Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terima Kasih untuk Pak Satpam Poli Mata Kirana RSCM

24 Agustus 2017   19:35 Diperbarui: 24 Agustus 2017   19:36 5540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di pintu masuk pendaftaran Poli Mata Kirana RSCM, 7/8-2017 (Foto: kompasiana/Syaiful W. Harahap)

Sudahbukan rahasia umum kalau banyak orang Indonesia yang tidak mau mengantri, seperti di loket, teller bank, dll. Maka tidaklah mengherankan kalau kemudian dikabarkan kalau guru-guru di Australia lebih mengutamakan mendidik anak-anak agar taat mengantri daripada mengejar nilai matematika. Disebutkan bahwa mendidik moral seseorang, seperti agar taat antri membutuhkan waktu 15 tahun, bandingakan dengan mengajar anak-anak untuk memahami matematika dan meningkatkan nilai akademis cukup tiga sampai enam bulan saja (kaskus.co.id, 22/6-2010).

Nah, itulah yang berkecamuk di benak saya ketika satu dua pengunjung Poli Mata Kirana Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) yang lebih dikenal sebagai RSCM di Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Soalnya, saya tiba di depan gerbang poli itu pukul 03.10 (24/8-2017), baru 20 menit kemudian datang lagi satu, berikutnya datang lagi dua, dst. Biasanya baru pukul 03.30 Satpam meletakkan papan penjepit kertas lengkap dengan kertas dan ballpoint. Yang datang mencatat nama pasien.

Antri di KRL di Jepang (Sumber: sekolahkejepang.com)
Antri di KRL di Jepang (Sumber: sekolahkejepang.com)
Persoalannya siapa kelak yang pertama menuliskan nama. Saya bingung dan kemudian berpikir duduk di dekat tempat papan pencatat nama biasanya diletakkan Satpam. Sambil ngobrol dengan pasien dan pengantar pasien. Salah satu bermarga Lubis yang pernah bekerja sebagi sipir. Kami pun berbicara campur bahasa daerah dan Bahasa Indonesia karena salah satu teman bicara dari Meruya, Jakarta Barat dan seorang Satpam orang Betawi.

Musuh paling besar di sana adalah nyamuk. Satpam di pos penjagaan memakai raket nyamuk sehingga terdengar krak, krak, krak .... ketika raket diayun dan menyambar nyamuk yang berterbangan.

Menjelang pukul 03.30 Satpam datang ke gerbang membawa penjepit kertas. "Bapak ini tadi yang duluan datang," kata Pak Satpam sambil menyodorkan papan penjepit kepada saya.

Sejenak saya termangu karena beberapa orang mulai mendekat, tapi Pak Satpam rupanya jeli dan konsekuen. "Terima kasih, Pak Satpam."

Pukul 06.00 Satpam memanggil nama pasien sesuai urutan yang tertulis di papan penjepit untuk mengambil nomor antrian ke bagian administari yang mulai buka pukul 07.30. Di pintu masuk ke mesin nomor antrian pun sering juga berjubel padahal nomornya besar. Satpam memanggil 10 orang per rombongan, misalnya dari nomor 1 sampai nomor 10. Begitu seterusnya.

Keruwetan belum selesai karena di pintu masuk ke bagian pendaftaran juga berjubel, padahal yang dipanggil pertama adalah nomor antrian dengan kode E yaitu yang akan menjalani pembedahan (operasi), disusuk pasien baru dengan kode A, selanjutnya pasien kontrok dengan kode J.

Di pintu masuk pendaftaran yang dipanggil nomor. Maka, kalau nomor besar 'kan tidak seharusnya berjubul di pintu karena sekali panggil 20 pasien. Sering disebut sebagai 'kloter' (ini dari istilah pemberangkan calon jemaah haji yaitu kelompok terbang).

Antri di Jepang ketika korban Tsunami menerima bantuan pangan di sebuah lapangan (Sumber: ruanghati.com)
Antri di Jepang ketika korban Tsunami menerima bantuan pangan di sebuah lapangan (Sumber: ruanghati.com)
Memang, yang mencelakai akal budi dalam hal mengantri adalah pemakaian 'naked power' (kekuasaan telanjang). Misanya, pejabat, saudara atau kerabat petugas loket dan aparat yang merasa dirinya lebih penting dari orang lain.

Maka, sudah saatnya ada pendidikan dan regulasi menghormati hak orang yang sudah mengantri duluan. Melihat kondisi 'naked power' yang tetap jadi gaya pejabat dan aparat, seperti di bandara sudah tidak bisa lagi dengan anjuran dan himbauan sehingga perlu sanksi pidana tapi dengan hukuman sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun