Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibuku Guru dan Pensiunan Kepala Sekolah SD

25 November 2013   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:42 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lahir di zaman “prihatin”, ketika kehidupan jauh lebih sederhana dibandingkan dengan sekarang. Saya magang menjadi anak kelas 1 pada catur wulan ke-2 pada tahun ajaran saat itu. Kesempatan magang (= sebagai pengamat) dimungkinkan karena Ibu saya guru di SD Negeri itu, meskipun ia mengajar di kelas 3.

Saya diajar oleh Pak Kepala Sekolah, yang merangkap sebagai wali di kelas 1. Beliau lucu sekali, dan kadang ia memberi julukan kepada masing-masing muridnya. Untuk saya, Pak Kepala Sekolah memberi julukan “Si Jemprit”. Alasannya, saya paling muda, paling kecil badannya, tapi lumayan pedas seperti lombok jemprit (= cabe rawit) saat mengikuti mata pelajaran di kelas. Satu catur wulan magang, Kepala Sekolah merekomendasikan saya bisa melanjutkan langsung ke kelas 2. Namun, ini bukan inti cerita saya.

Kehidupan guru SD lumayan terekam di benak saya, karena Ibu sangat bersemangat menjadi guru. Kadang sesampai di rumah, ada diskusi seputar hari-hari di sekolah yang dibicarakan oleh Ibu dengan Bapak. Kebetulan Bapak perintis Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa, yang menaruh perhatian serius di dunia pendidikan.

[caption id="attachment_304176" align="aligncenter" width="544" caption="Pensiunan Guru memperagakan gaya dirigen (1) dan berpose dengan sesama sahabat guru (2) - Dok: Indria Salim"][/caption]

Meskipun tidak secara khusus mengikuti perbincangan orang tua, kehidupan sebagai anak guru memengaruhi diri saya. Yang paling konkrit adalah minat baca, dan menulis. Kedua orang tua saya sangat suka membaca dan mengoleksi buku, dari yang berbahasa Jawa sampai berbahasa Inggris, dari buku tentang lagu dolanan sampai Kitab Suci dan buku spiritual (Bibel, AlQur’an, Bhagavat Gita, dan aliran kepercayaan).

Dulu Ibu saya adalah seorang guru yang patuh, rajin, berdedikasi namun sangat lugu. Orang lain boleh memiliki pandangan berbeda tentang hal ini, namun bagi saya anak dan pengamat langsung figur seorang guru SD, persepsi saya demikian adanya.

Pernah suatu ketika Ibu saya menangis sedih, karena masa kerja dan jerih payahnya mengajar dengan tulus tidak mendapat penghargaan setimpal dari segi karier kepangkatannya. Kesan yang tertangkap pada masa itu dari perbincangan Ibu dan Bapak, ada faktor X yang kemudian menjadi faktor penentu kelambatan, penundaan peningkatan karier kepangkatan Ibu saya. Hal itu tidak lain tidak bukan adalah apa yang disebut sebagai “like and dislike”atasan kepada bawahan, dikombinasikan dengan “sistem politik di dunia kerja”.

Tentu itu hal yang menyesakkan dada bagi seorang pegawai seperti Ibu saya. Tentu hal itu sekarang menjadi kenangan manis, karena pada akhirnya Ibu saya berhasil pensiun dalam jabatan terakhirnya sebagai Kepala Sekolah, sebuah jabatan yang “agak” membanggakan di dunia pendidikan Sekolah Dasar ketika itu. Maaf, saya berbicara dalam kapasitas pribadi. Ini murni opini pribadi berdasarkan pengalaman pribadi. Jadi harapan saya, tidak akan ada pihak yang perlu merasa tersinggung. Sersan – serius tapi santai, begitulah maksud tulisan ini.

Pagi sampai siang pukul 14.00 wib, Ibu saya mengajar di sekolah. Sebelum berangkat mengajar, Ibu dan Bapak berbagi tugas rumah tangga. Cakupannya lebih kurang rutin, menyiapkan sarapan, mencuci baju kotor, mencuci piring, dan hal lain yang urjen. Anak-anak yang agak besar (seperti saya yang sudah SD), mendapat tugas menyapu lantai di rumah. Semua itu adalah pekerjaan harian kategori “Pokok dan prioritas utama”.  Saya tidak akan memerinci tugas lainnya, karena itu akan sangat melebar dan memanjangkan cerita.

Ibu saya sering melakukan tugas pengajaran dari rumah. Mulai dari membuat “alat peraga” untuk mata pelajaran tertentu, sampai dengan mengoreksi buku pekerjaan rumah siswa. Sesekali Ibu diminta orang tua murid memberi les di rumah. Saya sering melihat beberapa siswa les yang memang “memerlukan perhatian dan penanganan khusus” saking lambatnya mereka menyerap pelajaran yang diberikan Ibu saya.

Saya pernah mendengar Ibu dan Bapak berbicara tentang keprihatinan mereka dalam kasus anak yang “super lambat belajar” ini. Ada siswa lambat belajar karena kendala fisik (mereka yang sekarang saya pahami sebagai anak berkategori “anak yang lemah mental” (debil, imbisil, dan sebagian bercirikan tipe Mongoloid Syndrome/ Down Syndrome). Anak-anak itu didaftarkan di sekolah biasa karena orang tuanya kurang memahami gejala anaknya, atau kadang, karena orang tua kurang mampu.

Dari hal seperti itu, saya mengamati bahwa tidak semua anak dilahirkan dengan kemampuan normal, atau setara dengan rata-rata perkembangan kecerdasan dan perkembangan jiwa anak pada umumnya.

[caption id="attachment_304179" align="aligncenter" width="500" caption="Pensiunan Guru Suka Menghadiahi Buku untuk Cucu (Dok: Indria Salim)"]

13853562791742280469
13853562791742280469
[/caption]

Kembali tentang Ibu saya, ia menjadi Kepala Sekolah setelah saya sudah mulai kuliah. Pasti itu masa kerja yang cukup lama kan? Karena sejak Ibu menjadi Kepala Sekolah, ia juga menjadi kepala keluarga sepeninggal ayah yang wafat di awal masa kuliah saya, maka perbincangannya dengan Bapak dialihkan sedikit-sedikit kepada saya. Pernah saya dibuatnya terharu dan sedih, karena Ibu menceritakan sulitnya mengusulkan seorang calon guru “Inpres” agar bisa diterima sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil dan menjadi Guru Berstatus Penuh).

Alhasil, Ibu sebagai pengasuh di lingkungan SD yang dipimpinnya terpaksa banyak menomboki para calon guru muda itu, karena sering kali tergugah untuk mentraktir makan siang beberapa guru muda yang belum resmi diakui pemerintah sebagai pegawai negeri. Menurut Ibu, mereka adalah orang-orang yang antusias, cerdas, dan berpotensi memajukan kecerdasan anak didik.

Tenaga pengajar seperti itu banyak memerlukan dukungan, baik moril maupun materiil. Mereka datang jauh-jauh dari daerah (desa), punya cita-cita menjadi pendidik yang tentunya wajar mengharapkan kesejahteraan sewajarnya. Faktanya, mereka harus mencukupi kehidupan sehari-hari termasuk makan, tempat tinggal dan transportasi tanpa mendapat gaji sama sekali.

Hal seperti itulah yang menjadi cerita harian Ibu saya. Hari ini membelikan makan siang guru A, lain kali memberi uang saku guru B. Dan gaji Ibu saya sendiri juga lumayan pas-pasan. Ini berbeda dengan penghargaan materiil guru zaman sekarang, khususnya mereka yang bekerja di perkotaan. Ini juga baru akhir-akhir ini para pendidik (guru) mendapatkan penghargaan yang lumayan layak untuk kehidupan keseharian mereka.

Saya menyadari, tulisan ini agak mencla-mencle. Sebentar membahas “guru”, di bagian lain menjelaskan tentang “ibu”. Semoga pembaca sekalian bisa menerima apa adanya.

Agar sedikit mengkristal, berikut adalah hal yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini:

·Guru Sekolah Dasar, tidak selalu berarti guru berkualitas dasar (bawah/ rendah)

·Siswa Sekolah Dasar tidak selalu berarti memiliki pengetahun sangat dasar (baca: sederhana), bila dibandingkan dengan MAHAsiswa yang “ngasal”. Alasan saya, justru di bangku SD ini, anak-anak sejak dini dikenalkan dengan cakupan pengetahuan yang luar biasa luasnya. Dari mengenal bunyi sebuah huruf, sampai pelajaran tentang struktur dan hierarki peraturan Undang-undang di Pemerintah Republik Indonesia.

·Tidak semua orang tua mampu menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan (sekolah) berlabel “bermutu” dengan paket “eksklusif”. Maka, kita perlu mengingat bahwa sekolah yang “biasa saja” bisa mencetak siswa unggul, tergantung dari banyak faktor.

·Guru (dimulai dari pendidikan tingkat dasar), layak mendapat perhatian dan hidup sejahtera. Namun sebaliknya, guru wajib terus menerus belajar untuk meningkatkan pengetahuan, demi diri sendiri dan anak didiknya.

Sekadar menambahkan tulisan ini, 25 November 2013 ini adalah Hari Guru Nasional (berlaku di Indonesia). Menurut Wikipedia Indonesia, “Hari Guru adalah hari untuk menunjukkan penghargaan terhadap guru, dan diperingati pada tanggal yang berbeda-beda bergantung pada negaranya. Di beberapa negara, hari guru merupakan hari libur sekolah.”

Demikian catatan sederhana saya untuk menyongsong hari Ibu, 22 Desember 2013, dan sekaligus memperingati Hari Guru Nasional. Selamat berkarya para guru Indonesia!

Salam Kompasiana.

@Indria Salim

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun