Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Nelayan Thailand dan Epidemi HIV di Kalimantan Barat

23 Maret 2012   14:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:34 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Catatan: Agaknya, menjadikan nelayan Thailand sebagai ’kambing hitam’ penyebaran HIV/AIDS di Indonesia sudah lama terjadi.

Jakarta, 8/11-2001. Dalam laporan bulanan kasus kumulatif kasus HIV/AIDS yangdikeluarkan Ditjen PPM&PL, Depkeskesos, sampai Juli 2001 tercatat 50 kasusHIV/AIDS di Kalimantan Barat (Kalbar) yang terdiri atas 49 HIV (28 di antaranyanelayan asing yang sudah dipulangkan ke negaranya) dan 1 AIDS dengan kematian 1.Epidemi HIV di Kalbar selalu dikait-kaitkan dengan kehadiran nelayan Thailand.

Di salah satu sesi pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV 1997 di Manila,Filipina, pembicara dari Indonesia, ketika itu alm. dr. Hadi M. Abednego, waktu ituDirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja Thailand, waktu itu berusia 17tahun, aktivis di Population Council Thailand, karena menyebutkan penularan HIV diMerauke, Papua (d/h. Irian Jaya) terjadi karena kehadiran nelayan Thailand. Soalnya,menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu diperhitungkan. Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, ‘kan, datang ke sana. Dia sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi HIV karena tidak hanyanelayan Thailand yang mengunjungi Merauke. Penduduk dari daerah dan negara lain pun ada yang datang Merauke. Begitu pula dengan penduduk Merauke tentu saja mereka juga bepergian pula ke luar daerahnya.

Bertolak dari fakta di atas tentulah cara-cara yang selalu menyalahkan pihak lain danmenuding nelayan suatu bangsa sebagai penyebar HIV tidak etis dan hal itu punmerupakan penyangkalan terhadap epidemi HIV yang sudah ada di depan mata dan penyebarannya pun sudah terjadi secara horizontal antara penduduk setempat. Bisa sajaada penduduk Kalbar yang tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri, atau sebaliknyaada penduduk dari daerah lain atau negara lain yang menulari penduduk Kalbar.

Dalam masalah HIV/AIDS seseoarang berisiko tertular HIV jika (1) melakukanhubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondomdengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) melakukanhubugnan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondomdengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah, (3) menerimatransfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit ecara bersama dengan bergantian.

Maka biar pun prevalensi HIV/AIDS di Kalbar per 100.000 penduduk 0,02 tetapi kalauseseorang melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko maka kemungkinan tertular puntetap ada. Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui sanggama yang tidak amanantara pria dengan wanita yang HIV-positif berkisar antara 0,03-5,6 persen untuk setiapkontak, tetapi karena hubungan seks sering dilakukan, apalagi dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang suka berganti-ganti pasangan, maka risiko tertular pun meningkat pula.

Namun, biar pun HIV/AIDS merupakan fakta medis tetapi tidak sedikit orang, termasuk  jajaran Depkes, yang panik. Misalnya, ada pernyataan Kakanwil Depkeskesos Kalbar yang mengatakan akan mengetes darah penduduk Kepulauan Karimata, Kabupaten etepang hanya karena ada nelayan Thailand yang mampir ke pulau itu jelas tidak rasional. Soalnya, belum tentu semua penduduk melakukan kegiatan berisiko, seperti bayi dan orang-orang yang sudah uzur. HIV tidak menular melalui pergaulan sosial.

Sebagai virus, HIV hanya bisa hidup di dalam larutan yaitu darah, sperma dan cairanvagina. HIV tidak bisa disebar-sebarkan karena hanya menular melalui cara-cara yangsangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks,seks anal dan oral tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar nikah yang sah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarumsuntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV- positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Fenomena Gunung Es

Laporan resmi pemerintah melalui Ditjen P2M&PL Depkessos sampai tanggal 31 Mei2001 menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksadalah (a) heteroseks atau antara pria dan wanita adalah 54,62%, (b) homoseks adalah6,44%. Lagi pula yang perlu diingat tidak semua hubungan seks heteroseks di luar nikah.Dalam agama Islam nikah sah jika sudah memenuhi rukun yaitu (1) ada calon suami, (2)ada calon istri, (3) wali, (4) dua saksi, dan (5) ijab dan kabul. Jadi, biar pun tidak dicatatdi KUA pernikahan tetap sah. Bukti lain menunjukkan ada 27 ibu-ibu rumah tangga yangterikat dalam perkawinan yang sah terinfeksi HIV di 13 provinsi (Media Indonesia, 6/7-2000).

Selain itu penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, terhadap 537 wanitahamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV(Media Indonesia, 2/12-2000).

Lagi pula tidak ada dasar hukum yang mengharuskan penduduk menjalani tes HIV dantidak ada pula kekuatan hukum yang membuat Kakanwil melakukan tes HIV kepada penduduk. Jika ini terjadi berarti merupakan perbuatan yang melawan hukum danmelanggar hak asasi manusia (HAM). Kalau nelayan yang mampir di pulau itu diketahuiada yang HIV-positif, maka kepada penduduk yang melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tinggi dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela dan bersifat anonim dengandisertai konseling prates dan pasca tes. Hal yang sama bukan hanya kepada penduduk di pulau itu, tetapi dianjurkan juga kepada semua orang yang (pernah) melakukan perilaku berisiko, terutama di tempat-tempat yang prevalensi HIV-nya tinggi.

Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis yang dapat diuji di laboratorium, maka tidak ada alasan untuk menduga-duga seseorang sudah tertular HIV biar pun ada gejala-gejalaminor dan mayor yang terkait dengan AIDS karena status HIV hanya dapat diketahuimelalui diagnosis tes HIV. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalahkondisi sistem kekebalan tubuh seseorang yang sudah dirusak oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit infeksioportunistik. Masa AIDS terjadi antara 7-12 tahun setelah seseorang tertular HIV.Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan dunia luar muncul pula kesan Kalbar sebagai daerah rawan HIV/AIDS. Ini pun jelas mitos karena rawan atau tidak rawan bukan karena letak geografis tetapi sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan penduduk apakah mereka melakukan kegiatan berisiko atau tidak. Jadi, biar pun banyak turis asingyang datang ke Kalbar kalau penduduk menghindarkan diri dari kegiatan berisiko makatidak akan pernah terjadi penyebaran HIV. Banyak negara yang “terisolir” dari dunialuar, tidak ada bar, karaoke, panti pijat dan tidak ada pula lokalisasi pelacuran tetapitetap saja ada kasus HIV/AIDS.

Dalam laporan WHO/UNAIDS (Report on global HIV/AIDS epidemic, Juni, 1998), misalnya, sampai akhir tahun 1997 Arab Saudi sudahmelaporkan 334 kasus AIDS, Bahrain 37, Brunei 10, Irak 104, Iran 154, Kuwait 24,Mesir 153, Qatar 85, Uni Emirat Arab 8. Hal ini bisa saja terjadi karena penduduk negarayang bersangkutan bisa saja melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV diluar negaranya.Karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) rtinya angka yang muncul hanya merupakan sebagian kecil dari angka yang tidak terdeteksi maka diperlukan suatu sistem untuk mendapatkan angka yang realistis melaluisurveilans tes HIV.

Angka-angka yang muncul merupakan prevalensi HIV (epidemi suatu penyakit pada waktu tertentu dan pada kalangan tertentu). Malaysia, misalnya,melakukan tes rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit menular seksual,seperti kencing nanah/GO, sifilis, hepatitis B), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Sedangkan di Indonesia surveilans hanya dilakukan terhadap pekerja seks danwaria itu pun hanya sporadis

Materi Kampanye

Maka tidak mengherankan kelau kemudian angka yang muncul di Indonesia tidak realistis. Sampai 31 Mei 2001, umpamanya, kasus kumulatif HIV/AIDS yangdikeluarkan Ditjen P2M&PL, Depkeskesos, di Indonesia yang berpenduduk 200 juta baru mencapai 1.956 (angka ini termasuk orang asing yang terdeteksi diIndonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, dan tes surveilans).Bandingkan dengan Malaysia yang sampai penghujung tahun 1999 saja sudahdilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal.

Surveilans terhadap pekerja seks sering pula melanggar hak asasi manusia (HAM) karenasesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang sudah disepakati secarainternasional antara lain harus menerapkan asas anonimitas (contoh darah tidak  boleh diberikan kode atau tanda yang memungkinkan seseorang mengetahuiidentitas pemilik contoh darah tsb.) dan disertai dengan konseling sebelum dansesudah tes. Prevalensi dikeperlukan untuk epidemiologis, seperti perencaankebijakan pencegahan dan pengoatan. Prevalensi HIV diketahui melalui surveilanstes, sedangkan untuk pengobatan dan perawatan status HIV seseorang diketahuimelalui diagnosis dengan tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi.Jadi, tidak perlu mencari-cari status HIV pendudu, misalnya dengan menjalankantes terhadap calon TKI. Tes untuk calon TKI dapat dilakukan dalam kerangkasurveilans untuk mendapatkan gambaran epidemi di kalangan calon TKI.

Dalam masalah HIV/AIDS akan lebih baik kalau yang dikedepankan fakta medis karena pembicaraan HIV/AIDS di luar fakta medis akan menyuburkan mitos (anggapanyang keliru) sehingga usaha untuk memutus mata rantai epidemi HIV pun tidak akan berhasil. Mitos yang sudah berkembang, misalnya, HIV menular melalui zina,hubungan seksual menyimpang dan pengunaan obat-obatan terlarang, dll. Hal ini jelas salah kaprah karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV denganzina.

Dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV jika salahsatu pasangan tersebut HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom.Dalam kaitan peningkatan kewaspadaan terahdap epidemi HIV diperlukan kampanyeyang efektif, antara lain melalui KEI (komunikasi, edukasi dan informasi).Persoalannya, selama ini materi KIE seputar HIV/AIDS tidak objektif. Misalnya,cara mengindari HIV disebutkan jangan berzina atau jangan melakukan hubunganseks di luar nikah. Ini jelas tidak akurat karena penularan HIV melalui hubunganseks terjadi jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan sanggama dilakukantanpa kondom di dalam atau di luar nikah. HIV/AIDS pun selalu dikait-kaitkandengan moral dan agama. Padahal, dalam kaitan pencegahan diperlukan KIE yangakurat, objektif dan fair.

Jadi, jangan heran kalau 11 tentara Indonesia yang dikirim sebagai pasukan perdamaianPBB ke Kamboja tertular HIV di sana (GATRA, 5/8-2000). Sebaliknya, tentaraBelanda tidak ada yang terular HIV. Mengapa hal ini bisa terjadi? Rupanya, tentaraIndonesia hanya dibekali dengan senapan dan wejangan, sedangkan tentara Belandaselain membawa bedil juga dipersenjatai dengan kondom untuk melindungi "sikecil". Soalnya, ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks di Kambojaantara 32-64 persen sehingga risiko tertular sangat besar.***[Syaiful W. Haahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun