Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Foto Bencana yang Menggambarkan Asa Bukan (Lagi) Keputusasaan

2 September 2018   09:44 Diperbarui: 2 September 2018   09:50 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang gadis duduk di antara puing-puing yang ditinggalkan oleh gempa bumi besar dan tsunami berikutnya di Llolleo, 3 Maret 2010 (Sumber: REUTERS/Eliseo Fernandez)

Foto-foto di media massa dan gambar di televisi, foto di media online serta media sosial terkait dengan bencana, dalam kaitan ini contohnya gempa Lombok, NTB, yang terjadi pada tanggal  5 Agustus 2018, pukul 19:46 WITA, dengan kekuatan 7 Skala Richter rata-rata menunjukkan kerusakan, kesedihan, kematian dan keputusaasaan.

"Untuk apa Saudara foto puing-puing dan korban, toh mereka tidak bisa hidup lagi." Inilah yang dikatakan seorang warga Chili kepada seorang  fotografer yang sedang memotret dampak kerusakan fisik gempa dengan kekuatan 8,8 Skala Richter yang mengguncang Chili  pada tanggal 27 Februari 2010 di lepas pantai Concepcion.

Foto-foto yang ditampilkan dalam suasana duka, termasuk mem-posting foto keluarga yang dirawat di rumah sakit dan jasad anggota keluarga, terjadi karena hanya memakai sudut pandang (angle) tentang informasi belaka. Maka, muncullah gambar-gambar yang memilukan tapi tidak mengubah keadaan.

Seorang pria melihat rumahnya yang hancur akibat gempa bumi di Lombok Utara, 9 Agustus 2018. Gempa Lombok, yang diikuti gempa susulan yang terjadi berkali-kali, membuat rumah warga rusak ringan hingga berat. (Sumber: tekno.tempo.co/AP)
Seorang pria melihat rumahnya yang hancur akibat gempa bumi di Lombok Utara, 9 Agustus 2018. Gempa Lombok, yang diikuti gempa susulan yang terjadi berkali-kali, membuat rumah warga rusak ringan hingga berat. (Sumber: tekno.tempo.co/AP)
Fotografer tadi memahami keluhan warga. Hasilnya?

Foto-foto yang dia tampilkan kemudian tidak lagi menggambarkan kematian, kesedihan, kerusakan, dll. akibat goncangan gempa, tapi fotografer itu kemudian memakai perspektif sebagai pijakan foto, seperti kehidupan dan kegiatan setelah gempa. Dengan memakai perspektif yang dilihat bukan lagi kedukaan tapi sisi kehidupan sebagai penyemangat.

Ada foto dua anak kecil dengan latar belakang tembok yang runtuh sebagian. Anak-anak itu menunjukkan wajah seakan sedang difoto sebagai 'foto model'. Kedua anak tadi berfoto lagi di tempat yang sama beberapa tahun kemudian dengan suasana yang jauh berbeda. Mereka sudah beranjak remaja dengan gaya dan pakaian sesuai dengan umur mereka. Inilah salah satu bentuk foto humanis dengan pengharapan.

Lalu ada foto petani anggur yang memegang alat-alat pertanian. Ini menggambarkan bahwa mereka akan kembali ke ladang menanam anggur. Gempa menghancurkan ladang anggur mereka.

Foto-foto dengan perspektif akan membangkitkan semangat korban, dalam hal ini korban gempa, daripada memotret suasana duka penuh dengan kegelisahan, kemurungan dan keputusasaan. Sebuah pelajaran yang berharga dari bencana. (Nat Goe People dan sumber-sumber lain). *

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun