Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak SD Melakukan Pembunuhan Berencana Terhadap Temannya

18 Februari 2012   18:01 Diperbarui: 4 April 2017   18:01 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Betapa kagetnya saya melihat tayangan berita Metro Siang tadi. Seorang bocah SD di Cinere, Depok, umur 12 tahun – mungkin kelas 6 SD – melakukan penusukan pada teman sekolahnya hanya gara-gara HP. Korbannya bernama Syaiful, juga berumur 12 tahun, berhasil diselamatkan nyawanya karena tubuhnya diitemukan seorang tukang sampah di selokan, lalu segera dilaporkan dan dibawa ke rumah sakit. Sampai saat ini Syaiful masih dirawat karena luka di tubuhnya cukup parah. Setelah berhasil diselamatkan, Syaiful mengaku siapa yang berusaha membunuh dirinya.

Kejadiannya berawal ketika Syaiful kehilangan sebuah HP. Entah bagaimana ceritanya, diduga pencuri HP adalah si “X”, sebut saja demikian, sebab di Metro TV juga tak disebutkan nama anak pelaku percobaan pembunuhan itu. Syaiful kemudian melaporkan perbuatan X kepada gurunya. Guru berusaha untuk menengahi kasus pencurian itu dan berencana untuk memanggil keduanya. Sebelumnya si X ini memang dikenal sering mencuri barang milik temannya dan sering meminta uang kepada teman-temannya termasuk kepada Syaifulyang dikenal sebagai anak baik.

Sayangnya, maksud baik sang guru belum terlaksana, si X sudah keburu mengajak Syaiful ke suatu tempat yang sepi yang memang sudah direncanakannya. Di tempat itulah, katanya, si X mengakui “Emang gue yang ambil HP lu. Tapi HP itu sekarang sudah gue jual”. Kemudian, tanpa didahului pertengkaran, si X yang memang sudah membawa pisau belati besar di dalam tas sekolahnya, menusuk Syaiful. Ada sejumlah 8 tusukan keji dihunjamkan ke tubuh Syaiful di bagian perut, paha betis, tangan. Semua tusukan itu tembus bahkan usus Syaiful sampai terburai.

Setelah yakin Syaiful mati, si X kemudian menyeret tubuhnya ke selokan dan membuangnya ke dalam selokan agar tak mudah ditemukan. Jika saja tak segera ditemukan tukang sampah yang membersihkan selokan, mungkin saja Syaiful menemui ajalnya. Pihak RS menyatakan sedikit saja terlambat diselamatkan, nyawa Syaiful melayang. Saat ini kondisinya masih cukup kritis di RS Fatmawati.

13295627351577420963
13295627351577420963

Jelas, apa yang dilakukan bocah X adalah perilaku kriminal murni. Ini bukanlah pembunuhan tak disengaja, sebab X sudah menyiapkan pisau dari rumah, sengaja mengajak Syaiful ke jalanan sepi, menusuknya berkali-kali sampai ia yakin tusukan itu cukup membunuh korban, lalu dengan sengaja membuang tubuh korban ke selokan agar tak ditemukan orang lain. Ini kasus pembunuhan yang direncanakan secara rapi. Apalagi mengingat riwayat si X yang dikenal sudah seringkali mencuri dan meminta uang pada temannya, patut diduga si X memang berjiwa kriminal.

Entah apa yang terjadi pada bocah X ini. Saat ini ia sudah diperiksa pihak yang berwajib didampingi kakaknya. Dalam berita itu, tak disinggung mengenai orang tua si X. Pelaku maupun korban memang sama-sama masih anak-anak, tapi mengingat betapa kejinya si X menghabisi temannya dan betapa detil perencanaannya atas uapaya pembunuhan ini, sulit dipercaya bahwa ini hanya kenakalan anak-anak semata, yang cukup diselesaikan dengan upaya damai keluarga kedua belah pihak.

Beberapa bulan lalu, saya pun melihat tayangan berita di TV, mengenai 2 anak SMP, usia 14 tahun yang membunuh temannya gara-gara saling ejek saat bermain game online di sebuah warnet. Semula mereka bercanda, kemudian berlanjut saling ejek sampai salah satu anak marah, lalu bertengkar dan akhirnya anak yang marah menusuk temannya sampai meninggal. Saya tak tahu apa yang terjadi pada anak-anak jaman sekarang, yang kemarahannya mudah meledak hanya karena hal sepele. Jika anak 30 – 20 tahun lalu biasanya berantem dengan tangan kosong, anak sekolah sekarang sudah mempersenjatai dirinya dengan senjata tajam, ada atau tidak ada bahaya yang mengancam.

1329562842509681315
1329562842509681315

Maraknya tayangan kekerasan di televisi, kebiasaan menonton game online yang membuat anak terbiasa dengan darah muncrat kemana-mana, otak mereka distimulasi untuk menyeranglebih dulu sebelum diserang, semua itu memicu perilaku kriminal dalam diri anak. Pantas saja jika psikolog Elly Risman menyebut bahwa dengan membiarkan anak-anak bermain game online, berarti kita sedang mendidik teroris-teroris masa depan.

Tentu saja tayangan televisi dan game online memang bukan satu-satunya faktor penyebab. Ada peran keluarga dan lingkungan terdekat yang mempengaruhi pembentukan karakter dan perilaku anak. Karena itu, untuk kasus kriminal semacam yang terjadi di Depok, mengembalikan anak kepada orang tua/keluarga bukanlah solusi yang tepat. Sebab selama ini orang tua/keluarganya lah yang telah lalai memberikan pendidikan dan kasih sayang sehingga perilaku kriminal tumbuh subur dalam diri si anak.

Anak yang menjadi pelaku tindakan kriminal berat semacam itu perlu mendapat hukuman yang setimpal sekaligus pembinaan yang intensif untuk memulihkan penyimpangan perilakunya. Ini bukanlah sekedar pencurian sepasang sandal jepit butut yang tak direncanakan, atau pencurian mangga di halaman rumah dengan cara dilempar batu kerikil. Tetapi seorang anak yang memang sudah mempersiapkan senjata tajam, memilih tempat kejadian yang tepat serta ada upaya menghilangkan jejak dan menyingkirkan korban.

Entah apa nanti argument para pembela hak anak. Apakah dalam kasus seperti ini mereka tetap akan menyarankan agar diselesaikan secara kekeluargaan? Beberapa waktu lalu, saat ramai dibahas soal pencurian yang dilakukan anak, seorang aktivis Komnas Perlindungan Anak di daerah dengan bangga menyebut Komnas Anak berhasil memediasi seorang anak yang melakukan perkosaan terhadap temannya. Alasannya, pelaku masih di bawah umur (belasan tahun).

Kenapa yang jadi pertimbangan hanya usia pelaku? Bukankah usia korban pun masih anak? Kenapa yang dibela hanya HAM pelaku, sedangkan korban telah direnggut HAM-nya terlebih dulu. Bukankah gadis cilik yang mengalami kekerasan seksual berupa perkosaan dampaknya bukan sekedar robeknya selaput dara? Dampaknya bisa terbawa sampai ia dewasa dan meninggalkan trauma psikologis. Lalu siapa yang akan membela HAM korban? Tidakkah si korban dan keluarganya kemudian akan merasa dikorbankan 2 kali? Pertama ketika dia jadi sasaran perkosaan, kedua ketika diminta untuk mengalah dan membiarkan pelaku bebas begitu saja tanpa mendapat hukuman apapun.

Menghadapi kasus yang melibatkan anak memang tidak boleh sama perlakuannya dengan orang dewasa. Tapi bukan berarti kemudian memaklumi anak yang sudah jelas memiliki otak kriminal apalagi jika ternyata sudah terbiasa dengan perbuatan mencuri dan memalak. Hukum tetap harus ditegakkan, siapapun pelakunya. HAM memang harus dihormati, termasuk HAM korban. Semoga saja alasan pelaku masih anak-anak tidak dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku itu dan membebaskan pelaku dari jeratan hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun