Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Papua dalam Sangkar Pasifik

5 September 2019   05:58 Diperbarui: 6 September 2019   05:11 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan Papua menjadi topik paling hangat dan sekaligus paling riil yang dihadapi Indonesia. Dalam banyak artikel lebih dari sepuluh tahun lampau, penulis sudah seringkali menekankan tentang persoalan yang kini hadir. Sebagai anggota Pokja Papua bersama Andrinof Chaniago, Usman Hamid, Philips Jusario Vermonte dan lain-lain sejak tahun 2002, penulis berkali-kali bolak-balik ke Papua dalam rangka riset, lokakarya, hingga advokasi.

Seperti bendungan yang dihantam gempa tektonik, persoalan Papua membanjiri seluruh dimensi: ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, hak asasi manusia, hingga berdampak kepada kondisi geopolitik dan geostrategis Indonesia. Ibarat permainan remi, Papua adalah jenis kartu As atau bahkan joker karo yang terlalu cepat dibuka. Pun dalam pertandingan catur, Papua adalah benteng atau menteri yang sudah berhasil disudutkan oleh pion-pion yang siap dikorbankan kapan saja.

Sebagai negara demokrasi ultaliberal, Indonesia bahkan hampir tak memiliki lagi dokumen yang bersifat rahasia. Seluruh kerahasiaan seperti diletakkan di atas meja, atau bahkan ujung jempol pejabat-pejabat publik atas nama transparansi. Unjuk kerja dan festival kinerja berarti menyampaikan apapun secara live dan real time.

Publik juga dianggap adalah sekumpulan manusia yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang seragam. Tidak ada lagi lapisan-lapisan manusia yang bisa berbeda pemahaman atas informasi yang sama. Semua bakal langsung menganggukkan kepala atas nama niat baik rakyat terhadap welas asih negara beserta perangkatnya.

Bangsa Indonesia tidak merasa dalam kondisi menghadapi peperangan besar. Walau setiap saat bisa mengikuti cuitan Donald Trump yang mengancam negara-negara seterunya, pihak Indonesia hanya menganggap sebagai tontonan yang berada dalam layar gadget. Perang dagang Amerika Serikat kontra China, seolah berada di planet yang berbeda dengan bumi khatulistiwa. Pertemuan Trump dengan pimpinan Korea Utara hanya dijadikan sebagai tambahan ide bagi para komika di aula kampus. Berjubelnya artis-artis Korea Selatan mengadakan konser di Indonesia cukup dihadapi dengan memutar ulang film-film Rhoma Irama.

Padahal, keseluruhan pertandingan atau pertunjukan itu sudah berada dalam lanskap yang ditulis oleh GSSJ Sam Ratulangie dalam naskah Indonesia in de Pacific. Ratulangie menerbitkan naskah itu tahun 1937 ketika bertugas di Sukabumi.

Untuk ukuran 82 tahun lalu itu, Ratulangie menyebut terbentuknya lingkungan ekonomi-politik yang baru, yakni lingkungan Pasifik. Ratulangie sudah memetakan empat "kompleksitas kekuatan" ekonomi-politik de Pacific sfeer itu, yakni Kompleksitas Utara, Kompleksitas Barat, Kompleksitas Timur dan Kompleksitas Selatan.

Kesimpulan Ratulangie, kekuatan ekonomi Eropa (Kompleksitas Barat) sudah bergeser ke Amerika Serikat. Pun, lama kelamaan, kekuatan Amerika Serikat -- dan Jepang (Kompleksitas Timur)-- juga bakal bergeser ke Pan Aziatisme dengan China sebagai komandan angsanya.

***

Ketika seorang Kapolda di Pulau Jawa dipindahkan menjadi Kapolda di Indonesia Timur, penulis mengirimkan gambar sampul buku Sam Ratulangie itu. Pemindahan itu memang ganjil, karena berarti turun rating. Ya, tentu karena peristiwa 212 yang memicu migrasi singkat warga Jawa Barat memenuhi Jakarta. Sang jenderal menerima "teguran" itu dengan lapang hati.

"Kalau belum sempat membaca, mohon dibaca, Pak Kapolda. Tempat penugasan sekarang justru penting bagi masa depan, yaitu bagaimana melihat Indonesia di Pasifik," begitu kira-kira untaian pesan yang penulis sampaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun