Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskriminasi BKKN Terhadap Remaja Putri

7 Desember 2010   11:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:56 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

BKKBN: 51% Remaja Putri di Jabodetabek Melakukan Seks di Luar Nikah.” Ini news ticker di stasiun televisi RCTI (7/12-2010). Pernyataan ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi (pembedaan perlakuan) dengan latar belakang gender. Ini pun merupakan bias gender karena tidak membandingkan hal yang sama dengan remaja putra.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan maksiat adalah perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb). Bertolak dari makna kata ini maka diskrimiasi dan bias gender yang dilakukan BKKBN terhadap remaja putri ini merupakan ‘maksiat’.

Di negara yang selalu berteriak-teriak sebagai bangsa yang beradab, beragama, berbudaya dan ber-Pancasila tapi ‘penguasa’ sering melakukan diskrimasi melalui kekuasaan secara telanjang (naked power). Cara yang dilakukan BKKBN merupakan salah satu bentuk naked power pada posisi dengan kekuatan dan kekuasaan penuh (voice full dan power full) terhadap remaja putri yang berada pada posisi yang lebah dan tidak berdaya (voice less dan power less).

Diskriminasi terhadap perempuan (dalam hal ini remaja putri) merupakan realitas sosial yang fenomenal di negara yang bersorak sebagai bangsa yang berbudaya.

Lihatlah nasib pelajar putri yang hamil. Mereka dikeluarkan dari sekolah, sedangkan pelajar putra yang menghamili tidak dikeluarkan. Yang ironis adalah kaum perempuan pun justru menyalahkan pelajar putri.

Bahkan, ada anggota DPRD Prov Jambi yang mengusulkan tes keperawanan terhadap remaja putri sebagai syarat masuk SMP negeri, SMA/SMK negeri dan PTN. Tanpa disadari oleh anggota dewan yang terhormat ini dia sudah melakukan ‘kemaksiatan’ melalui diskriminasi karena tidak berlaku adil. Mengapa tidak dilakkan tes keperjakaan tehadapremaja putra?

Hal yang sama terjadi pada survai atau penelitian BKKBN ini.

Mengapa hanya remaja putri yang menjadi ‘sasaran tembak’?

Mengapa tidak ada perbadingannya dengan remaja putra?

Mengapa tidak ada perbandingannya dengan laki-laki dan perempuan dewasa yang terikat pernikahan dan yang tidak menikah?

Rentetan pertanyaan ini menunjukkan betapa kita menjadikan perempuan (dalam hal ini remaja putri) sebagai objek. Laki-laki diposisikan sebagai subjek.

Lagi pula, survai itu dilakkan kepada sejumlah remaja putri. Kalau saja RCTI menerapkan jurnalisme empati maka news ticker juga menampilkan jumlah responden dan alasan mengapa BKKBN tidak membuat perbandingan dengan remaja putra.

Cara yang dilakukan BKKBN ini sudah menjadikan remaja putri (baca: perempuan) sebagai sub-ordinat laki-laki. Apakah petinggi di BKKBN tidak mempunyai anak remaja putri?

Survai ini pun mengesankan seks di luar nikah bagi remaja putra tidak menjadi masalah.

Saya teringat ketika diminta bicara di hadapan jajaran Depsos RI yang akan menangani masalah narkoba dan HIV/AIDS beberapa tahun yang lalu. Salah seorang peserta, laki-laki, dengan lantang mengatakan: :”Pak, untuk apa kita bicara panjang-lebar. Kalau ada yang mengidap AIDS kita buang saja ke Nusakambangan. Selesai.”

Saya jawab: “Bagaimana kalau yang AIDS itu anak Bapak?” Sampai caramah selesai dia tidak memberikan jawaban. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun