Mohon tunggu...
Iqbal Djawad
Iqbal Djawad Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar

Ph.D di Bidang Aquatic Animal Physiology, Hiroshima University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengasah Kepekaan Nurani

12 Januari 2016   12:59 Diperbarui: 12 Januari 2016   13:11 2037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cuaca Tokyo yang mulai dingin tidak berhasil membuat saya pulang lebih cepat karena saya harus membaca semua nengyajo atau kartu tahun baru dari teman-teman Jepang yang jumlahnya cukup banyak. Sepertinya para pengirim tahu bahwa dalam hitungan hari saya akan menyelesaikan tugas dan kembali ke habitat awal sebagai “guru”. Terbayang muka Professor saya di Hiroshima University 23 tahun yang lalu ketika bertemu pertama kali. Beliau menanyakan ke saya, kenapa datang belajar ke Jepang, kenapa bukan ke negara lain? Pertanyaan yang sangat susah untuk di jawab karena jawaban jujur nya adalah karena Pemerintah Jepang bersedia memberi beasiswa yang konon kabarnya bisa sampai ke Program Doktor walaupun jawaban jujur yang ada di dalam hati tidak keluar pada saat itu. Seandainya pertanyaan yang sama ditujukan ke saya saat ini jawabannya akan sangat berbeda dengan jawaban saya pada saat itu.

Sejalan dengan waktu dan melihat banyak kejadian serta mengalami banyak peristiwa yang menyedihkan dan menggembirakan, sangat terasa sekali bahwa bangsa Jepang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran. Bangsa Jepang mempunyai dasar karakter yang kuat. Karakter ini tidak diajarkan di sekolah. Pelajaran agama juga tidak diajarkan di Sekolah-sekolah Jepang, tetapi dibentuk sejak mereka kecil. Prinsip moral ini berasal dari kebudayaan Samurai yang terdiri dari 4 karakter yakni yang disebut ON, GIMU, GIRI dan NINJO. Semesta di Jepang berkolaborasi dengan masyarakat dan orang tua yang membuat karakter ini tertanam sejak kecil.

Kejujuran adalah salah satu prinsip mereka. Pada anggal 29 September 2011 koran-koran Jepang ramai memberitakan tentang ditemukannya amplop berisi uang 10 juta yen atau sekitar Rp. 1.2 M di toilet umum. Si penemu bukannya mengantongi tetapi langsung mengembalikannya kepada polisi. Ternyata pemiliknya memang sengaja menaruh uang di toilet dengan tujuan untuk disumbangkan bagi korban gempa bumi Maret 2011 yang lalu. Di Jepang keikhlasan model baru ini marak, dimana si penyumbang tidak menyebutkan namanya dan hanya berpesan di secarik kertas “Saya tinggal sendirian dan tidak butuh uang ini. Mohon uang ini diberikan kepada korban bencana tsunami”. Saya tidak mendengar lagi berita akhirnya tetapi konon kabarnya uang itu akhirnya diberikan ke Palang Merah untuk membantu korban Tsunamai karena dalam kurun waktu 3 bulan tidak ada yang mengkalim sebagai pemilik sah uang yang banyak itu.

Banyak kejadian pada saat Tsunami mmporakporandakan Jepang. Seorang warga korban tsunami menemukan selembar cek senilai Rp.359 juta. Di tempat lain seorang wanita menemukan unag tunai sebanyak 233 juta, ada cek senilai 11.6 milyar yang ditemukan dalam brankas dan berbagai penemuan lainnya senilai 700 miliar rupiah. Mereka yang menemukan ini semua adalah korban tsunami yang tidak memiliki rumah, makanan dan tidur dipenampungan, namun tidak ada satu pun uang tersebut yang mereka ambil. Semua diserahkan pada polisi karena prinsip hidup mereka tidak boleh memiliki barang yang bukan milik sendiri.

Salah seorang staf saya orang Jepang yang telah bekerja di kantor saya sejak tahun 1963, seorang wanita berumur 80-an yang masih gesit, selalu mempertontonkan suatu ketulusan yang luar biasa. Di saat-saat akhir tugas saya, beliau sering sekali mengatakan beri contoh bukan bicara akan mempunyai dampak yang sangat besar sehingga semesta pun akan mengaminkan apabila kita melakukan sesuatu dengan tulus tanpa pretensi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Ketika saya mengajak makan bersama serta akan memberi sebuah hadiah kenangan karena beliau telah membantu dan melayani seluruh tugas saya selama kurang lebih 3.5 tahun, dengan sopan dia mengatakan “Saya tinggal sendirian dan tidak butuh uang ini”. Lebih baik uang untuk itu di beri ke orang-orang yang membutuhkan. Ucapan ini sama persis dengan apa yang diucapkan oleh para dermawan-dermawan yang tidak ingin ditahu namanya.

 Akhir tahun 2015, dunia maya di haru birukan oleh suatu berita tentang akan ditutupnya suatu Jalur Kereta di Hokkaido pada akhir bulan Maret 2016, dikarenakan jalur ini tidak banyak penumpang kecuali seorang anak SMA yang akan tammat pada akhir Maret 2016. Stasiun Kami-Shirataki di Hokkaido ini sepi penumpang sejak 3 tahun lalu. Lokasinya yang terpencil dan berakhirnya jaman kereta kargo membuat operator JR memutuskan untuk menutup stasiun itu. Sampai mereka menemukan ada siswa SMA yang setia naik-turun di stasiun itu. Operator JR akhirnya mengurungkan niat untuk menutup stasiun itu dan memilih tetap menjalankan kereta, hanya untuk mengantar jemput seorang siswi SMA itu saja. JR memutuskan akan menunggu siswi SMA itu lulus lebih dulu pada akhir Maret 2016 sebelum menutup stasiun itu. Cerita ini memberi pelajaran yang sangat berharga bahwa Jepang Pemerintah Jepang khususnya JR Hokkaido yang menomorsatukan pendidikan walaupun harus merugi untuk melayani seseorang yang tetap ingin menyelesaikan pendidikan SMA nya.

 Cerita menarik lainnya yang bisa dijadikan inspirasi adalah cerita tentang Miyamoto Musashi seorang anak desa yang bercita-cita menjadi samurai sejati. Di tahun 1600 yang penuh pergolakan itu, ia menceburkan diri ke dalam Pertempuran Sekigahara, tanpa menyadari betul apa yang diperbuatnya. Setelah pertempuran berakhir, ia mendapati dirinya terbaring kalah dan terluka di tengah ribuan mayat yang bergelimpangan. Selama tiga tahun ia mesti menjalani kehidupan mengasingkan diri, dan masa-masa itu dipergunakannya untuk menyelami banyak hal tentang Jepang

 Setelah mengasingkan diri, ia menolak diberi jabatan sebagai samurai. Si Musashi ingin meraih cita-citanya dengan mengikuti Jalan Pedang, dan menjadi samurai sejati walaupun akhirnya Ia sadar bahwa jalan itu bukan untuk mencoba kekuatan. Sejalan dengan waktu Ia belajar dari alam dan mendisiplinkan diri untuk menjadi manusia sejati. Ia menjadi pahlawan yang tidak mau menonjolkan diri dan akhirnya ia harus bertarung melawan Sasaki Kojiro, samurai dari Selatan yang memang berlatih bertahun-tahun untuk menjadi samurai yang sangat tangguh, tidak seperti Musashi yang mendapatkan pengalaman bertarung dari berbagai macam strategi dan kekuatan. Mereka akhirnya bertarung, dan Musashi menjadi pemenang berkat strategi yang dijalankan, dimana strategi ini di dapat secara otodidak dari pengalaman bertarung dengan banyak lawan. Musashi juga telah membuktikan bahwa kekuatan dan keterampilan bukan satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menentukan kemenangan.

Cerita tentang Musashi diceriterakan di dalam buku Go Rin No Sho ( A book of Five Rings) ini mengajarkan kita mengenai arti kerja keras, ketekunan, dan sikap yang tenang dalam menghadapi berbagai masalah. Cerita ini juga mengajarkan kita bahwa konsistensi dan belajar dari banyak pengalaman bisa membuahkan hasil. Konon kabarnya cerita tentang Musashi di buku Go rin no Sho merupakan rujukan buat pengambilan kebijakan di dunia pendidikan, bisnis dan birokrasi pemerintahan Jepang. Dari cerita di di atas kita memetik pelajaran bahwa Musashi sendiri adalah seorang samurai yang belajar secara otodidak, masa mudanya dilalui dengan banyak pertarungan tanpa melalui sekolah ilmu pedang yang formal, berbeda dari Sasaki Kojiro yang mengikuti “sekolah” samurai.

 Cerita-cerita di atas memperlihatkan pada titik inilah ON yang berarti hutang budi, GIMU yang berarti kewajiban, GIRI yang berarti kebaikan dan NINJO yang berarti rasa kasih sayang dipegang teguh sebagai satu kewajiban sosial yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Jepang. Kalau nilai-nilai ini digabung dengan sari dari cerita Musashi maka dalam konteks kekinian, kita akan belajar pentingnya mengenai adaptasi, pembelajaran, konsistensi, dan momentum. Nilai-nilai baik ini sejatinya harus terus dipertahankan dan bisa mengasah kepekaan nurani kita di tengah hiruk pikuk kedunian yang terkadang dapat mengobrak-abrik norma-norma dan nilai-nilai baik yang sudah ada sebelumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun