi bodong yang pernah terjadi, antara lain dipicu oleh ketidakrasionalan calon investor dalam menilai wajar tidaknya suatu skema investasi. Banyak yang kemudian tertarik hanya karena melihat peluang keuntungan yang besar tanpa memperhatikan rasionalitas bisnis yang dijalankan.

Rasulullah SAW, sebagai teladan kita, telah memberikan contoh bagaimana beliau menjalankan bisnisnya secara cermat dan rasional. Ketika beliau melihat ada peluang meningkatkan penjualan dengan sistim lelang, maka beliau pun melakukannya. Sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik ra dalam HR Tirmidzi, Rasul SAW pernah menawarkan kain pelana dan bejana air melalui mekanisme lelang. Ketika ada yang menghargai satu dirham, beliau tidak langsung melepas barang tersebut. Yang beliau lakukan adalah menawarkan pada pihak lain yang sanggup membeli dengan harga lebih tinggi. Maka ketika ada orang lain menawar dengan harga dua dirham, Rasul pun segera melepasnya. Beliau tidak mencari pembeli yang akan menawar lebih tinggi lagi, karena beliau memahami kondisi riil pasar saat itu, dimana menjadi tidak rasional ketika memaksakan target penjualan pada angka yang lebih besar dari dua dirham. Suatu keputusan yang cermat yang berangkat dari analisis yang rasional.

Contoh lain kecermatan strategi bisnis Rasulullah SAW adalah ketika beliau merencanakan untuk masuk ke industri pakaian saat menjadi partner bisnis Siti Khadijah ra. Di banyak riwayat dikatakan bagaimana beliau melakukan perjalanan ke Yaman, yang dikenal memiliki pelabuhan terbuka yang menghubungkannya dengan India dan China, untuk mencari pakaian berkualitas dengan harga murah (Antonio, 2007). Rasionalitas yang ditunjukkan oleh beliau terletak pada upaya untuk mendekatkan perusahaan yang beliau kelola pada pasar input. Sehingga, hal tersebut akan menciptakan cost minimization, yang berujung pada peningkatan laba. Tidaklah mengherankan jika di waktu mudanya Rasulullah SAW dikenal sebagai pebisnis yang ulung dan tangguh.

Kemudian yang keempat adalah prinsip maslahat. Prinsip ini didasarkan pada dua aspek yang utama, yaitu manfaat dan berkah. Manfaat ini diterjemahkan secara luas, bisa manfaat yang bersifat finansial maupun manfaat yang bersifat sosial. Bisa manfaat material maupun manfaat secara moral. Bahkan bukan hanya manfaat di dunia, namun juga manfaat di akhirat kelak.

Adapun aspek keberkahan akan memberikan ketenteraman lahir dan batin kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu skema investasi. Akan muncul perasaan ithmi’nan atau ketenangan, yang akan semakin mendekatkan diri kita dengan Allah SWT. Jika ternyata keterlibatan kita dalam suatu skema investasi, justru menjauhkan diri kita dari mengingat Allah, maka dipastikan skema tersebut tidak akan mengundang keberkahan. Wallaahu a’lam.

***Telah dimuat di Republika 22 Agustus 2013

**Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun