Mohon tunggu...
Rinnelya Agustien
Rinnelya Agustien Mohon Tunggu... Perawat - Pengelola TBM Pena dan Buku

seseorang yang ingin menjadi manfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Perempuan yang Menyimpan Rindu

16 Maret 2017   12:47 Diperbarui: 17 Maret 2017   02:00 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap pagi saat aku berangkat kerja, aku selalu melihatnya.  Perempuan berwajah sendu, berambut ikal sebahu, perawakan sedang tidak kurus tapi juga tidak gemuk, dari raut wajahnya kutebak sekitar usia 30 tahun dan selalu memakai baju putih.  Dia selalu duduk di undakan semen di samping gerbang real estate mewah. Letaknya tersembunyi karena tertutup pohon akasia yang tumbuh berjejer rapi di sepanjang jalan Diponegoro yang ramai kendaraan.

Awalnya kukira dia adalah calon penumpang yang sedang menunggu kedatangan angkot. Namun, seiring waktu akhirnya aku mengetahui bahwa dia memang menyukai duduk disitu, bukan sedang menanti angkot.

Aku mengamatinya setiap hari, karena kantorku tepat di sampingnya real estate. Salah satu ruko dari jejeran ruko berwarna abu abu itulah kantorku tempat mencari uang untuk bayar cicilan motor. Beginilah nasib kaum urban, menanti gaji tiga puluh hari, menghabiskannya cukup sehari saja. Baru saja digit angka di buku tabungan bertambah, hari itu juga digit angka berkurang kembali ke angka sebelum gajian. Aku selalu memperlambat motorku ketika sudah sampai di pinggir kanan gerbang real estate. Segera menyalakan rating kiri kemudian perlahan lahan menyusuri depan gerbang real estate lalu belok ke kompleks ruko, tempat ku bekerja. Di antara gerbang real estate dan kompleks ruko, ada 5 kios kecil berjejer. Katanya pemilik kios ini tidak mau menjual tanahnya ke pihak real estate. Akhirnya kios mereka dikelilingi tembok tembok tinggi menyisakan satu lubang kecil di area belakang kios, yang hanya cukup untuk satu motor. Padahal dulu dua mobil pun bisa lewat, sehingga ada jalan tembus dari jalan Diponegoro ke jalan Antasari, namun sekarang karena hampir semua penduduk desa menjual tanahnya ke pihak real estate, jalan tembus itu lenyap berganti rumah rumah.

Perempuan itu selalu duduk di undakan semen di sebelah kiri gerbang real estate, dengan buntelan kresek hitam yang selalu digandengnya. Warna bajunya selalu berwarna putih,setidaknya itulah yang selalu kulihat,  sangat kontras dengan warna undakan semen yang bercat hitam, dan batang pohon akasia yang coklat.

Aku tidak tahu sejak jam berapa dia sudah mendiami tempat duduk itu, sepengamatanku dia selalu sudah ada di “kediaman”nya sejak jam setengah 8, dan ketika aku pulang kerja dia sudah tidak ada disana lagi. Pernah sekali waktu jam 6 aku sudah lewat jalan diponegoro karena mau ke bandara, dia belum ada.

Sesekali aku melihatnya sedang berbicara sendiri, sempat suatu hari aku  melihatnya sedang menangis sesenggukkan tampak dari bahunya yang turun naik, kadang dalam beberapa hari dia begitu khusyuk  menulis sesuatu di buku, kadang aku lihat dia sedang tertawa gembira dengan handphone di tangannya, saat itu kukira dia pasti sedang ditelpon seseorang. Ternyata setelah beberapa kali kuamati itu handphone mainan. Terkadang dia hanya duduk diam matanya terpaku ke jalan dengan  kresek yang diletakkan di pangkuannya. Namun beberapa hari ini aku sering melihatnya menghitung mengggunakan jarinya.

Aku selalu melihatnya dari atas motor. Namun kali ini aku benar benar berdiri dari jarak yang cukup dekat. Motorku kehabisan bensin pas depan gerbang real estate. Terpaksa aku mendorong motorku hingga ke kios bensin eceran. Salah satu dari kios itu memang ada kios yang menjual bensin eceran. “bensin pak satu botol aja” ujarku ke bapak penjual bensin. Bapak penjual segera mengambil bensin lalu menuangkannya ke tangki motorku, tanpa sadar aku menggumam “ kasian ibu itu” mataku terpaku memandangnya yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Bapak penjual bensin  menjawab gumamanku “anak saya itu mba”. Terkejut aku mendengar jawabanya, “ oh maaf pak, saya ndak bermaksud apa apa. Saya setiap hari melihatnya, dari raut wajahnya terlihat dia sedang sedih sekali”. Aku menjadi tidak enak, tak kusangka ternyata bapak penjual bensin ini adalah bapaknya. Ada rasa sesal kenapa aku tadi menggumam. “Dia lagi menunggu suaminya mba" jelas bapak penjual bensin dengan suara pelan. "suaminya kemana pak?" aku bertanya penasaran. "gak tau mba, katanya kerja di malaysia tapi sudah hampir 7 tahun gak ada kabar". Aku tidak tahu harus menimpali dengan jawaban apa selain kata “Ohh” yang keluar dengan nada iba, buru buru aku pamit dan mengucapkan terimakasih.

Keesokan harinya, aku menyengaja isi bensin di kios itu. Sambil menuangkan bensin ke tangki motorku, bapak penjual bensin tiba tiba berkata "dia rindu suaminya mba". Aku terkejut mendengar perkataannya karena seakan dia bisa menebak pertanyaanku  "maaf pak" kataku. "anak saya itu, dia menanti suaminya" sambil menunjuk anak perempuannya yang sedang menangis dengan wajah tegak menatap jalanan yang penuh kendaraan lalu lalang.

Perempuan itu dibalut erat oleh kerinduan terhadap suami tercinta, batinku dalam hati. Rindu memang membuat jiwa tersiksa. Tak ada yang bisa menuntaskan kerinduan selain perjumpaan dengan yang dirindukan.   Setiap manusia pasti pernah merasakan rindu, entah itu kepada seseorang yang sudah pernah ditemui atau bahkan ke seseorang yang belum pernah ditemui. Seperti aku yang saat ini juga merindu kepada pasangan hidup, entah siapakah dia. Bahkan aku pun belum tau, tapi aku sudah merasakan kerinduan yang mendalam kepadanya. Atau seperti budeku yang merindukan kehadiran seorang anak, yang sama sekali belum pernah ia lihat wajahnya.

Siapakah yang menciptakan perasaan rindu ? kenapa dia harus muncul, mengendap, memperbanyak, tumbuh subur dan bahkan berbuah di hati? Adakah manusia yang tidak pernah menjadi perindu ? Banyak pertanyaan tiba tiba muncul di benakku. Terhenti seketika ketika suara bos memanggilku. “Tiaaaa ke ruangan sekarang” teriak bosku dari dalam ruangannya.

Bagi aku yang sebentar lagi sudah kepala 3, kerinduan akan pasangan hidup seperti kobaran api yang disiram bensin. Menyala membumbung tinggi hingga langit ke tujuh. Aku rindu kepada dia, seseorang yang sampai sekarang aku belum tahu namanya bahkan wajahnya. Aku sampai  sekarang tidak memiliki pacar. Bukan. Bukan karena aku menganut aliran nikah tanpa pacaran. Aku memang belum punya saja. Aku punya standart tinggi untuk mengiyakan seorang pasangan hidup. Bagiku memiliki kriteria pasangan hidup itu penting, karena perjuangan berumahtangga itu sungguh keras. Aku melihat bapak dan ibuku, sampai usia pernikahan ke 35 masih tetap awet romantic dan setianya. Aku meyakini rinduku, suatu saat dia yang kunanti pasti datang menggenapi hatiku. Menjadi imamku dunia akhirat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun