Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pidana Pembunuhan Berencana Bagi Pembunuh Tiga Calon Anggota Mapala UNISI-UII Yogyakarta

24 Januari 2017   13:34 Diperbarui: 24 Januari 2017   13:43 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: VIVA.co.id/Instagram @mj.adiutama)

Di awal tahun 1980-an ada kegiatan yang kemudian dikenal dengan sebuatan ‘back tu nature’ yang ditandai dengan kegiatan menjejalah hutan, mendaki gunung, mengarungi jeram, dll. Memang, ketika ibu cibiran juga sangat keras karena orang-orang yang disebut sebagai ‘pencinta alam’ itu dianggap aneh ketika roda masa bergulir ke arah modernisasi yang justru meninggalkan alam.

Salah seorang pencinta alam, Aristides Katoppo, waktu itu pimpinan di Grup Sinar Harapan, mengatakan banyak yang melihat pencinta alam sebagai ‘orang aneh’. “Ya, maklumlah. Keluar masuk hutan,” kata Tides panggilan akrabnya. Mencintai alam dimaksud sebagai bagian dari kampanye untuk menyelamatkan alam yang berada pada awal kehancuran.

Sejalan dengan kegemaran ke alam, Tabloid “Mutiara” salah satu media di grup itu, pun menyelenggarakan jalan santai keluarga di kebun teh Gunung Mas, Puncak, Bogor, Jawa Barat, yang kemudian dikenal luas dengan sebutan ‘Tiwok’ (tea walk). Dilansungkan setiap tahun pada liburan sekolah. Peserta membludak sehingga dibatasi jumlah peserta yang terdiri atas keluarga atau komunitas.

Di sekolah dan kampus pun kemudian berkembang mahasiswa pencinta alam (Mapala) yang juga sebagai bagian dari upaya menyelamatkan alam karena ketika itu terjadi penebangan kayu besar-besaran, alih lahan untuk industri dan perumahan, dll.

Maka, amatlah menyedihkan ketika ada kematian karena penyiksaan pada latihan dasar bagi mahasiswa yang akan jadi anggota Mapala, seperti yang terjadi terhadap tiga mahasisa Universita Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Investigasi internal UII kemudian menemukan indikasi kekerasan (detiknews, 24/1-2017).

Ketiga mahasiswa itu mati sia-sia pada diksar (pendidikan dasar) yang mereka sebut sebagai The Great Camping (TGC) di Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, tanggal 13-20 Januari 2017. Tiga mahasiswa yang meregang nyawa di tangan senior Mapala UII itu adalah Muhammad Fadli, 19 tahun (jurusan Teknik Elektro angkatan 2015), Syaits Asyam, 19 tahun (Teknik Industri), dan Ilham Nurpadmy Listia Adi (Fakultas Hukum angkatan 2015).

Keluarga korban juga menemukan  bekas-bekas penganiyaan pada tubuh korban. Ini jelas bukan bagian dari Mapala karena jadi anggota Mapala tidak harus kuat seperti seorang tentara karena yang diperlukan adalah otak sebagai upaya advokasi untuk menyelamatkan Bumi dari kehancuran karena kekuasaan negara.

Memang, ada Mapala yang kemudian menyiapkan anggotanya sebagai bala bantuan untuk bencana alam. Tapi, untuk hal ini pun anggota Mapala tidak harus berbadan kekar, tahan banting, dll. Yang diperlukan cara berpikir yang bisa mengatasi dampak bencana dan menggerakkan orang-orang serta instansi dan institusi bahu-membahu menanggulangi dampak bencana alam.

Melihat kematian tiga mahasiswa calon anggota Mapala UII itu, ada kemungkinan ‘petinggi’ di Mapala UII itu menerapkan ideologi militer secara telanjang sehingga memakai kekerasan untuk melatih calon anggota Mapala agar kekar dan kuat serta tahan banting seperti tentara. Inilah yang disebut oleh Bang Hotman (Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Universitas Airlangga, Surabaya) sebagai dampak buruk penerapan ideologi militer di luar militer karena tidak ada filosofi, kode etik dan SOP (standard operating procedure).

Latihan militer yang memakai alat-alat tempur, seperti peluru tajam, granat, dll. jarang memakan korban kecuali karena kecelakaan. Hal ini terjadi, menurut Bang Hotman, karena ada SOP dan kode etik sehingga mencegah dampak buruk menjadi bagian dari latihan militer. Berbeda dengan Mapala UII yang memakai kekerasan untuk memaksa mahasiswa calon anggota Mapala mengikuti latihan yang mereka tentukan.

Cara-cara kekerasan yang dilakukan Mapala UII itu merupakan bagian dari ‘budaya kekerasan’ di kampus yang bermula dari perpeloncoan yang juga menunjukkan arogansi petinggi atau instruktur Mapala UII di balik jabatan mereka di kepengurusan. Lagi-lagi ‘naked power’ mereka terapkan untuk memaksa calon anggota Mapala mengikuti keingingan mereka melalui, yang mereka sebut sebagai pendidikan dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun