Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tajudin, Penjual Cobek di Tangsel yang Jadi Korban Tuduhan Eksploitasi Anak

19 Januari 2017   14:07 Diperbarui: 20 Januari 2017   09:58 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tajudin keluar dari rutan didampingi pengacara dari LBH Keadailan Tangerang (Sumber: Kabar Banten)

* Menggugat status belum menikah sebagai syarat melamar pekerjaan....

Malang benar nasib Tajudin bin Tantang Rusmana, 42 tahun, warga Padalarang, Jawa Barat, yang berjual cobek (alat menggiling atau mengulek yang terbuat dari batu kali) di sekitar Jalan Raya Perum Graha Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten. Dalam dakwaan jaksa berdasarkan BAP Polres Tangsel Tajudin didakwa mengeksploitasi anaknya, Cepi Nurjaman (14) dan Dendi Darmawan (13).

Jaksa menjerat Tajudin dengan Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 64 ayat 1 maka ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 120 juta dengan subsider 1 bulan penjara. Tapi, jaksa menuntut Tajudin tiga tahun penjara. Dengan tuntutan ini Tajudin harus mendekam di Rutan Kelas I Tangerang, Banten. Tidak tanggung-tanggung Tajudin mendekam selama sembilan bulan sebagai tahanan di rutan itu, sampai akhirnya hakim di PN Tangerang membebaskan Tajudin dari dakwaan jaksa.

Penjelasan Kuasa hukum Tajudin, Hamim Jauzie (LBH Keadilan Tangerang) yang dihubungi penulis melalui telepon, mengatakan kisah pilu Tajudin berawal ketika polisi dari Polres Tangsel razia preman. Polisi melihat Cepi dan Dendi berjualan cobek di sekitar Perum BSD Serpong dan Perum Villa Melati Mas Kota Tangerang Selatan. Ketika itu, menurut Hamim, Tajudin pulang ke rumah sehingga meninggalkan anaknya untuk menjaga dagangannya. Belakangan polisi menangkap Tajudin (20/4-2016) sekitar pukul 22.00 WIB di Jalan Raya Perum Graha Raya Bintaro, Kota Tangerang Selatan, berdasarkan pemeriksaan terhadap Cepi dan Dendi.

Tajudin dan dua anaknya sudah lama jualan cobek di sana, tapi hari itu rupanya dia sedang apes. Hamim tidak bisa menjelaskan mengapa hanya Cepi dan Dendi yang ditangkap polisi ketika razia. Kemudian polisi menangkap Tajudin sebagai orang tua anak-anak itu dengan tuduhan eksploitasi anak.

Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah di Tangsel hanya Tajudin yang memperkerjakan anak-anaknya?

Itulah sebabnya Hamim meragukan tuduhan jaksa karena tidak ada bukti kalau Cepi dan Dendi merupakan korban perdangan anak dan diekesploitasi oleh Tajudin. Pembelaan Hamim ini dikabulkan hakim yang membebaskan Tajudin dari semua tuduhan jaksa. Dalam vonis hakim mengatakan, "Jaksa menganggap apa yang dilakukan Terdakwa itu hal sepele atau ringan. 3 tahun itu pidana minimum dari maksimal 15 tahun. Jaksa ragu-ragu karena tidak mungkin menuntut bebas, jadi terpaksa menuntut dengan ancaman minimum. Kalau kami tetap berpendapat apa yang dilakukan terdakwa tidak memenuhi unsur pidana," ujar Hakim usai persidangan tanggal 15 Desember 2016 (detiknews, 15/12-2016).

Biar pun sudah divonis bebas tanggal 12 Januari 2017, ternyata Tajudin belum bisa menghirup udara bebas karena berbagai alasan. Tajudin baru bisa keluar dari Rutan pada hari Sabtu tanggal 14 Januari 2017 pukul 13.28 WIB. "Melepaskan terdakwa dari dakwaan. Secara sosiologis, anak-anak sudah biasa membantu orang tuanya," ucap majelis hakim dengan suara bulat (detiknews, 14/1-2017).

Kisah pilu Tajudin ini membuktikan di banyak daerah tidak ada bantuan untuk biaya pendidikan sehingga Tajudin pun terpaksa membawa dua anaknya ke Tangsel untuk berjualan cobek. Berbeda dengan DKI Jakarta berkat kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat yang memberikan bantuan sekolah melalui KJP (Kartu Jakarta Pintar) yang digagas oleh Gubernur Jokowi (ketika itu) dan Wagub Ahok.

Selain itu patut juga digugat persyaratan penerimaan karyawan di banyak perusahaan yang menjadikan ‘belum menikah’ sebagai syarat utama. Orang seperti Tajudin tentulah tidak akan mempunyai kesempatan bekerja formal di pabrik karena dia sudah punya anak.

Jika kita memakai nalar, maka yang diutamakan bekerja adalah orang-orang yang sudah berkeluarga dan punya anak karena butuh biaya hidup sehari-hari, pendidikan, kesehatan, dll. Dalam kaitan ini agaknya polisi dan jaksa tidak memahami kesulitan yang dialami Tajudin. Lagi pula, seperti dijelaskan hakim pada sidang putusan secara sosiologis anak-anak menjadi bagian dari roda kehidupan keluarga, al. membantu orang tua bekerja atau bekerja sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun