Mohon tunggu...
Pelangi Terindah
Pelangi Terindah Mohon Tunggu... Lainnya - motret pake pena

Maka tentang segala tentang tumpah ruah di sini. Habis katarsis sepah habis, plooong!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Sekolah-sekolah berlabel Islam Cenderung Mahal?

28 Desember 2011   12:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39 3182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tadinya tulisan ini mau diawali dengan sedikit basa-basi, misalnya bahas sedikit PP No. 28/1990 tentang Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, tentang  pentingnya lembaga sekolah, perjuangan, pengorbanan orangtua mendapatkan bangku sekolah, sedikit menyitir  Ivan Illich yang bilang sekolah itu seperti penjara. Tapi lantaran lagi tidak sabar karena rasa gatal yang entah dimana sumbernya, ditambah gregetan sehingga tulisan ini ujug-ujug udah nyampe  ujung yang mau saya katakan. Biarlah dikatakan tidak ilmiah, yang penting ini berita bukan fitnah.

Nah, di daerah pojok Jakarta Selatan, ada tiga sekolah Islam tingkat Madrasah SD (Ibtidaiyah), Tsanawiyah (SMP), dan Aliyah (SMU) yang berdiri dalam satu kompleks. Ketiga sekolah yang berada di bawah  naungan Kementerian Agama itu, beberapa tahun  belakangan melejit pamornya dan menjadi incaran para orangtua murid. Konon, ke tiga tingkat sekolah tersebut menjadi yang terbaik diantara sekolah-sekolah sejenis yang ada di seluruh Jakarta. Sudah bisa nditebak, jika setiap tahun ajaran baru ketiga sekolah tersebut jadi ajang rebutan para orang tua murid. Diantara mereka. para peminat itu, banyak yang datang dari sekitar Bekasi, Tangerang bahkan Bogor. Minat orang tua murid yang lebih menyukai sekolah-sekolah berbasis Islam barangkali disebabkan adanya beberapa mata pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah umum.

Cerita yang tersisa dari tahun ajaran baru 2011/2012, kemarin, utamanya di sekolah Tingkat Ibtidaiyah (SD) tersiar kabar tak sedap tentang proses penerimaan murid baru. Di tingkat sekolah Dasar itu semula ditetapkan hanya akan menerima murid baru sebanyak 60 orang murid (dua kelas). Tetapi kemudian berubah menjadi 90 orang (tiga kelas).

Menurut Bapak Komite Sekolah, berhubung peminat sekolah ini begitu banyak, sekolah bisa fleksibel akan membuka kelas baru yang disebut kelas musyawarah. Demikian yang dikatakan pak Komite dalam rapat dengan orangtua murid saat akan mengumumkan hasil tes.

Kelas musayawarah dimaksud adalah kelas tambahan bagi anak-anak yang tidak lulus (tidak masuk rangking tes). Para orang tua yang hadir dalam rapat tersebut yang tadinya deg-degan, sedikit girang karena setidaknya dari 200 orang lebih yang mendaftar, yang kelak diterima 90 orang, maka profabilitas diterimanya anak-anak mereka semakin terbuka.

Meski Diknas melarang tes akademik terhadap penerimaan siswa SD, tetapi karena jumlah pendaftar cukup besar, maka sistem penerimaan di sekolah itu dilakukan dengan cara tes akademik berupa baca, tulis dan sedikit hafalan ayat-ayat pendek Al Qur’an. Hasil tes disusun berdasarkan rangking nilai tertinggi. Jadi yang berhak mendapat bangku di sekolah itu hanya anak-anak yang berada di rangking 1 hingga 90.

Setelah hasil tes diumumkan tentu saja cuma sedikit orangtua yang girang. Tetapi kemudian rasa senang itu agak berkurang lantaran, pak komite sekolah menetapkan bahwa uang masuk plus seragam, ditetapkan sebesar satu juta seratus dan harus dibayar lunas dalam waktu dua hari, Jika tidak, kesempatan akan diberikan pada orangtua murid lainnya.

Rupanya uang sejumlah satu juta seratus itu, pada hari itu tidak banyak orang tua murid yang memegang cash. Terjadilah aneka transaksi yang cukup mengharukan. Pinjam sana, pinjam sini, atau jual ini itu. Menakjubkan, hanya dalam waktu dua hari sekolah SD berlabel islam itu telah meraup dana sebesar 90 juta lebih.

Larangan Mendiknas memungut uang saat penerimaan murid baru tingkat SD dan SMP  jelas  tak digubris. Bahkan saat memulai kegiatan belajar mengajar orang tua murid ditodong lagi uang buku yang jumlahnya lumayan besar, uang iuran bulanan, ongkos ganti cetak buku penghubung, buku tabungan dls.

Praktik-praktik hampir serupa juga terjadi di sekolah tingkat SMP nya (Tsanawiyah). Yang diterima murni wajib bayar lima juta, sedangkan untuk dua kelas musyawarah harus membayar sembilan juta dan harus dibayar dengan tenggang seminggu. Sedangkan untuk masuk ketingkat yang Aliyah, setidaknya harus membayar sepuluh hingga lima belas juta.

Apanya yang salah? Toh semua yang terjadi di kolong langit ini sesuai dengan hukum ekonomi. Permintaan banyak, harga naik. Dan hukum ekonomi itu terjadi di semua sektor kehidupan. Tak peduli yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan orang banyak pun mahfum. Dan tentu saja berita ini tidak luar biasa, karena banyak berita-berita serupa di tempat lain yang lebih dramatis. Malah jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah islam lainnya yang lebih dulu eksis,dan ngetop, biaya sebesar itu tak seberapa.

Mereka, para ketua Yayasan, para pengelola sekolah-sekolah islam itu tentu bukan orang bodoh dan mereka pasti tahu dan amat sadar bahwa orang miskin sebagian besar adalah anak-anak islam. Soal anak miskin Islam bisa sekolah di tempat yang baik atau tidak, bukan urusan mereka. Toh pemerintah sudah menyediakan SD, SMP umum yang gratis.

Gratis memang tak selalu berbanding lurus dengan kualitas yang baik. Mau dapat barang bagus ya harus berani bayar. Udah gratis kok mau bagus. Sama dengan angkot ugal-ugalan, ketika supirnya diingatkan jangan ngebut, si supir menjawab “bayar dua ribu aja kok mau selamet”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun