Mohon tunggu...
Intan Nurcahya
Intan Nurcahya Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saya Menyesal Menjadi Seorang Guru

19 Maret 2017   16:17 Diperbarui: 21 Maret 2017   00:00 3618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang teman bercerita pada saya, dia pernah mendamprat seorang alumni  yang tidak menyapanya di angkutan umum, alumni itu pura-pura tidak mengenalnya dan sama sekali tak mengacuhkannya apalagi menyalaminya seperti dulu, padahal mereka duduk hampir saling berhadapan. Teman saya merasa sangat puas ketika alumni itu merasa malu dan meminta maaf, dan sepertinya permintaan maaf itu tidak ada lagi artinya, teman saya menolak ketika alumni itu mau menyalaminya.

Saya merenung...bisa saja hal itu menimpa saya, atau bahkan mungkin pernah mengalaminya, diacuhkan dan “dilupakan alumni”. Sering saya ngobrol dengan teman yang mengalami hal seperti itu, jangankan alumni yang sudah lama keluar dan menjadi “orang”, bahkan siswa yang baru lulus beberapa tahun saja, ada saatnya ketika mereka bertemu sering memasang wajah acuh dan pura-pura tidak kenal. 

Kepala sekolah saya bercerita, ia dan istrinya yang juga seorang guru baru saja kembali dari rumah sakit, di sana istrinya begitu antusias saat melihat muridnya dulu yang kini telah menjadi dokter di rumah sakit tersebut, saat berada di ruang tunggu mereka berada dalam jarak yang hampir berdekatan, sangat tidak mungkin kalau mantan muridnya itu tidak melihatnya. 

Istri kepala sekolah itu hampir berteriak, “Pak, itu murid ibu, dulu saya wali kelasnya, dia memang pintar, kesayangan semua guru, pantas dia sekarang jadi dokter!”, katanya dengan nada bangga.  Tapi apa boleh buat, sampai pegal leher beliau dijulur-julurkan berusaha agar terlihat oleh sang mantan murid, tak sedikitpun mantan murid itu mau menengoknya. Merasa kasihan kepala sekolahku melihatnya, sampai akhirnya beliau berkata, “Sudahlah Bu, orang mau melirik juga nggak, ngapain bikin pegel leher aja”. ...

Terlepas dari bagaimana kepribadian mereka-mereka yang “lupa” terhadap gurunya, jika hal itu menimpa saya, saya berpikir apa yang salah dengan perlakuan saya sebagai guru selama ini, apa mungkin saya ikut andil dalam membentuk sikap mereka tersebut...?

Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas, memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dsb. Atau bahkan ada kenakalan-kenakalan ekstrim yang membuat guru ibaratnya makan buah simalakama, diperlakukan kasar salah, bersikap lunak juga semakin melunjak.

Apa yang pernah saya lakukan selama ini...?

Saya bukanlah guru yang punya ambang batas kesabaran yang luas, mungkin tak terhitung berapa kali saya menghukum murid, secara fisik atau dengan kata-kata. Suatu ketika seorang siswa memberikan tugasnya untuk saya koreksi, dan ternyata tugas itu milik temannya yang dia ambil dengan paksa, merasa dibohongi saya maki-maki siswa itu dengan kata-kata kasar, ketika pada akhirnya siswa itu mendapat masalah di pembagian rapot, ibunya mengeluh dan menyalahkan umpatan saya sebagai penyebabnya, saya jelaskan alasan dia mendapat cacian itu, ketika orang orang tuanya paham dan bahkan meminta maaf...di situlah saya merasa senang.

Pernah juga saya menghukum siswa dengan hukuman fisik, karena siswa itu sengaja tidak masuk di pelajaran saya, ketika orang tuanya datang dan mempermasalahkan perlakuan saya, saya jelaskan habis-habisan alasan saya berbuat seperti itu, saya jelaskan kelakuan buruk anaknya tersebut. Ketika orang tua itu “terpaksa” memahami dan menerima perlakuan saya... di situ saya merasa menang.

Bahkan tak jarang ketika sudah merasa di puncak kejengkelan pada seorang siswa yang sangat nakal, dan orang tuanya lantas memutuskan anaknya berhenti sekolah... di situlah saya merasa lega.

Introspeksi diri akan jauh lebih baik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun